Showing posts with label GPU. Show all posts
Showing posts with label GPU. Show all posts

Saturday, January 30, 2016

The False Prince

 Detail Buku :
Judul Asli : The False Prince
Judul Terjemahan : Pangeran Palsu
Penulis : Jennifer A. Nielsen
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN13 : 9789792298321
Bahasa : Indonesia
Tahun Terbit : Oktober 2013
Rating : 4 out of 5 stars

Sage adalah anak yatim piatu yang tinggal di sebuah panti asuhan di Carthya. Suatu hari, Sage dijemput oleh Lord Conner dan dibawa ke rumahnya bersama 2 anak lelaki lainnya. Ternyata, mereka bertiga akan dididik untuk menjadi pangeran palsu.

Oh sebentar deh...
Kayaknya mending saya ceritain dulu situasi pemerintahan Carthya saat kisah ini berlangsung.

Jadi Carthya itu sebuah kerajaan kecil tapi makmur. Dipimpin oleh seorang raja bijaksana bernama Eckbert dan Ratu Erin. Raja dan Ratu mempunyai dua putra : Pangeran Darius sang putra mahkota dan pangeran Jaron yang pemberontak. Tapi pangeran Jaron telah lama menghilang ketika kapalnya diserang bajak laut sewaktu dalam perjalanan menuju Bymar (negara tetangga). Pangeran Jaron pun dianggap tewas walau jasadnya tak pernah ditemukan.

Yang belum diketahui khalayak ramai : Raja, Ratu dan Putra mahkota baru saja tewas diracun. Pihak istana masih menyembunyikan hal ini sampai digelarnya pertemuan para regen (semacam anggota parlemen negara Carthya). Bila tak ada pewaris berikutnya, maka regen terkuat lah yang akan memegang tahta.

Di sini lah rencana yang disiapkan Lord Conner. Dia berencana melatih ketiga anak yang secara fisik mirip dengan Pangeran Jaron untuk berperan sebagai si pangeran yang hilang. Ketiga anak itu pun sadar mereka harus berusaha keras menjadi yang terpilih. Karena kalo mereka gagal, maka nyawa taruhannya.

Masalahnya, walo pun sayang nyawa, tapi Sage juga gak sudi mengikuti perintah Lord Conner begitu saja. Karena itu, dia melakukan segala cara untuk membangkang perintah Lord Conner. Sambil berusaha meyakinkan sang Lord bahwa dia lah pilihan terbaik. Sounds oxymoron? Ato kontradiktif? Emang iyaaa. Dan itulah point yang membuat novel ini menarik. :))

Susah bener ya nge-review novel ini. Padahal saya udah kelar baca 2 hari sejak novelnya diterima, tapi  butuh waktu lama untuk membuat review-nya.

Apa karena ceritanya jelek?
Jelas nggak. Justru bagus banget. Tapi saya bingung gimana menceritakan kebagusannya.

Menurut saya sih, point plus cerita ini ada di pace-nya yang cepat. Jadi baca buku ini rasanya seruuuu.
Ditambah lagi karakter Sage sebagai tokoh utama yang nyeleneh. Sifat Sage yang seenaknya dan tindakannya yang gak ketebak membuat novel ini jadi page-turner banget. 

Ada saat-saat ketika sebenarnya saya ngantuk banget ato kebelet banget, tapi gak bisa berhenti membaca karena si Sage baru saja terlibat masalah dan saya penasaran bagaimana (lagi) cara dia meloloskan diri. Dan mengingat betapa seringnya Sage terlibat masalah, situ bisa nebak kira-kira berapa lama saya nahan kebelet? *halah dibahas*

Di luar keseruannya itu, sebenarnya novel ini punya plot cerita yang simpel dan standar. Tema pangeran yang menyamar itu udah sering banget dipake di kisah dongeng dan fantasi. Twist yang ada dan klimaks juga udah ketebak. Tapi...terkadang memang bukan klimaks yang terpenting dalam sebuah cerita, melainkan perjalanan menuju ke sana. And boy, what a journey it was.

Hadeuh...saya mati gaya beneran untuk mendeskripsikan asyiknya novel ini. Apa ocehan saya di atas udah bisa meyakinkan kamu untuk baca novel ini? Belum?
Well...emang susah menggambarkannya. Keseruan dan ketegangan novel ini adalah sesuatu yang harus kamu coba sendiri. So...don't hesitate to read this book as soon as possible and thank me later.

