Sunday, August 19, 2012

The Missing Piece

Data Buku :
Judul : The Missing Piece
Penulis : Shel Silverstein
Hardcover, 112 pages
Published : April 14th 1976 by HarperCollins
ISBN : 0060256710  
ISBN13: 9780060256715

Warning : Contain Huge Spoiler

Sebelumnya maaf ya, review ini emang kudu spoiler. Karena saya gak menemukan cara untuk bercerita tentang buku ini tanpa memberi spoiler. Dan berhubung buku ini emang ceritanya dikit, maka yah...bercerita sedikit tentang buku ini pun sudah jadi spoiler.

Saya ini penggemar berat buku anak, jauh sebelum saya suka genre lain. Terutama children books yang ditulis dengan unik dan witty.
Buku anak yang saya maksud di sini tuh bukan yang karangan Enid Blyton ato Astrid Lindgren ato Roald Dahl (walau pun saya juga suka karya mereka sih). Tapi lebih ke buku anak yang buat anak TK - kelas 1 SD. Jadi emang tipe novel grafis.
Dan yang paling saya suka adalah buku anak yang ditulis dengan unik dan witty.

Dari semua penulis buku semacam itu, Shel Silverstein adalah favorit saya (yaaa selain Dr. Seuss sih). Kata-katanya indah, puitis tapi gampang dicerna, artworknya simpel dan gak ngeribetin. Lalu makna dibalik ceritanya itu bagus-bagus.

Nah salah satu karya dia yang paling saya suka itu duologi Missing Piece ini.

Buku pertama yang judulnya "The Missing Piece" menceritakan tentang sebuah lingkaran yang kehilangan satu "piece" dari dirinya. Kehilangan satu "piece" aja ternyata berpengaruh, karena dia gak bisa menggelinding dengan lancar. Maka dimulailah perjalanan sang lingkaran untuk menemukan bagian yang hilang.

Perjalanan itu gak mudah. Dia bertemu dengan "piece" yang kekecilan, berikutnya malah yang kebesaran. Pernah juga dia bertemu dengan "piece" yang pas, tapi karena gak dipegang dengan kuat eh terlepas lah "piece" itu. Dan si lingkaran pun terus mencari. Sambil mencari, dia menikmati petualangannya; bermain dengan lebah, becanda dengan bunga, bernyanyi, sampai ngerasain jatuh ke lubang.

Hingga suatu hari, dia bertemu dengan "missing piece"nya.
Awalnya si lingkaran bahagia, dia merasa hidupnya utuh. Tapi belakangan dia sadar, karena bisa menggelinding dengan lebih cepat, dia gak punya waktu untuk menikmati alam sekitarnya. Dia juga gak bisa bernyanyi karena mulutnya ketutupan si "missing piece" ini.

Jadi akhirnya dia memutuskan untuk melepaskan satu "piece" itu dan kembali menikmati dunianya.

Ketika pertama membaca buku ini, saya sempat gak puas.
Jiwa idealis saya protes : "Ih...kan dia udah dapat yang dia cari. Kok masih gak puas aja?"
Apalagi kalo mau dipikirkan, si lingkaran itu bisa dianalogikan dalam hidup. Kita merasa hidup ini kurang lengkap, makanya kita mencari "missing piece" kita, our "significant other".
Tapi ternyata, setelah ketemu, malah merasa seperti kehilangan kebebasan. Apa penulisnya mau mengajarkan bahwa lebih baik hidup sendiri tanpa orang lain?
Nilai macam apa yang mau diajarkan ke anak-anak?

