Iyaaa....saya emang kurang kerjaan kok ampe baca "novel" ini.
Jadi...masalah buat loe? Hah? Hah?? Hah???
#eaaaa #BaruMulaiUdahNgajakRibut #DikepretLightSaber X)
Sebenernya saya males sih bikin review untuk "novel" ini. Gak tega aja liat ratingnya yang udah tiarap di goodreads. Entahlah gimana rating penjualannnya di luar sana.
Tapi gak tahan juga untuk gak protesss dan berunek-unek ria. So yah...mari kita bikin curhat singkat aja.
Ceritanya tentang Petris (di film diperankan Titi Kamal), penyanyi pop terkenal generasi MTV yang egois dan mengganggap orang lain bego. Dia punya manajer Yulia (dimainkan oleh Kinaryosih), kakaknya sendiri yang kalem dan sabar banget menghadapi keangkuhan adiknya.
Suatu malam, Petris dan Yulia kena razia narkoba di jalan. Di mobil mereka ada Gerry, pacar Yulia yang bawa tas berisi heroin 5kg. Gerry berhasil kabur, dan gantinya kedua cewek kinyis itulah yang ditangkap polisi.
Berhubung takut dihukum mati, kedua cewe itu kabur lewat toilet.
Okay...ceritanya emang absurd. Jadi gak usah mikir kenapa juga polisi bisa sebegitu bego ampe tersangka narkoba bisa kabur lewat toilet. Percayalah, masih banyak yang lebih perlu dipertanyakan ketimbang perkara jendela toilet itu.
Lanjut...
Mereka berdua menemukan tempat sembunyi ideal di sebuah kampung yang ada orkes organ tunggal dangdutnya. Orkes yang dipimpin oleh Rizal something (lupa nama lengkapnya) lagi kebingungan karena penyanyi utama mereka hengkang. Dan dengan jeniusnya, Yulia menyarankan Petris untuk mengisi posisi tersebut, biar mereka bisa ngumpet lamaan. Yang lebih jenius lagi, Petris setuju walo ngedumel.
Dan mulailah petualangan Petris dan Yulia di kampung tersebut. Petualangan yang nantinya mengubah hidup dan sifat keduanya.
Sebenernya bakat kacrut "novel" ini sudah terlihat dari covernya yang norak itu kok.
Apa? Cover itu disesuaikan dengan poster filmnya?
Ya kalo gitu poster filmnya juga norak ;p.
Hah? Karena judulnya ada kata dangdut makanya dibikin kesan norak?
Kalo gitu sih sayang banget ya. Karena lagu semacam Keong Racun, Cinta Satu Malam dan Anggur Merah itu adalah sebuah masterpiece yang kelasnya jauh di atas buku ini. Bahkan lagu dangdut mestinya diangkat sebagai identitas bangsa Indonesia.
Om saya yang asli orang India itu demen banget sama lagu yang syairnya gini :
"Maaf dariku bukan untuk kau ulang. Sabar di dada batasnya sudah hilang. Kau bilang sahabatmu hanya teman biasa. Di bawah meja kakimu mena..." *Eh kok jadi keterusan nyanyi sih?*
Ya maap, refleks tiap denger lagu ini rasanya langsung pengen kariyoki (buat loe yang gak gaul, that means karaoke :p).
Dan saking demennya, si Om ini menitahkan saya untuk bikin terjemahan lagu itu dalam bahasa inggris. Kalo perlu dalam bahasa Hindi dan Tamil sekalian :/.
Masih perlu bukti dangdut itu oke?
How about this? Teman saya, Chiaki, yang asli Jepang ngefans banget dengan Rhoma Irama. Oh ya...selera temen saya itu emang hardcore. Gak tanggung-tanggung, Rhoma lho favoritnya! *kagum beneran*
Dan seakan ngefans aja belum cukup, Chiaki ini keukeuh sekali mengumpulkan semua album dan video klip lengkap milik Pak Haji Berbulu Dada Aduhai itu.