TEBAK SANTA

Okeh...berhubung novel keren ini adalah pemberian santa saya melalui event Secret Santa 2015, maka sekarang saatnya saya menebak siapa santa saya.

Riddle yang diberikan santa seperti gambar di bawah ini


Siapakah aku?
Nama blogku adalah judul sebuah lagu kpop yang dinyanyikan oleh SHINee
clue : Music Video lagu ini mencapai jutaan viewer di youtube
Dan sesuai riddle, maka terduga santa saya hanya ada satu : Neneng Lestari, BBI Aceh dengan blognya berjudul Ring Ding Dong
(Ring Ding Dong adalah single Shinee yang video klipnya di youtube sudah dapat lebih dari 6 juta view).
Dear Neneng, makasi untuk bukunya yaaa. Senang berkenalan denganmu :)

Sunday, August 23, 2015

In A Blue Moon

Data Buku :
Judul : In A Blue Moon
Penulis : Ilana Tan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Ilustrasi dan Desain Cover : Kitty Felicia Ramadhani
ISBN : 978-602-03-1462-4
Tahun terbit : 2015
320 hlm; 20 cm
Rating : 2,5 bintang

"Aku sudah menemukan tunanganmu," kata kakeknya kepada Lucas Ford di suatu sore.
Usut punya usut, ternyata sang kakek sudah lama berniat menjodohkan Lucas dengan cucu sahabatnya.

Awalnya Lucas gak setuju dengan ide tunangan ini. Tapi berubah begitu tahu kalo tunangan yang dimaksud adalah Sophie Wilson yang merupakan teman SMA Lucas. Mereka terakhir bertemu 10 tahun lalu.
Tapi sang gadis membenci Lucas sejak dulu. Dan rupanya kebencian itu masih bertahan sampai sekarang.

Lucas pun mulai mendekati Sophie. Bukan karena mengikuti keinginan kakek, tapi karena dia ingin mengubah pendapat Sophie tentang dirinya. Juga karena rasa suka yang masih bersemayam di hatinya terhadap gadis itu bahkan setelah sekian lama berpisah. Masalahnya mengubah opini seseorang atas diri kita itu nggak mudah (boleh tanyakan ke Jokowi kalo nggak percaya #salahtempatoy). Apalagi ketika dia harus bersaing dengan Adrian, mantan pacar Sophie yang pengen rujuk dengan gadis itu.
“Aku bersedia melakukan apa pun agar kau tetap berada di sisiku, bersamaku, selama kau juga menginginkan hal yang sama.”
(Lucas Ford)
Seseorang yang -let's say- prominent di dunia perbukuan lokal pernah bilang kalo kelebihan novel-novel Ilana Tan terletak pada kesederhanaannya. Less is more, kata beliau.

Kalo tolak(ato tolok?) ukurnya kesederhanaan, maka anda emang gak bisa mendapatkan yang lebih simpel dari In A Blue Moon.
Gak usahlah kita bahas gaya tulisan dan diksi Ilana Tan. Memang sudah pengetahuan umum kalo gaya nulisnya 'biasa'. Gak ada kalimat berbunga-bunga yang puitis nan ribet di novel-novel Ilana. Semuanya ringkas, bersih, manis. Singkatnya : sederhana.

Saya gak ada masalah dengan diksi sederhana ala Ilana.
Yang saya gak sreg adalah isi cerita itu sendiri. Kisah di novel ini simpeeell banget. Benar-benar cuma perjalanan kisah dua orang yang belajar untuk saling mengenal. Gak ada konflik yang berarti di novel ini. Kehadiran Adrian dan Miranda sebagai pihak ketiga pun gak menimbulkan konflik seru.

Yaaa akibatnya selama membaca novel ini saya ngerasanya datar aja. Gak bosen sih memang (karena gaya nulis Ilana emang enak dikunyah), tapi juga gak bikin saya excited untuk tahu kelanjutan kisahnya. Biasa aja gitu.
Kalo pun misalnya saya terputus membacanya dan gak bisa ngelanjutin, saya juga gak bakal penasaran sama kelanjutan ceritanya. Ya abis predictable bangeeettt.
"Bahwa kau hanya gadis biasa yang berpotongan tubuh kecil dan cukup manis kalau tidak sedang memberengut. Kau tidak tinggi semampai dan tidak memiliki tampang eksotis. Benar-benar biasa. Kau mungkin tidak sempurna, tapi kau sempurna untukku."
(Lucas Ford)
Dan bukan hanya jalan ceritanya yang mudah diprediksi. Kelakuan tokoh-tokohnya pun begitu. Saya merasa  gak ada perubahan karakter yang berarti dari kedua tokoh utama.
Tema benci jadi cinta? Oh please....dari awal juga kebaca kalo yang dirasakan Sophie dan Lucas terhadap satu sama lain bukanlah benci. Jauuh dari itu. Ini mah tentang remaja cowok yang suka sama cewek tapi gengsi nunjukkin. Dan tentang cewek dewasa yang dari awal udah suka sama cowoknya tapi gengsi ngakuin. Bottom line-nya sih sama : suka dari awal.