Tapi ternyata kalo anak membaca buku itu memang sebaiknya didampingi orang tua ya. Karena membacanya sekarang, saat saya sudah mengerti, saya mendapat persepsi yang beda. >.<
Buku ini memang bercerita tentang hubungan manusia.
Contohnya waktu lingkaran menemukan "piece" yang cocok, tapi karena gak dipegang erat, "piece" itu pun terlepas. Kadang kita juga gitu kan? Kita menemukan orang yang (mestinya) cocok, tapi karena gak kita jaga ya lepas gitu aja.
Lalu saat lingkaran menemukan "piece" yang cocok, dia malah merasa jadi terlalu terikat, kehilangan identitas, dan terbebani. 
Menurut saya, Silverstein ingin memberi tahu bahwa terkadang hubungan yang kita pikir akan sempurna, tidak selalu berjalan sesuai perkiraan. Dan mungkin, kebahagiaan justru terletak dalam perjalanan kita mencari si "The One" itu.

Dan endingnya?
I love the ending.
Menurut saya, keputusan si lingkaran untuk melepas si "piece" dan kembali menikmati harinya seperti semula, itu sangat tepat.
Kalau sesuatu yang kita khayalkan ternyata tidak sesempurna impian, maka jangan takut untuk melepasnya. Lebih baik hidup dalam kebahagiaan walau pun tidak sempurna, daripada berkeras mempertahankan khayalan semu padahal tertekan.
Endingnya juga realistis menurut saya.
Banyak orang yang mengejar impiannya dengan menggebu-gebu, tapi pada akhirnya menyerah. Entah karena dia sudah mencoba terlalu sering dan selalu gagal ato karena putus asa.

But you know what's the best part of this book in my opinion?
It's because Silverstein used an open ending. He didn't write what the circle were thinking. He only drew what the circle did (letting go the piece and back to chasing butterfly). He let the readers interprete its gesture. He let us decide whether the circle really gave the piece up or it just put the piece there for a while and later gonna take it back.
Me, in my opinion, I choose to believe that the circle didn't give up his dream. It only paused it for a while to have fun. :)

Such an inspiring book. I give it 4,5 stars. Why 4,5 instead of 5 stars?
Because it's hard for kids to understand it.

Btw sayangnya saya gak nemu downloadan buku ini (padahal dulu ada lho, saya sempat punya versi downloadnya di laptop lama).
Tapi saya nemu link youtube-nya. Dan disitu pun udah lengkap.
Saya benar-benar menyarankan untuk nonton youtube-nya. Apalagi background song-nya itu Kiss The Rain dari Yiruma (pianis favorit saya). Lagu itu pas banget menggambarkan perjalanan si lingkaran.
Mungkin aja anda gak suka bukunya, tapi saya yakin deh anda bakal suka lagunya :)

So...go watch it



Ato kalo mo nonton langsung di youtube, bisa : click here

Friday, August 10, 2012

Friday's Recommendation #3 : The Solitude Of Prime Numbers

 

Yeaayyy....setelah sempat alpa ikutan friday's recommendation karena saya mudik dan gak megang laptop, sekarang bisa ikutan lagi.

Seperti biasa, posting rules nya dulu :

1. Pilih jenis rekomendasi buku. Ada dua jenis rekomendasi, yang pertama dan sifatnya mutlak adalah Rekomendasi Buku untuk Diterjemahkan . Jika tidak ada buku yang direkomendasikan untuk diterjemahkan, maka bisa memilih pilihan kedua, Rekomendasi Buku Pilihan. Disini rekomendasikan buku yang paling kamu suka baca dalam minggu ini.
2. Pilih hanya 1 (satu) buku untuk direkomendasikan. Tidak boleh lebih.
3. Beri sinopsis, genre buku dan alasan kenapa kamu merekomendasikan buku itu.
4. Posting button meme (sementara) di bawah ini :


5. Blogger yang sudah membuat memenya, jangan lupa menaruh link ke blog di daftar linky di bagian paling bawah post ini, sehingga pembaca bisa blog walking.
6. Untuk pembaca blog yang tidak punya blog, bisa menulis rekomendasinya di kolom komen.
7. Bahasa yang dipergunakan terserah. Jika memang khusus blog yang menggunakan bahasa Inggris, dipersilakan menulis dengan bahasa Inggris. Begitu juga sebaliknya.

