Judul : Camar Biru : Cinta Tak Selalu Tepat Waktu
Penulis : Nilam Suri
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : November 2012
Bahasa : Indonesia
ISBN : 9797806030
Rating : 4 out of 5 Stars
Ini cerita tentang sebuah bujursangkar, yang dulu pernah begitu solid namun kini terpecah karena sebuah tragedi.
Ini
cerita tentang Nina, salah satu sisi bujur sangkar yang tersisa. Sang
putri gulali dengan warna pastel yang berubah jadi manusia kelabu
berhati biru. Nina yang hidup dalam kurungan kenangan masa lalu. Nina
yang sekadar "bertahan" untuk hidup namun juga ingin menghilang.
Ini
juga cerita tentang Adith, sisi lain yang tersisa dari bujur sangkar.
Adith memang bukan pangeran tampan berkuda putih-nya Nina, tapi Adith
adalah pangeran yang selalu setia di samping Nina. Adith yang tidak
membiarkan Nina menghilang.
Berawal dari pemenuhan sebuah janji
yang terucap sepuluh tahun lalu, kini Adith dan Nina belajar untuk
memaafkan masa lalu, berani menapak masa depan dan menerima satu sama
lain dalam hati masing-masing.
Pertama kelar baca buku ini, saya bengong sesaat. GIMANA CARANYA BIKIN REVIEW BUKU INI SECARA FAIR TANPA CURCOL???
Well...anyhoo
this is my attempt. Mudah-mudahan sih fair dan gak jadi curcol. Dan
mudah-mudahan juga gak ada spoiler. Tapi kalo pun iya, you've been told
before :p.
Satu, saya suka sama penggalan
lagu-lagu yang ada di tiap bab, fits my taste. Terutama buat lagu "Paint
It Black"nya The Rolling Stones yang pernah jadi soundtrack hidup saya
dan "Blackbird"nya Beatles yang masih menjadi soundtrack saya.
Dua,
saya kurang nyaman dengan gaya bahasa loe-gue yang dipake di buku ini.
Saya ngerti kalo percakapan antar tokoh pake gue-loe, ato ketika yang
bernarasi adalah tokoh pria, tapi saat semua tokoh menggunakan gue-loe,
maka yep...saya terganggu.
Tapi saya salut. Walopun pake bahasa
gue-loe, percakapan antar tokoh di buku ini berbobot. Bahasa ringan yang
digunakannya membuat pesan yang ingin disampaikan jadi "kena". Saya
juga suka analogi-analogi yang digunakan oleh Nilam. contohnya
percakapan mengenai Dufan berikut ini :
"Lo tahu nggak kenapa gue bilang tempat ini sebagai tempat
kebahagiaan semu?" "Karena menurut gue, orang - orang yang sedang
menaiki wahana ini sebenarnya sedang setengah mati ketakutan. Mereka
sebenarnya sedang setengah mati ketakutan dan berusaha menutupinya
dengan tawa."
Tiga, masih soal gaya bahasa. Sama kayak
mas Tomo,
saya nggak ngerti kenapa Sinar membahasakan diri dengan "saya" ke Nina.
Mereka sangat akrab bukan? Kenapa nggak pake "gue-lo" aja? Ato paling
nggak "aku-kamu" lah. "Saya" itu kesannya resmi banget untuk seorang
istimewa yang dikenal selama 20 tahun lebih.
Empat, saya nggak nyaman dengan multi POV yang dipake buku ini.
Don't
get me wrong. Saya suka kok baca cerita yang pake POV 1 ato POV berapa
pun itu. Saya juga suka kalo cerita pake multiple POV 1 yang membuat
setiap tokoh utama ber-narasi seperti yang terjadi di Perfect
Chemistry-nya Simone Elkeles ato Antologi Rasa-nya Ika Natassa. Fine
with that.
Tapi ketika sebuah buku mengambil multiple POV 1 lalu
beralih ke POV 3 dan balik lagi ke POV 1, then I have a problem with
that. Penulisnya berasa Tuhan yang bebas mengatur nasib para tokohnya.