Buat saya, Lucas dan Sophie yang saya temui di bab pertama, masih sama dengan Lucas dan Sophie yang ada di halaman terakhir. Ya wajar sih. Wong gak ada juga konflik gede yang membuat mereka berubah.
Tapi ini membuat Lucas dan Sophie jadi ngebosenin buat saya. Semacam karakter 1 dimensi lah.
Padahal buat saya sih, karakter Sophie itu rada...apa ya...kekanakan (?). Oh well...itu bukan istilah yang tepat sih, tapi saya juga belum nemu istilah yang cocok. Pokoknya di awal buku saya gemas sama karakter Sophie yang suka sok gengsi gak jelas dan ehm...lemot. Yaaa gimana gak lemot kalo dia gak ngeh bahwa Lucas suka sama dia (padahal sinyalnya jelas banget) dan Adrian berniat rujuk. Kelebihannya? Sophie's cool. She's really a girlfriend material and I can see why Lucas falls for her.

Kalo Lucas sih sepertinya karakter yang sempurna. Selain kesalahannya di masa lalu ke Sophie (yang mana saya gak mau komen ini kesalahan yang penting ato gak), gak ada kekurangannya nih orang. Adrian dan Miranda sebagai antagonis? Ini mah antagonis gak niat. Kedua abang Sophie yang katanya protektif? Yah apalagi itu. Datar deh -__-

Pernah baca novel-novel Harlequin (seenggaknya yang diterbitkan GPU)? Menurutmu novel-novel HQ seru ndak? Kalo menurutmu ndak, nah buat saya novel ini masih kalah seru dibandingkan Harlequin. Padahal novel-novel HQ lebih tipis.
Tapi mungkin memang gak semua novel itu harus seru. Mungkin beberapa memang menarik justru karena kesederhanaannya. Di antara maraknya novel dengan jalan cerita dramatis, diksi yang puitis, atau karakter tokoh yang ribet, kesederhanaan ala In A Blue Moon mungkin memang menyegarkan.
"Dengar, anak laki - laki yang dulu membuat hidupmu susah memang aku. Tapi orang yang tadi kau lihat di dalam sana itu juga aku. Manusia bisa berubah, Sophie."
(Lucas Ford)
So...novel ini jelek gak?
Buat saya sih nggak. Tapi juga gak bisa membuat saya bilang novel ini bagus dan layak diganjar 3 bintang.
Nope. Buat saya, cukup 2 bintang untuk novel ini yang artinya : 'biasa aja'. Yah ditambah setengah bintang deh buat covernya yang cantik itu.

Oh...berhubung nyebut 'biasa aja', saya jadi ingat kalo di kalangan fans JKT48, ada frasa yang terkenal yaitu : "Ve Biasa Aja".
Ada kisah tersendiri di balik frase itu (yang mana gak penting dibahas di sini), tapi pokoknya frase itu mengacu pada seseorang/sesuatu yang dianggap overrated.

Kenapa saya mengungkit frase itu?

Well...saya udah baca semua novel Ilana Tan sejauh ini. Kisah 4 musim itu gak jelek sih buat saya. Tapi toh juga tidak se-impressive itu. Walo saya akui kalo kisah 4 musim bikin saya penasaran membaca novel Ilana yang berikutnya karena yah...saya penasaran kenapa banyak pembaca yang berbeda pendapat dengan saya mengenai tetralogi itu.
Lalu saya membaca Sunshine Becomes You yang...ah sudahlah. Nanti saja saya tuliskan pendapat lengkap saya di review buku yang bersangkutan (itu pun kalo mood nulis reviewnya).
Dan terakhir saya membaca In A Blue Moon ini.
Dari semua novel yang sudah saya baca itu, bisa lah saya simpulkan kalo (seenggaknya) untuk saya : "Ilana Tan Biasa Aja". 
:3