Untuk minggu ini, saya mau rekomendasikan buku ini:

The Solitude of Prime Numbers by Paolo Giordano
Genre : Young Adult, Drama

Sinopsis:

A prime number can only be divided by itself or by one—it never truly fits with another. Alice and Mattia, both "primes," are misfits who seem destined to be alone. Haunted by childhood tragedies that mark their lives, they cannot reach out to anyone else. When Alice and Mattia meet as teenagers, they recognize in each other a kindred, damaged spirit.

But the mathematically gifted Mattia accepts a research position that takes him thousands of miles away, and the two are forced to separate. Then a chance occurrence reunites them and forces a lifetime of concealed emotion to the surface.

Like Mark Haddon's The Curious Incident of the Dog in the Night-Time, this is a stunning meditation on loneliness, love, and the weight of childhood experience that is set to become a universal classic.

Comment: 

Eh btw si pengarang gak bersaudara dengan Giordano yang jualan baju itu kok, yang hobi teriak-teriak di mall "Giordanonya, kakaakkk". Ya kali aja ada yang mikir gitu (kayak saya :D)

Buku ini udah pernah direkomendasikan Ndari di Friday's Recommendation #1 nya dan sejak baca di situ, saya langsung jatuh cinta.

Judul dan sinopsisnya itu lhooo...

Saya emang demen matematika dan selalu suka sama prime number aka bilangan prima soalnya bilangan prima itu unik. Cuma bisa dibagi sama 1 dan angka itu sendiri, jadi memudahkan. Saya ingat, waktu SD dulu tiap ketemu pembagian yang pake bilangan prima, langsung girang karena berasa "gampang".

Udah gitu, makin cinta sama bilangan prima sejak nonton dramanya Hyun Bin yang berjudul Secret Garden. Ceritanya si Hyun Bin jadi genius matematika juga. Dan disitu ada kalimat tentang bilangan prima yang keren :

Bora : "Prime number... I knew it before. What is it again?"
Tae Woong : "A number that can only be divided by one and itself. That's what a prime number is. It has a lot of pride and you can think of it as a lonely number."
Bora : "Why? It's the first time I've seen someone call a number lonely. Is that weird?"
Tae Woong : "No... it's something you'd do."
Bora : "But oppa... the way I see it, prime numbers aren't lonely at all. It has one. If there's only one person in the entire world who can understand you, it's okay. Then you're not lonely at all. Therefore, the one and only divisor that understands me, I hope that it's you."

*eh kok jadi ngelantur ke Hyun Bin?*

Balik ke buku.

Karena baca di blognya Ndari, saya langsung mupeng banget ampe nekat pinjem padahal tumpukan masih banyak :D.

Seperti yang dibaca dari sinopsis, Mattia dan Alice memang tipe "bilangan prima". Aneh dan tersisih dari lingkungannya. Makanya pertama ketemu, mereka langsung merasa klop.
Sayang, berbagai circumstances memisahkan mereka.

Penulisannya juga keren. Auranya gloomy, sad, tapi sangaattt well written. Poetically well written indeed.

Saking terseponanya, saya ampe sengaja merekomendasikan ulang buku ini. Yaaa siapa tahu makin banyak direkomendasikan bisa makin membujuk para penerbit gitu.

Nah ini rekomendasi saya. Kalo kamu?
Oya...cek rekomendasi lain di blognya Ren yaa

PS :
Saking terseponanya, saya ampe beli buku ini juga. Kalo ada yang mo minjem, silakan lho. Tapi tunggu bulan depan ya. Katanya pesanan saya baru ada bulan depan :D

Tuesday, August 07, 2012

Mendadak Dangdut

Data Buku:
Judul : Mendadak Dangdut
Penulis : Ninit Yunita
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2007
ISBN : 9797800407 
Iyaaa....saya emang kurang kerjaan kok ampe baca "novel" ini.
Jadi...masalah buat loe? Hah? Hah?? Hah???
#eaaaa #BaruMulaiUdahNgajakRibut #DikepretLightSaber X)

Sebenernya saya males sih bikin review untuk "novel" ini. Gak tega aja liat ratingnya yang udah tiarap di goodreads. Entahlah gimana rating penjualannnya di luar sana.
Tapi gak tahan juga untuk gak protesss dan berunek-unek ria. So yah...mari kita bikin curhat singkat aja.