Digeretnya saya menyusuri satu persatu lapak penjual mp3 dan vcd/dvd bajakan di Glodok. Dan berhubung dia gak bisa bahasa indonesia, maka saya lah yang ketiban tugas buat nanya : "Koh/Ci, punya albumnya Rhoma Irama? Ato dvd karaokenya mungkin?"
Chiaki sama sekali gak peduli kalo saya tengsin sebenernya nanya kayak gitu. Dia bahkan gak ngerti waktu saya kasi tau bahwa ketahuan beli anything yang menyangkut Rhoma Irama berpotensi besar menghancurkan image saya.
"But why, wi? This guy is a pure genius. All his songs are so beautifull yet sad. Make me wannna hug him. If he's in front of me right now, I'm gonna kneel and worship him."
Sumpah...saya speechless.
Sepanjang umur saya, belum pernah saya dengar ada pemujaan sedemikian tinggi terhadap Rhoma Irama. Heck...saya bahkan belum pernah dengar Beatles dipuja setinggi itu.
Sekaligus malu juga. Dengan keberadaan band sekeren Luna Sea dan L'arc en ciel di negaranya, Chiaki malah memberi pujian setinggi itu kepada Sang Satria Bergitar. Ah betapa saya telah meremehkan sang raja dangdut itu. :')
"And don't you see his face? That's the face of a royal you know. His beard? So great. Even his hairy chest is so artistic. This guy seriously is a God's gift to your country."
Okeh...ampe disitu saya batal terharu.
Saya langsung kepengen seret Chiaki ke psikiater terdekat. Pasti ada baut yang kendor di otak dia.
Ato virus yang setiap hari dipacarinya di laboratorium itu udah merusak otak brilyannya. (Btw Chiaki adalah peneliti bidang Virologi yang dikirim ke Jakarta demi tugas penelitian).
Belum puas di Glodok, Chiaki maksa geret saya ke Jl. Surabaya karena ada penjual di Glodok yang menyarankan ke sana.
Agak heran sih saya. Jl. Surabaya itu kan tempat jual barang antik ya. Emang si Bang Haji udah segitu antiknya ampe layak masuk sana?
Etapi ternyata beneran ada dong!
Entah kesambet apa, ada satu penjual di sana yang jualin cd dan kaset Rhoma Irama. Bahkan ampe ada piringan hitamnya! (Jujur saya baru tahu ada piringan hitamnya Rhoma)
Dan Chiaki begitu bahagia sewaktu melihat koleksi idolanya bertengger manis di rak berdebu. Hampir dipeluknya si abang penjual sambil nangis terharu (emang lebay teman gw satu itu).
Dan melihat tawa Chiaki, saya membatalkan niat untuk berkunjung ke psikiater. Biarlah baut otaknya kendor. Biarlah otaknya mulai atrofi digerogoti virus. Yang penting dia bahagia dan punya impresi bagus tentang Indonesia. Dan semua itu karena dangdut. Bukaaannn....bukan karena Rhoma. Tapi karena dangdut. #InDenialMode
Sejak itu, saya respect banget sama dangdut. Dan berpikir mestinya dangdut dijadikan identitas bangsa. Dikemas dalam tampilan yang lebih artistik dan diubah imagenya supaya gak kampungan, pasti dangdut bisa bersaing dengan jazz untuk diputer di hotel berbintang. *Dan sepertinya saya ketularan lebay deh*.
Jadi buat saya sih, sayang banget ya kalo ada novelist ato filmmaker yang terjebak dalam stereotipe lama dan malah turut men-downgrade musik dangdut. Padahal mereka lah yang mampu menjangkau khayalak ramai dan mengubah paham kadaluwarsa itu.
Sungguh, saya prihatin.
*misuh misuh*
Lho?
Kenapa ya orang ini yang nongol? Mestinya kan Pak Presiden. Tapi yaaa...saya turut prihatin sih ngeliat rambutnya disitu.
Okeh Lanjut...
Sebaiknya saya gak berpanjang-panjang bahas cover (segini gak panjang, wi?) karena seorang penulis pernah bilang kalo mo review itu bahas hal teknis, jangan non teknis semacam cover.
