Data Buku :
Judul : Twivortiare
Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
ISBN 13 : 9789792286748
Sinopsis :
“Commitment is a funny
thing, you know? It’s almost like getting a tattoo. You think and you
think and you think and you think before you get one. And once you get
one, it sticks to you hard and deep.”
Do busy bankers tweet? Yes,
they do. Empat tahun setelah Divortiare, Alexandra membuka kembali
hidupnya kepada publik melalui akun Twitter-nya @alexandrarheaw. Lembar
demi lembar buku ini adalah hasil “mengintip” kehidupannya sehari-hari,
pemikirannya yang witty dan sangat jujur, spontan, chaotic, dan
terkadang menusuk, yang akhirnya akan bisa menjawab pertanyaan:
“Dapatkah kita mencintai dan membenci seseorang sedemikian rupa pada
saat bersamaan?”
Twivortiare adalah kisah klasik tentang cinta
dan luka, terangkai dalam tweets, mentions, dan DM yang lahir lewat
ujung-ujung jemari karakter-karakternya.
Review :
Saya itu orang yang ndak pernah peduli sama autographed version dari buku. Bahkan termasuk CD dari penyanyi favorit juga.
Tanda
tangan yang saya pedulikan hanyalah tanda tangan di dokumen-dokumen penting
saya ato tanda tangan pemain bola favorit saya (aaaa....Zanettiiiiii).
Karenanya
tiap kali ada pre-order buku apapun yang bertanda tangan penulisnya,
saya gak pernah tertarik ikutan soalnya saya nunggu buku itu terbit dulu
dan ngeliat reaksi pembacanya gimana. Bahkan walo penulisnya udah saya
kenal dan bisa menebak bukunya kayak apa (seperti Kedai 1001 Mimpi-nya
Vabyo misalnya).
So...kalo ampe saya bersedia ikutan pre order
buku ini kemarin, bukan tanda tangannya yang menarik minat saya. Tapi
karena saya penasaran (pake banget) dengan kelanjutan Alexandra dan Beno.
Siapa sih Alexandra dan Beno itu?
Mereka adalah tokoh dari novel Ika Natassa sebelumnya yang berjudul Divortiare. Di Divortiare dikisahkan kalo Alexandra dan Beno sudah bercerai. Masing-masing melanjutkan hidup dan mengejar karir dimana Beno adalah dokter bedah thoraks sukses dan Alexandra adalah bankir yang karirnya sedang menanjak. Mereka juga (ato minimal Alexandra karena Divortiare bercerita dari sudut pandangnya) berusaha move on dan mencari cinta yang baru. Divortiare ditutup dengan kisah yang "gantung" antara Alexandra dan Beno. Pembaca disuruh menebak sendiri apakah mereka kembali bersama ato tidak.
Sewaktu mengetahui kalo Ika Natassa membuat akun twitter untuk tokoh rekaannya (Alexandra), saya belum tertarik untuk follow. Baru setelah mendengar kabar kalau rangkaian tweetnya akan dibukukan, saya jadi penasaran bagaimana kelanjutan pasangan itu. Kenapa baru belakangan saya penasaran? Karena sebelumnya saya pikir, twitternya Alexandra itu masih bercerita seputar hidupnya pasca perceraian dan gak nyebut-nyebut Beno. Begitu tahu kalo ternyata hidup Alexandra saat ini melibatkan Beno, jelas saya tertarik dong. Saya kan gemes sama karakter pak dokter yang lempeng banget itu.
Apalagi saya dapat info kalo buku ini akan bercerita tetap dalam format twitter. Jadi rasanya seperti baca timeline yang panjang. Dan per-tweet hanya dibatasi 160 karakter. Waaa...menarik dan bikin penasaran.
Kesan setelah baca?
Yah bagus sih. Not
bad at all Banyak yang bisa kita pelajari dari hubungan Beno-Alex. Tentang
usaha untuk mengerti satu sama lain, bahwa pernikahan itu berarti "start
to feel for two people." Juga kalo cewe itu mesti bisa mandiri secara
finasial (setuju banget ini).