Ceritanya tentang Petris (di film diperankan Titi Kamal), penyanyi pop terkenal generasi MTV yang egois dan mengganggap orang lain bego. Dia punya manajer Yulia (dimainkan oleh Kinaryosih), kakaknya sendiri yang kalem dan sabar banget menghadapi keangkuhan adiknya.

Suatu malam, Petris dan Yulia kena razia narkoba di jalan. Di mobil mereka ada Gerry, pacar Yulia yang bawa tas berisi heroin 5kg. Gerry berhasil kabur, dan gantinya kedua cewek kinyis itulah yang ditangkap polisi.

Berhubung takut dihukum mati, kedua cewe itu kabur lewat toilet.
Okay...ceritanya emang absurd. Jadi gak usah mikir kenapa juga polisi bisa sebegitu bego ampe tersangka narkoba bisa kabur lewat toilet. Percayalah, masih banyak yang lebih perlu dipertanyakan ketimbang perkara jendela toilet itu.

Lanjut...
Mereka berdua menemukan tempat sembunyi ideal di sebuah kampung yang ada orkes organ tunggal dangdutnya. Orkes yang dipimpin oleh Rizal something (lupa nama lengkapnya) lagi kebingungan karena penyanyi utama mereka hengkang. Dan dengan jeniusnya, Yulia menyarankan Petris untuk mengisi posisi tersebut, biar mereka bisa ngumpet lamaan. Yang lebih jenius lagi, Petris setuju walo ngedumel.

Dan mulailah petualangan Petris dan Yulia di kampung tersebut. Petualangan yang nantinya mengubah hidup dan sifat keduanya.

Sebenernya bakat kacrut "novel" ini sudah terlihat dari covernya yang norak itu kok.
Apa? Cover itu disesuaikan dengan poster filmnya?
Ya kalo gitu poster filmnya juga norak ;p.
Hah? Karena judulnya ada kata dangdut makanya dibikin kesan norak?

Kalo gitu sih sayang banget ya. Karena lagu semacam Keong Racun, Cinta Satu Malam dan Anggur Merah itu adalah sebuah masterpiece yang kelasnya jauh di atas buku ini. Bahkan lagu dangdut mestinya diangkat sebagai identitas bangsa Indonesia.

Om saya yang asli orang India itu demen banget sama lagu yang syairnya gini : "Maaf dariku bukan untuk kau ulang. Sabar di dada batasnya sudah hilang. Kau bilang sahabatmu hanya teman biasa. Di bawah meja kakimu mena..." *Eh kok jadi keterusan nyanyi sih?*

Ya maap, refleks tiap denger lagu ini rasanya langsung pengen kariyoki (buat loe yang gak gaul, that means karaoke :p).
Dan saking demennya, si Om ini menitahkan saya untuk bikin terjemahan lagu itu dalam bahasa inggris. Kalo perlu dalam bahasa Hindi dan Tamil sekalian :/.

Masih perlu bukti dangdut itu oke?

How about this? Teman saya, Chiaki, yang asli Jepang ngefans banget dengan Rhoma Irama. Oh ya...selera temen saya itu emang hardcore. Gak tanggung-tanggung, Rhoma lho favoritnya! *kagum beneran*

Dan seakan ngefans aja belum cukup, Chiaki ini keukeuh sekali mengumpulkan semua album dan video klip lengkap milik Pak Haji Berbulu Dada Aduhai itu.
Digeretnya saya menyusuri satu persatu lapak penjual mp3 dan vcd/dvd bajakan di Glodok. Dan berhubung dia gak bisa bahasa indonesia, maka saya lah yang ketiban tugas buat nanya : "Koh/Ci, punya albumnya Rhoma Irama? Ato dvd karaokenya mungkin?"