Jadi mari kita bahas isi cerita...
Point kacrut nomor 2 adalah saat Yulia dan Petris memutuskan kabur dari polisi.
Ide untuk kabur dari polisi mungkin saja dimiliki semua orang yang tertangkap. Tapi hanya tawanan perang, tahanan politik atau penjahat profesional lah yang berani mengeksekusi rencana tersebut. Pastinya bukan cewek kinyis nan unyu macam Petris dan Yulia. Emangnya dipikir Polri belum belajar teknik ngejar buronan?
Kalo saya dan jutaan orang normal lain yang terjebak dalam situasi itu (amit-amit sih), saya lebih milih menghubungi pengacara sekaliber Elsa Syarief ato Hotman Paris. Kalo mereka bisa bikin Tommy kena hukuman ringan dan Cut Tari aman dari penjara padahal videp bokepnya beredar luas, maka semestinya saya yang "cuma" kebetulan ditemukan bersama heroin 5kg bisa dengan gampang dibebaskan.
Poin ketiga yang membuat cerita ini makin kacrut adalah ide jenius untuk bersembunyi dari kejaran polisi dengan cara...jadi penyanyi dangut! Yang bakal tampil depan puluhan bahkan ratusan penonton! :S
Dia mungkin mau nerapin strategi art of war-nya Tsun Zu ya. Strategi yang bilang : "tempat berbahaya adalah tempat paling aman."
Jadi kalo kapan-kapan Anda perlu menghindari sorotan polisi, cobalah muncul di bawah spotlight panggung yang lain. (Nyambungnya dimana? Mbuh...saya juga bingung :p)
Kenapa gak sekalian aja si Petris itu disuruh muncul jadi peserta di KDI? Ato jadi peserta Masterchef Indo gitu. Sama aja kan? Dua-duanya jauh banget dari genre MTV Pop.
Poin kacrut berikutnya adalah pemikiran bahwa masyarakat penggemar dangdut gak mengenali wajah salah satu artis ngetop.
Oke...di halaman 44, tokoh Yulia memang sudah memberi argumen dengan bilang :
“Nggak semua orang di Indonesia nonton MTV”.
Dan itu emang benar.
Tapi hampir semua orang Indonesia nonton infotainment (yang frekuensi penayangan per harinya bahkan melebihi jumlah sholat wajib) atau baca tabloid gosip (Nova kek, Bintang kek, Lampu Merah kek, Enny Arrow kek...eh salah. Ya pokoknya itu lah. Koran - koran kuning itu).
Dan jadinya aneh aja kalo gak ada satu pun warga yang bisa mengenali seorang penyanyi ngetop ada di antara mereka. Saya yakin banget, di dunia nyata kalo Luna Maya ato Sophia Latjuba diceburin diantara fans dangdut, mereka pasti masih ngeh juga dengan keberadaan makhluk langka itu.
Fakta bahwa Petris bisa aman ngumpet selama berminggu-minggui menunjukkan bahwa kampung itu miskin dari tayangan infotainment dan juga tabloid gosip. Bahkan tabloid pun mungkin cuma dicetak terbatas ya. Soalnya setelah Petris borong semua tabloid di sebuah lapak, persembunyiannya aman sentosa.
Heu? Ini settingnya dimana sih? Mestinya masih di kampung yang dekat sama Jakarta kan? Yang pastinya ada banyak penjual tabloid?
Miris bacanya.
Miris pada logika penulisnya yang kok ya segitu ngesotnya gitu lhooooo...
Ide cerita sih sebenernya bagus. Tentang seorang yang bertransformasi jadi dewasa setelah keluar dari zona nyamannya. Juga tentang 2 saudara yang kembali menemukan arti sebenarnya dari kata "saudara". Sayang, set up yang dibangun terlalu absurd dan kacrut sehingga pesan moralnya terabaikan.
Kenapa gak bikin set up yang lain?
Misalnya Yulia taruhan kalo Petris gak bakal kuat hidup susah dan demi membuktikan itu salah, Petris nekat pergi ke tempat terpencil di ujung Indonesia sana, yang gak ada listrik apalagi tabloid gosip.