Saya juga belajar tentang perasaan
Alexandra yang bersuamikan dokter sibuk banget. Dia sempat merasa
di-nomor duaka-kan dibanding pekerjaan suaminya. Jadi kepikir, apa gitu
ya perasaan ibu dan tante-tante saya yang bersuamikan dokter?
Tapi
sepertinya mereka gak kapok tuh punya suami dokter, soalnya mereka
meng-encourage anak masing-masing buat nikah sama dokter juga.
Ugh...pada gak tau aja dalem-nya dunia kedokteran itu kayak apa. #Eaaaaa
#TetepCurcol
Rada kesal sih sama karakter Alexandra yang kadang too demanding dan childish.
Masak gak ngerti juga kalo Beno sayang dia? Saya yang cuma tau kelakuan
si Beno lewat tweet-tweet dia aja bisa ngeliat kok, masak dia gak nyadar sih?
Tapi bagusnya, Alexandra udah jauh lebih dewasa dibanding Alexandra di Divortiare.
Dan si Beno-nya juga eugh...keras kepala banget sih.
Etapi berhubung karakter saya lebih dekat ke karakter Beno, dan posisi kami cenderung sama (jadi pihak yang lebih lempeng), somehow bisa ngerti dia. #JanganCurcolLagiDehWi
Dan
melalui interaksi kedua tokoh utamanya ini lah, Twivortiare mengajarkan
bahwa cinta aja gak cukup untuk membentuk pernikahan, we have to work
on it. Dan perbedaan yang ada itu bukan untuk dijadikan sama, tapi untuk
dikompromikan.
Ada satu yang nyepet saya di buku ini sebenarnya.
Scene waktu Alexandra ngeluh sakit kepala dan Beno cuma menyarankan
minum aspirin. Dan si Alex sebel, menurut dia kalo cuma butuh aspirin
mah dia gak bakal ngeluh ke Beno. Yang dia butuhkan tuh perhatian dan soothing word dari Beno.
Dan uhm...saya jadi kesepet :">
I
mean, saya juga gitu. Kalo ada yang ngeluh sakit ke saya, naluri saya
adalah melakukan anamnesis seperti umumnya dokter ke pasien untuk
kemudian kasi saran obat yang cocok menurut saya. Dan ini saya lakukan
pada siapa pun, dari teman biasa sampe orang dekat macam keluarga dan si
"dia".
Dia pernah protes sih. Dia bilang, "Wi...diperhatiin dong. Lagi sakit nih."
Dan
saya dengan bingungnya bilang : "Kan udah. Udah dikasi obat, udah
dikompres, udah diambilin makan sama minum, udah diselimutin. Istirahat
aja sekarang, nunggu obatnya bereaksi."
Membaca kesebalan Alexandra,
saya jadi mikir, mungkin maksudnya waktu itu si dia pengen dimanjain ya?
Dikelonin dan dipuk-puk gitu? Yeeee.....bilang dong :|
Tapi satu
yang gak disadari Alexandra (dan mungkin orang lain), dokter itu (ato
paling enggak saya) emang refleksnya gitu kalo ketemu orang sakit. Yang
pertama saya pikirkan adalah apa yang bisa saya lakukan untuk
memperingan sakitnya. Dan yaaahhh...the easiest way ya to suggest some
medicine.
Lagian gak mungkin juga pasien saya kelonin ato saya
puk-puk kan? Paling bisa ya ber-empati. Empati yang juga saya terapkan
ke orang-orang dekat saya.
Saya suka lupa kalo orang dekat itu gak bisa
dimasukkan dalam kategori yang sama dengan "pasien". Bahwa selain
empati, saya juga boleh bersimpati sama mereka.
So thanks to Ika Natassa dan Twivortiare yang udah ingetin satu fakta yang sebenernya saya udah tau, tapi suka dilupakan :">
Pertanyaannya,
kenapa buku yang begitu banyak memberi pelajaran seperti ini, dengan
format unik pula tetap saya
kasi rating 4 bintang?