Lima,
sama seperti sebagian besar reviewer, saya juga gak suka dengan bagian
epilog itu. Cerita ini akan lebih nendang kalo ditutup di bab sebelum
epilog. I prefer a story that tied with a red ribbon but not too tight
please.
Enam, saya suka dengan analogi asap rokok di buku ini.
"Gue selalu percaya permintaan itu akan dikabulkan kalau dia bisa
terbang semakin tinggi, nggak tahu kenapa. Mungkin kalau dia semakin
tinggi, dia akan semakin mudah didengar. Karena nggak mungkin gue harus
terus-terusan naik pesawat setiap kali punya permintaan, jadi jalan
lainnya adalah dengan asap."
Seseorang juga pernah mengajarkan hal serupa pada saya.
Namun bukannya menggunakan rokok, beliau menggantinya dengan balon gas.
Saya sempat lupa dengan ajaran tersebut dan membaca bagian asap rokok
membuka kenangan saya akan beliau. Thank you, Nilam, for bringing back
that sweet memory.
Tujuh, uhm...jujur...saya
kurang suka dengan covernya. Cantik sih, tapi gak secantik cover Gagas
lain. Emang cover designer-nya bukan favorit saya ternyata.
Tapi itu gak penting.
Yang
penting adalah : kok gambar yang ada di cover itu bangau kertas biru
sih? Kan judulnya camar biru? #SebenernyaIniJugaGakPenting
Apa karena Gagas gak punya stok gambar camar kertas biru? Ah enggak kookk. Halaman dalam buku ini dipenuhi gambar camar kertas
Delapan,
bosen rasanya harus bilang ini lagi dan lagi *sigh*, tapi saya gak suka
banget deh dengan blurb di buku ini. Tipikal Gagas banget sih yang suka
kasi blurb sok puitis berisi curahan hati salah seorang tokohnya tapi
gak bakal dipahami maksudnya sama orang yang belum baca novel ini (Dan
kenapa bahasa gw ribet giniii??)
Jujur aja, kalo saya lagi di
toko buku, ngeliat cover buku ini dan baca blurb di back cover, saya gak
bakal tertarik beli buku ini. Blurb-nya gak menjual. In fact, yang
bikin saya ngeh sama buku ini adalah nama penulisnya dan review Mas
Tomo.
Sembilan, hmm...twist di buku ini sebenarnya udah ketebak bahkan sejak awal. Dari sejak bab 5 ketika Nina bernarasi seperti ini :
"Dengan tetap menyisihkan malam penuh kabut lainnya, kabut
mengerikan, yang juga dari sepuluh tahun lalu. Alasan sebenarnya kenapa
gue membiarkan Adith membuat sumpah konyol itu, dan alasan kenapa gue
menyetujuinya sekarang."
Lain kali coba clue-nya jangan ditaro sejak awal buku,
mbak Nilam. Jadinya ketebak. Akan lebih bikin penasaran kalo cuma tokoh
Adith aja yang berprasangka dan menebak-nebak sendirian. Biar pembaca
(saya sih tepatnya) ikut menebak bersama Adith.
Sepuluh,
saya suka dengan chemistry antar tokohnya, terutama chemistry
Adith-Nina. Kerasa banget transisi perasaan mereka dari sahabat lama
yang kemudian belajar membuka hati. Saya suka gimana Nilam perlahan
membangun chemistry mereka hingga keduanya sadar bahwa mereka butuh yang
"lebih" dari hubungan mereka selama ini.
Sebelas,
saya berharap buku ini bisa lebih tebal sehingga Nilam bisa
mengeksplorasi karakter Nina lebih dalam. See...Nina has some wrecked
past yang mengubah karakter keseluruhannya. Saya berharap Nilam bisa
menggambarkan perasaan dan trauma Nina lebih dalam lagi, tentang
bagaimana dia mengatasinya atau bagaimana perjuangan dia untuk
menerimanya.