Chiaki sama sekali gak peduli kalo saya tengsin sebenernya nanya kayak gitu. Dia bahkan gak ngerti waktu saya kasi tau bahwa ketahuan beli anything yang menyangkut Rhoma Irama berpotensi besar menghancurkan image saya.

"But why, wi? This guy is a pure genius. All his songs are so beautifull yet sad. Make me wannna hug him. If he's in front of me right now, I'm gonna kneel and worship him."

Sumpah...saya speechless.
Sepanjang umur saya, belum pernah saya dengar ada pemujaan sedemikian tinggi terhadap Rhoma Irama. Heck...saya bahkan belum pernah dengar Beatles dipuja setinggi itu.
Sekaligus malu juga. Dengan keberadaan band sekeren Luna Sea dan L'arc en ciel di negaranya, Chiaki malah memberi pujian setinggi itu kepada Sang Satria Bergitar. Ah betapa saya telah meremehkan sang raja dangdut itu. :')

"And don't you see his face? That's the face of a royal you know. His beard? So great. Even his hairy chest is so artistic. This guy seriously is a God's gift to your country."

Okeh...ampe disitu saya batal terharu.
Saya langsung kepengen seret Chiaki ke psikiater terdekat. Pasti ada baut yang kendor di otak dia.
Ato virus yang setiap hari dipacarinya di laboratorium itu udah merusak otak brilyannya. (Btw Chiaki adalah peneliti bidang Virologi yang dikirim ke Jakarta demi tugas penelitian).

Belum puas di Glodok, Chiaki maksa geret saya ke Jl. Surabaya karena ada penjual di Glodok yang menyarankan ke sana.
Agak heran sih saya. Jl. Surabaya itu kan tempat jual barang antik ya. Emang si Bang Haji udah segitu antiknya ampe layak masuk sana?

Etapi ternyata beneran ada dong!
Entah kesambet apa, ada satu penjual di sana yang jualin cd dan kaset Rhoma Irama. Bahkan ampe ada piringan hitamnya! (Jujur saya baru tahu ada piringan hitamnya Rhoma)
Dan Chiaki begitu bahagia sewaktu melihat koleksi idolanya bertengger manis di rak berdebu. Hampir dipeluknya si abang penjual sambil nangis terharu (emang lebay teman gw satu itu).

Dan melihat tawa Chiaki, saya membatalkan niat untuk berkunjung ke psikiater. Biarlah baut otaknya kendor. Biarlah otaknya mulai atrofi digerogoti virus. Yang penting dia bahagia dan punya impresi bagus tentang Indonesia. Dan semua itu karena dangdut. Bukaaannn....bukan karena Rhoma. Tapi karena dangdut. #InDenialMode

Sejak itu, saya respect banget sama dangdut. Dan berpikir mestinya dangdut dijadikan identitas bangsa. Dikemas dalam tampilan yang lebih artistik dan diubah imagenya supaya gak kampungan, pasti dangdut bisa bersaing dengan jazz untuk diputer di hotel berbintang. *Dan sepertinya saya ketularan lebay deh*.

Jadi buat saya sih, sayang banget ya kalo ada novelist ato filmmaker yang terjebak dalam stereotipe lama dan malah turut men-downgrade musik dangdut. Padahal mereka lah yang mampu menjangkau khayalak ramai dan mengubah paham kadaluwarsa itu.

Sungguh, saya prihatin.

Photobucket

*misuh misuh*
Lho?
Kenapa ya orang ini yang nongol? Mestinya kan Pak Presiden. Tapi yaaa...saya turut prihatin sih ngeliat rambutnya disitu.

Okeh Lanjut...
Sebaiknya saya gak berpanjang-panjang bahas cover (segini gak panjang, wi?) karena seorang penulis pernah bilang kalo mo review itu bahas hal teknis, jangan non teknis semacam cover.

Jadi mari kita bahas isi cerita...