Saturday, May 17, 2014

Touche Alchemist

Data Buku :
Judul : Touche Alchemist
Penulis : Windhy Puspitadewi
Penerbit : Gramedias Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2014
Paperback, 224 Pages
ISBN 13 : 9786020303352
Rating : 3,5 out of 5 stars

Sinopsis :
Hiro Morrison, anak genius keturunan Jepang-Amerika, tak sengaja berkenalan dengan Detektif Samuel Hudson dari Kepolisian New York dan putrinya, Karen, saat terjadi suatu kasus pembunuhan. Hiro yang memiliki kemampuan membaca identitas kimia dari benda apa pun yang disentuhnya akhirnya dikontrak untuk menjadi konsultan bagi Kepolisian New York.

Suatu ketika pengeboman berantai terjadi dan kemampuan Hiro dibutuhkan lebih dari sebelumnya. Pada saat yang sama, muncul seseorang yang tampaknya mengetahui kemampuannya. Kasus pengeboman dan perkenalannya dengan orang itu mengubah semuanya, hingga kehidupan Hiro menjadi tidak sama lagi.
Saya sudah baca beberapa buku Windhy sebelum ini. Dan semuanya setipe menurut saya : "kisah remaja dengan topik generik." Tau kan topik generik? Itu lho...yang ceritanya seputar cinta dan temenan aja. Masalah yang sebenarnya sepele tapi karena tokohnya remaja jadi aja dibesar-besarin deh itu masalah (yaa...waktu remaja saya juga kek gitu sih).

Makanya walopun mengakui Windhy punya gaya menulis yang ngalir dan enak banget dibaca , tapi saya tidak menganggapnya istimewa.Yah semacam....satu-lagi-penulis-bestseller-yang-bukan-selera-saya lah (maap ya, Win).

Sampe saya bertemu Touche dan Touche Alchemist.
Lalu pandangan saya pun berubah...

Dengan Touche-nya Windhy mengisahkan bahwa di dunia ini ada sekelompok orang yang punya "bakat" bermacam-macam. Ada yang bisa membaca pikiran orang dengan menyentuhnya (mind reader), merasakan perasaan orang yang disentuhnya (empath), menyerap habis isi 1 buku padahal cuma menyentuh sampulnya (data absorber) atau pun menemukan keberadaan orang lain hanya dengan menyentuh peta (track finder).
Liat kesamaan semua bakat yang saya sebut di atas? Yep...semua bakat itu bisa digunakan hanya ketika sang pemilik bakat menyentuh si "target". Makanya mereka dinamai kaum touche.

Point menarik dari dunia Touche ala Windhy adalah: banyak cerita yang bisa dikembangkan.
Ada begitu banyak kemampuan Touche, yang otomatis akan memberi konflik dan kisah yang berbeda juga. Windhy bisa menciptakan kemampuan Touche apapun yang dia mau sehingga kita bisa disuguhkan dengan kisah yang beragam.

Seperti di Touche Alchemist ini.
Hiro, tokoh utamanya, punya bakat mengetahui struktur kimia suatu benda bila disentuh. Hal ini membuat Hiro jadi punya kemampuan analisis yang bikin bengong. Karena touche-nya, Hiro jadi tahu kalo air yang ada di tubuh korban yang tenggelam itu air laut dan bukan air tawar (walopun kenapa gak ada yang coba jilatin air itu, saya juga gak tahu) (yatapi masa' juga ya ada yang mau jilatin air dari jenazah? #abaikan).

Hiro juga jadi bisa bedain air yang ada di TKP itu air dari mana dan bisa bedain struktur bom. Keren deh pokoknya. Makanya Hiro jadi konsultan kepolisian New York walopun umurnya masih 18 tahun.
Dan pembaca pun diajak untuk turut mengikuti kemampuan deduksi Hiro hingga menghasilkan analisis yang tajam, aktual dan terpercaya #halah.