Tapi saya juga paham kok perjuangan psikologis Nina
bukanlah topik utama kisah ini. Dan saya juga paham kalo 279 halaman
tidaklah cukup untuk mengeksplorasi hal tersebut, belum lagi ditambah
cerita tentang Adith-Nina di masa sekarang.
Dua belas, saya suka analogi persahabatan bujur sangkarnya. I know it so well.
Saya
pernah punya sebuah persahabatan seperti itu dalam hidup saya. Sebuah
dekagon yang begitu solid dan bertahan 20 tahun lebih.
Tapi 2x campur tangan Thanatos dan sebuah "persilangan hati" meretakkan dekagon kami.
Beberapa memilih seperti Sinar, yang pergi menjauh namun tak bisa benar-benar lepas dari jaringan sisi dekagon yang tersisa.
Beberapa
seperti Nina yang berusaha keras mempertahankan apa pun yang tersisa
dari sebuah ikatan yang sudah retak, mengubahnya jadi oktagon bila
perlu.
Saya?
Saya seperti Adith yang hanya diam dan menikmati sisi
mana pun yang tersisa dari dekagon kami. Sama seperti Adith, saya tak
berusaha menjauh, namun juga tak berusaha merekatkan apapun.
Dan karena itu, I feel Adith. Saya ngerti concern-nya ke Nina, juga rasa pahitnya pada Sinar yang memilih pergi.
Tiga belas, saya suka kalimat ini dari halaman 269 :
"Kadang, saat kita nggak mampu melepaskan orang yang terlalu kita
cintai, berarti kitalah yang harus pergi. Mungkin membalikkan badan dan
berlalu lebih mudah dibanding berdiri diam menatap punggung seseorang
(atau dalam kasus gue, menatap batu nisan) yang berjalan menjauh."
I did that once.
Sayang saya gak seberuntung
tokoh-tokoh dalam buku ini. Karena saat kembali, saya masih terjebak
dalam same-old-brand-new problem. Should I go again? (woooiii....kok
jadi curhat wooiiii? XD)
Empat belas, saya mempertanyakan maksud kalimat yang ada di halaman 4 :
"Si Kunyuk itu pecandu kopi akut dan cuma mau kopi Sumatra-nya Starbucks".
Apa
maksud "akut" pada kalimat di atas? Apakah Si Kunyuk baru-baru ini saja
suka kopi? Ah nggaaakk kookk. Dari ceritanya jelas ditunjukkan Si
Kunyuk sudah lama suka kopi.
Mungkin maksud Nilam adalah "kronis"?
Ato mungkin maksud Nilam, Si Kunyuk adalah pecandu kopi kelas berat?
Apa sih makna "akut" yang dimaksud?
Dan kenapa saya segitu bawelnya sama satu kata doang?
Simpel
sih, karena saya liat banyak banget penggunaan yang salah pada kata
"akut". Entah kenapa banyak yang berpikir "akut" artinya sudah parah.
Sehingga saat saya bilang ke client saya kalo penyakit mereka adalah
tipe penyakit yang akut, yang ada mereka jadi pucat dan panik.
Padahal akut kan merujuk pada suatu hal yang baru terjadi. Belum tentu jelek.
Dan sebelum saya salah kaprah sama maksud Nilam, mending saya tanya dulu kan?
Lima belas, kenapa saya kasi bintang 4 untuk novel ini?
Balik
ke definisi goodreads dan definisi saya aja. Karena saya suka banget
sama buku ini dan bakal saya baca ulang someday. Terutama kalo saya lagi
mood untuk buku ringan yang beraura
beautifully sad dan
sadly beautiful kayak buku ini.
Fyuh...finally nemu juga buku terbitan Gagas yang bisa saya sukai dan tidak membuat saya merasa tertipu oleh covernya.
Enam belas, ini sih buat Sulis doang. Liiisss, ada buku Gagas bagus yang layak masuk koleksi niihh. X)
Udah ah. So far sih cuma 16 point ini yang keingat (
"cuma" loe kateee, wiii?"). Kapan-kapan kalo masih ada yang perlu ditambah, ditambahain aaahh.
Reserved to be edited sometimes later yaaaa #berasaKaskus