Point kacrut nomor 2 adalah saat Yulia dan Petris memutuskan kabur dari polisi.
Ide untuk kabur dari polisi mungkin saja dimiliki semua orang yang tertangkap. Tapi hanya tawanan perang, tahanan politik atau penjahat profesional lah yang berani mengeksekusi rencana tersebut. Pastinya bukan cewek kinyis nan unyu macam Petris dan Yulia. Emangnya dipikir Polri belum belajar teknik ngejar buronan?

Kalo saya dan jutaan orang normal lain yang terjebak dalam situasi itu (amit-amit sih), saya lebih milih menghubungi pengacara sekaliber Elsa Syarief ato Hotman Paris. Kalo mereka bisa bikin Tommy kena hukuman ringan dan Cut Tari aman dari penjara padahal videp bokepnya beredar luas, maka semestinya saya yang "cuma" kebetulan ditemukan bersama heroin 5kg bisa dengan gampang dibebaskan.

Poin ketiga yang membuat cerita ini makin kacrut adalah ide jenius untuk bersembunyi dari kejaran polisi dengan cara...jadi penyanyi dangut! Yang bakal tampil depan puluhan bahkan ratusan penonton! :S
Dia mungkin mau nerapin strategi art of war-nya Tsun Zu ya. Strategi yang bilang : "tempat berbahaya adalah tempat paling aman."
Jadi kalo kapan-kapan Anda perlu menghindari sorotan polisi, cobalah muncul di bawah spotlight panggung yang lain. (Nyambungnya dimana? Mbuh...saya juga bingung :p)
Kenapa gak sekalian aja si Petris itu disuruh muncul jadi peserta di KDI? Ato jadi peserta Masterchef Indo gitu. Sama aja kan? Dua-duanya jauh banget dari genre MTV Pop.

Poin kacrut berikutnya adalah pemikiran bahwa masyarakat penggemar dangdut gak mengenali wajah salah satu artis ngetop.
Oke...di halaman 44, tokoh Yulia memang sudah memberi argumen dengan bilang : “Nggak semua orang di Indonesia nonton MTV”.

Dan itu emang benar.
Tapi hampir semua orang Indonesia nonton infotainment (yang frekuensi penayangan per harinya bahkan melebihi jumlah sholat wajib) atau baca tabloid gosip (Nova kek, Bintang kek, Lampu Merah kek, Enny Arrow kek...eh salah. Ya pokoknya itu lah. Koran - koran kuning itu).

Dan jadinya aneh aja kalo gak ada satu pun warga yang bisa mengenali seorang penyanyi ngetop ada di antara mereka. Saya yakin banget, di dunia nyata kalo Luna Maya ato Sophia Latjuba diceburin diantara fans dangdut, mereka pasti masih ngeh juga dengan keberadaan makhluk langka itu.

Fakta bahwa Petris bisa aman ngumpet selama berminggu-minggui menunjukkan bahwa kampung itu miskin dari tayangan infotainment dan juga tabloid gosip. Bahkan tabloid pun mungkin cuma dicetak terbatas ya. Soalnya setelah Petris borong semua tabloid di sebuah lapak, persembunyiannya aman sentosa.

Heu? Ini settingnya dimana sih? Mestinya masih di kampung yang dekat sama Jakarta kan? Yang pastinya ada banyak penjual tabloid?
Miris bacanya.
Miris pada logika penulisnya yang kok ya segitu ngesotnya gitu lhooooo...

Ide cerita sih sebenernya bagus. Tentang seorang yang bertransformasi jadi dewasa setelah keluar dari zona nyamannya. Juga tentang 2 saudara yang kembali menemukan arti sebenarnya dari kata "saudara". Sayang, set up yang dibangun terlalu absurd dan kacrut sehingga pesan moralnya terabaikan.

Kenapa gak bikin set up yang lain?
Misalnya Yulia taruhan kalo Petris gak bakal kuat hidup susah dan demi membuktikan itu salah, Petris nekat pergi ke tempat terpencil di ujung Indonesia sana, yang gak ada listrik apalagi tabloid gosip.