Ato bisa juga, pesawat yang ditumpangi Petris & Yulia jatuh dan mereka terdampar di sebuah pulau asing yang hobi penduduknya adalah dengerin dangdut. Dan demi bisa diterima di komunitas itu, Petris kudu rela jadi penyanyi dangdut.
Ide di atas absurd? Basi? Emang iya. Tapi seenggaknya lebih bisa dipercaya sih.
Ini perjumpaan kedua saya dengan buku kacrutnya Ninit, yang mana keduanya adalah adaptasi skenario.
Waktu di Heart sih saya masih berusaha cari pembelaan dengan bilang ide cerita yang kendor bukan salah dia karena cuma adaptasi dari skenario. Di sini saya udah kehabisan ide mo bilang apa.
Well saya sih masih berpikiran bukan salah Ninit kalo ceritanya kacrut. Ide ceritanya emang udah kendor, bahkan lebih kendor dari kolornya Donal Bebek.
(Percayalah, Donal Bebek itu awalnya pake kolor. Tapi karena kendor banget, jadi lebih sering keliatan gak pake) *sengaja banget dijelasin* =)
Kesalahan Ninit tetap karena dia khilaf nerima job ini.
Dan balik lagi ke pertanyaan saya di review sebelumnya : "Kenapa sih Ninit mau nerima job adaptasi film ke buku kayak gini?"
Saya baca di
sini sih karena Ninit merasa tertantang. Buat dia, menulis "novel" adaptasi memiliki tingkat kesulitan dan keasyikan sendiri yang berbeda dengan menuliskan karya asli.
Yaaa kalo emang gitu, pilih dong naskah yang lebih berbobot. Soegija ato Lewat Djam Malam misalnya. Jangan yang kancut begini!
Baidewei...nyadar gak kalo saya ngasi tanda kutip tiap mengacu ke "novel" ini?
Yap...itu karena saya gak rela mengakui "novel" ini sebagai novel. Buku ini gak bisa dibilang novel. Ini hanyalah usaha sekelompok orang tertentu yang berusaha mengeruk duit dengan menginjak logika berpikir masyarakat Indonesia. (aih syedap pisan bahasa eyke).
Orang-orang yang melupakan tujuan dibentuknya negara ini yang telah dimaktubkan para
founding fathers kita dalam pembukaan UUD '45 yang salah satunya adalah
"mencerdaskan kehidupan bangsa". (Euh...makin lebay deh saya O_o)
Yah mungkin bisa saja "novel" ini dianggap sebagai novel. Tapi itu artinya, saya kudu mengakui upil itu makanan. Bisa aja toh dimakan? Kalo dimakan sekwintal, mungkin malah bikin kenyang.
But the question is, how desperate are we to eat that kind of thing?
How desperate are we to accept this kind of "novel" as a novel?
Don't we have something more decent to eat?
Don't we have a better work to be called as novel?
And...
How desperate am I actually to make this review? #lah
(Udeh...gak usah dijawab yang terakhir. Itu pertanyaan retoris). #LahSiapeJugaNyangMauJawabWoi
Udahan ah curhat pendeknya. (pendek versi jepang, wi?)
Saya mo balik ke PR dari Om tercinta dulu yaitu nerjemahin lagu Vetty Vera yang berjudul 5 Menit Lagi dalam bahasa Inggris, Hindi dan Tamil kalo bisa.
Salam Dangdut!
"5 Menit lagiii...ah...ah...ah...
5 menit lagiiii....
Dia mau datang menjemputkuuuu...."
PS : Oiya...kenapa ya Si Om gak pernah nyuruh saya nerjemahin sontrek film ini ke dalam bahasa inggris?
Pan enak...eyke bisa cela dia secara halus.
"Miss, come dangdutan with abang yuk."
"Ih...sonofabitch you."
Aih kerennyaaaa...
Ada yang mo bantu nyetanin lagu ini ke Om saya? Makasi lho sebelumnya.