Judul : Satin Merah
Penulis : Brahmanto Anindito & Rie Yanti
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2010
Penyunting : Widyawati Oktavia
Proofreader : Christian Simamora & Gita Romadhona
xiv + 314 hlm; 13x19cm
Rating : 1 out of 5 stars
Juni 2009 di rumah seorang sastrawan Sunda bernama Yahya Soemantri ditemukan dua jenazah. Yang satu, sang sastrawan sendiri, terkubur dalam gundukan tanah, dan yang satu lagi terkubur dalam lapisan keramik bak mandi.
Kepolisian kota Bandung berhasil mengindentifikasi jenazah kedua : Didi SP, mantan redaktur kriminal harian Pro Rakyat yang juga seorang sastrawan sunda. Yang belum bisa diketahui polisi adalah siapa pembunuhnya dan apa motifnya.
Kasus ini juga menarik perharian Lina Inawati, seorang dosen sastra sunda yang kenal dengan Yahya dan Didi. Tapi belum juga misteri ini terkuak, terjadi kasus pembunuhan lagi terhadap dua sastrawan sunda lainnya. Dan Lina sadar dia harus menguak misteri ini sebelum dia menjadi korban.
Di sisi lain kota Bandung ada Nadya, seorang siswi SMA berprestasi yang merasa dirinya berharga hanya dengan berprestasi. Masalahnya akhir-akhir ini dia mendapati sinarnya kian pudar. Karena itu, bisa berpartisipasi di lomba Siswa Teladan Se-Bandung Raya adalah kesempatan emas Nadya untuk menunjukkan kemampuannya.
Karena itu makalah yang dibikinnya (sebagai syarat lomba) haruslah sesuatu yang unik dan spektakuler. Nadya memutuskan mengangkat tema sastra Sunda. Dan demi riset, didatanginya berbagai sastrawan Sunda. Lalu apa hubungan Nadya dengan kasus yang menimpa para sastrawan Sunda? Sila baca sendiri.
Satu hal yang mengecewakan dari novel ini adalah hilangnya unsur
thrill/suspens/misteri ato apalah itu namanya.
Pada novel dengan genre seperti ini, biasanya pelaku pembunuhan yang menjadi misteri besar dan terungkap di akhir cerita.
Kanan, kan?
Tapi di novel ini, pelakunya sudah diberi tahu sejak awal. Bahkan sinopsis di
cover belakang buku sudah menginformasikan siapa pelaku pembunuhannya.
Oke...gak papa.
Masih ada misteri lain yang juga seru : metode pembunuhan.
Sayangnya, kecuali kasus pertama, metode ini pun kurang dijelaskan oleh penulis.
Bagaimana pun pelaku hanyalah seorang gadis remaja. Gimana caranya dia bisa membongkar bak mandi, menguburkan jenazah korban (pria berbadan besar) lalu menembok kembali bak mandi tersebut?
Juga di kasus ketiga, gimana caranya pelaku bisa memberikan sianida pada kopi korban? Kapan kesempatannya? Bagaimana caranya dia membawa pestisida itu dan membubuhkannya ke kopi?
Dan kasus keempat lebih nyebelin lagi. Kasusnya gak jelas berhubung minimnya info soal interaksi pembunuh dan korban di kasus ini. Untuk apa ada korban keempat? Entah. Cerita bisa tetap berjalan tanpa perlu ada kasus ke-4.
Bukan cuma hal ini saja yang mengecewakan. Banyaknya plot yang bolong pada rangkaian kasus di novel ini seperti serangan yang dialami si pembunuh yang terjadi dan selesai
'begitu-saja', atau hubungan antara si pembunuh dan keluarganya yang jauh padahal mereka digambarkan keluarga yang akrab (saya gak paham kenapa si pembunuh bisa gak tahu ibunya sudah dirawat beberapa hari di rumah sakit. Masa' gak ada keluarganya yang bisa telpon ato sms dia sih?). Rasanya penulis punya banyak hal yang mau diceritakan tapi terbatas durasi, jadi yaa serba sepotong dan nanggung.
Ya sudahlah kalo pemaparan metode pembunuhannya mengecewakan. Mungkin saya bisa berharap pada motif si pembunuh..
Ternyata, motif pembunuhannya pun dijelaskan sejak awal.
Dan untuk saya motif ini terasa lemah.
Bukan berarti saya gak percaya ada orang yang sanggup melakukan pembunuhan berantai hanya karena motif itu (saya selalu berprinsip semua hal di dunia ini mungkin terjadi kok), tapi karena kedua penulis tidak merasa perlu menjelaskan lebih jauh tentang motif tersebut.
(Anggap saja ini spoiler) Pokoknya si pembunuh melakukan kejahatan itu karena dia ingin membangkitkan energi putuh.
Apa itu energi putih? Kenapa si pembunuh merasa perlu menghimpun banyak energi putih? Kenapa si pembunuh bisa punya energi putih? Apa energi putih beneran ada ato cuma imajinasi pembunuh?
Sayangnya semua hal itu cuma dijelaskan sekilas oleh penulis.
Pokoknya si pembunuh punya energi putih, Titik.
Pembaca ya terima aja.
Penulis juga tidak memberi karakter yang menarik pada si pembunuh.
Ini satu hal yang bikin saya gemas karena sebenarnya pembunuh bisa punya karakter yang menarik.
Si pembunuh digambarkan punya jiwa yang labil dan lemah.
Sayangnya penulis kerasa
'nanggung' dalam memberikan karakter ini. Dibilang si pembunuh labil ya nggak juga karena toh kita bisa lihat keteguhannya dalam beberapa hal.
Lalu jelas sekali bahwa penulis ingin mengesankan bahwa si pembunuh punya gangguan jiwa. Masalahnya...gangguan jiwanya apa? Psikopat? Bipolar? Ato apa?
Hal ini gak pernah dieksplorasi lebih dalam sehingga karakter pembunuh juga ya nanggung.
Tapi sudah sajalah. Saya toh masih berharap pada endingnya.
Sebagai novel be-
rating tinggi di Goodreads, saya berharap ada sesuatu yang 'beda' di sini. Kalo
thrill gak dapat, banyak
plot hole sepanjang cerita, karakter lemah, paling nggak
ending-nya bisa seru toh? Saya gak berharap bagus, karena bagus ato nggak itu soal perspektf. Tapi saya berharap pada klimaks yang seru.
Dan bahkan untuk itu pun, saya harus kecewa!
Adegan klimaks di mana identitas pelaku terbongkar ke khalayak, adegan klimaks ketika kita bisa melihat si pelaku
fall-from-their-grace (dan bagaimana cara jatuhnya), adegan klimaks yang menjadi satu-satunya alasan saya tetap membaca novel ini ternyata sangat antiklimaks!
Aaaarrgg...nyebelin!!
Antiklimaksnya gimana?
Ih saya gak mau cerita. Mending situ baca sendiri dan ikutan sebel juga aja. Pokoknya harapan saya pada klimaks gak ada yang terwujud.
Sudahlah... mau diapain lagi :| (Btw sepertinya kata 'sudah' jadi
word of the review kali ini yaa).
Pada akhirnya memang cuma itu yang bisa saya bilang mengenai novel ini. Sudah saja lah. Cukup 1 bintang saja.
Satu hal yang masih saya apresiasi (dan karena itu mendapat 1 bintang) adalah unsur sastra Sunda yang kental di novel ini serta gambaran dunia penulisan dan
self publishing-nya.