Ato bisa juga, pesawat yang ditumpangi Petris & Yulia jatuh dan mereka terdampar di sebuah pulau asing yang hobi penduduknya adalah dengerin dangdut. Dan demi bisa diterima di komunitas itu, Petris kudu rela jadi penyanyi dangdut.
Ide di atas absurd? Basi? Emang iya. Tapi seenggaknya lebih bisa dipercaya sih.

Ini perjumpaan kedua saya dengan buku kacrutnya Ninit, yang mana keduanya adalah adaptasi skenario.
Waktu di Heart sih saya masih berusaha cari pembelaan dengan bilang ide cerita yang kendor bukan salah dia karena cuma adaptasi dari skenario. Di sini saya udah kehabisan ide mo bilang apa.

Well saya sih masih berpikiran bukan salah Ninit kalo ceritanya kacrut. Ide ceritanya emang udah kendor, bahkan lebih kendor dari kolornya Donal Bebek.
(Percayalah, Donal Bebek itu awalnya pake kolor. Tapi karena kendor banget, jadi lebih sering keliatan gak pake) *sengaja banget dijelasin* =)

Kesalahan Ninit tetap karena dia khilaf nerima job ini.
Dan balik lagi ke pertanyaan saya di review sebelumnya : "Kenapa sih Ninit mau nerima job adaptasi film ke buku kayak gini?"

Saya baca di sini sih karena Ninit merasa tertantang.  Buat dia, menulis "novel" adaptasi memiliki tingkat kesulitan dan keasyikan sendiri yang berbeda dengan menuliskan karya asli.
Yaaa kalo emang gitu, pilih dong naskah yang lebih berbobot. Soegija ato Lewat Djam Malam misalnya. Jangan yang kancut begini!

Baidewei...nyadar gak kalo saya ngasi tanda kutip tiap mengacu ke "novel" ini?
Yap...itu karena saya gak rela mengakui "novel" ini sebagai novel. Buku ini gak bisa dibilang novel. Ini hanyalah usaha sekelompok orang tertentu yang berusaha mengeruk duit dengan menginjak logika berpikir masyarakat Indonesia. (aih syedap pisan bahasa eyke).
Orang-orang yang melupakan tujuan dibentuknya negara ini yang telah dimaktubkan para founding fathers kita dalam pembukaan UUD '45 yang salah satunya adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa". (Euh...makin lebay deh saya O_o)

Yah mungkin bisa saja "novel" ini dianggap sebagai novel. Tapi itu artinya, saya kudu mengakui upil itu makanan. Bisa aja toh dimakan? Kalo dimakan sekwintal, mungkin malah bikin kenyang.
But the question is, how desperate are we to eat that kind of thing?
How desperate are we to accept this kind of "novel" as a novel?
Don't we have something more decent to eat?
Don't we have a better work to be called as novel?
And...
How desperate am I actually to make this review? #lah
(Udeh...gak usah dijawab yang terakhir. Itu pertanyaan retoris). #LahSiapeJugaNyangMauJawabWoi

Udahan ah curhat pendeknya. (pendek versi jepang, wi?)
Saya mo balik ke PR dari Om tercinta dulu yaitu nerjemahin lagu Vetty Vera yang berjudul 5 Menit Lagi dalam bahasa Inggris, Hindi dan Tamil kalo bisa.

Salam Dangdut!

"5 Menit lagiii...ah...ah...ah...
5 menit lagiiii....
Dia mau datang menjemputkuuuu...."



PS : Oiya...kenapa ya Si Om gak pernah nyuruh saya nerjemahin sontrek film ini ke dalam bahasa inggris?
Pan enak...eyke bisa cela dia secara halus.
"Miss, come dangdutan with abang yuk."
"Ih...sonofabitch you."
Aih kerennyaaaa...
Ada yang mo bantu nyetanin lagu ini ke Om saya? Makasi lho sebelumnya.