Jawabnya karena saya jenuh dengan banyaknya bahasa inggris yang bertebaran di buku ini.
Udah bukan banyak lagi, overdosis malah. Bisa lho sampe 2-3 lembar full bahasa inggris.
Yaaa....saya
sih masih ngerti aja, tapi jadi kepikir : "Untuk jadi pembacanya Ika
Natassa itu kudu bisa bahasa inggris ya? Apa syarat seperti itu udah
termaktub somewhere entah dimana?"
Dan bertanya juga, pemasaran buku ini sejauh apa ya?
Saya
yakin jumlah masyarakat Indonesia yang ngerti bahasa inggris lebih
sedikit dibandingkan yang bisa. Warga di kota-kota di Pulau Jawa dan
kota-kota besar lainnya emang banyak yang fasih berbahasa inggris, tapi
mereka yang di ujung Kalimantan sana? Yang di Ambon dan sekitarnya?
Dengan
overdosis-nya bahasa inggris di sini, saya sih gak yakin buku ini bisa
dimengerti mereka-mereka yang di pelosok Indonesia sana.
Dan menurut
saya sih sayang kalo karya yang sarat nilai positif tapi disajikan
dengan ringan seperti Twivortiare ini gak bisa dinikmati mereka disana.
Jadi....kalo
lain kali menulis buku, bisakah menuliskan buku yang menggunakan bahasa
Indonesia secara utuh dari awal ampe akhir, mbak Ika Natassa?
Karena
saya perhatikan, semua buku anda begitu kuyup dengan bahasa inggris.
Apakah karena kesulitan menemukan bahasa indonesia yang tepat untuk
mewakili apa yang anda maksudkan?
Padahal saya yakin untuk setiap frase yang ada di bahasa inggris, ada padanan yang tepat di versi indonesianya.
Come on, mbak. I know you can do that. I dare you! :)
"The simplest things in life are what make
us happy eventually. A warm and comfy home, being loved, and knowing
that somebody can't live without you." (p. 193)
selain kuyup dengan bahasa Inggris, ada banyak kesamaan yang bisa ditemukan di buku-bukunya Ika Natassa.
ReplyDelete1. profesi tokoh yang seorang pegawai bank
2. ada F1, john meyer, sama singapura.
Haha, bu dokter lempeng ih..
ReplyDeleteMba, versi Gramedia ini yg uda ada editornya masih sering nyampur bhs inggris-indonesia yg bikin pusing ga? Kayak yg aku kritik disini
menyambungn komentar mb desty alasan kenapa mb Ika selalu menjadikan banker profesi utama tokohnya karena dia ingin kayak John Grisman ya kalo g salah? seorang pengacara yang menulis buku dengan profesi utama tokoh utamanya juga seorang pengacara, pernah baca di artikel mana gitu dan alasannya sama, selai itu profsi banker jarang banget digunakan dalam novel, jadi biar nambah wawasan gitu gimana sih susahnya jadi seorang banker, hehe.
ReplyDeleteak juga g teralu ngebet banget sama tanda tangan lewat pre order, aku ngebetnya tanda tangan yang lewat juis, biar gratis gitu :))
@desty : Eh? AVYW ada F1 dan John Meyer-nya juga ya, mbak? Klo itu aku lupa
ReplyDelete@Oky: Masih banget, ky. Cuma gak separah yg di-reviewmu sih. Aku berusaha nyari bagian yg "need to tweet this kekesalan out" dan gak nemu. Kayaknya udah diedit.
@Sulis : Hahahaha....dasar ratu kuis. Aku sih klo menang lewat kuis, gak peduli tanda tangan ato gak. Hajaaaarrrr :)).
Btw ow...jadi Ika emang sengaja pilihnya banker mulu ya. Seperti Marga T yg profesinya selalu dokter (lbh mirip ke Marga T drpd Grisham ah. Paling nggak Marga T dan Ika satu genre)