Buat saya sih, bagian analisis-lah yang 'megang' di Alchemist, yang bikin saya jadi gak pengen ngelepasin novel ini. Ada yang bilang kalo gaya deduksi analisis Hiro menjiplak gaya analisis Sherlock Holmes.
Mungkin Windhy memang terinspirasi dari Sherlock ya. Tapi cerita detektif mana sih yang gak terinspirasi dari tokoh rekaan Conan Doyle itu? Bahkan Agatha Christie aja mengakui kalo Poirot itu terpengaruh dari Sherlock. Sebagian besar cerita detektif yang saya tahu memang ada yang tokohnya mirip. Semacam 'saling mempengaruhi'lah (iya...analisa sotoy).
Tapi itu bukan menjiplak. Dan menuduh Windhy menjiplak dari cerita Sherlock adalah tuduhan keterlaluan yang gak berdasar.

Di luar analisisnya, yang bikin buku ini 'ngebetahin' buat dibaca sampe akhir adalah gaya menulis Windhy yang ala-ala manga terjemahan itu. Entah gimana, tulisan Windhy selalu bikin kesan seperti baca manga. Kok bisa gitu ya? #nanyaserius

Yang enak juga, keliatan kalo Windhy serius menggarap Alchemist. Minimal keseriusannya bisa diliat dari usaha Windhy mencari lokasi-lokasi di New York yang bisa masuk ke dalam plot yang dia bangun. Dan dia nambahin peta supaya tipe pembaca visual tapi miskin imajinasi (iya itu saya) gak kesulitan baca buku ini.

Dan mumpung nyebut plot, saya cuma mau bilang kalo plot Alchemist cukup oke. Pace-nya cepat dan keseruannya terjaga sampe klimaks walopun pelaku udah bisa ditebak di 1/3 akhir buku.
Tapi gapapa. Buat saya sih, pengungkapan antagonis bukan hal paling penting di sebuah novel detektif. Saya malah lebih penasaran gimana sampai si detektif bisa menyimpulkan pelakunya. Dan dalam hal ini, Alchemist gak mengecewakan.

Tapi dengan semua kesalutan itu, sebenernya saya punya complain sih buat novel ini. Dan itu adalah usaha Windhy yang terlalu keras untuk membuat Hiro tampak cuek, dingin dan datar. Coba liat aja :
"..." jawab Hiro malas.
"..." desah Hiro malas.
"..." jawab Hiro dengan nada malas.
"..." jawab Hiro enteng.
"..." kata Hiro datar.
"...." kata Hiro kalem.

See? Harus banget lho penulis ngasi tahu nada suara Hiro di hampir setiap dialognya. Yaa...kalo masih di awal-awal buku sih gapapa. Tapi ampe akhir masih aja ada pemberitahuan kalo Hiro ngomong dengan enteng, datar, kalem. Akkkhh....saya bosen  baca diulang-ulang mulu. Pas di pertengahan masiiihh aja dikasi tahu nada bicara Hiro, rasanya langsung pengen bilang : "Iye tahuuu. Dari awal juga nada bicara Hiro itu-itu aja kok."

Oh..sama...ini 1 lagi, sebenernya saya masih bingung dengan maksud sinopsis di back cover. Katanya Hiro berkenalan dengan seseorang yang membuat hidupnya tak lagi sama. Kalo orang yang dimaksud itu seseorang yang ada di Touche 1, saya gak ngeliat perubahan hidup Hiro di mana. Kok ya rasanya kehidupannya tetap sama.
Apa ini petunjuk bahwa akan ada Touche 3 yang membuat hidup Hiro berubah karena orang itu? #hayolho

Trus juga, buat saya sih Alchemist 'nanggung'. Mungkin karena targetnya remaja ato mungkin karena terbentur jumlah halaman sehingga kasus-kasus di Alchemist rasanya kurang di-explore. Kurang digali lebih dalam. Jadinya kentang.

Saya udah bilang kan kalo Touche itu punya potensi untuk dikembangkan? Saya bilang gitu setelah baca Touche 1. Di situ dikasi tahu kalo ada sekelompok orang jahat yang mengincar kaum Touche. Imajinasi liar saya sudah membayangkan adanya pertentangan antara kelompok touche jahat dan baik, semacam X Men gitu deh. Dan tadinya saya kira buku ke-2 ini nyebut-nyebut organisasi itu. Ternyata sama sekali nggak nyambung.
Sepertinya saya memang menaro ekspektasi ketinggian pada sebuah teenlit. X)

Eng ya sudahlah gapapa. Toh Touche Alchemist punya potensinya sendiri untuk dikembangkan (siapa tahu suatu hari Hiro ketemu kriminil jenius yang juga Touche? Jadi seperti pertarungan antara Sherlock dan Moriarty tapi versi Touche).
Saya berharap banget nantinya Windhy bisa mengembangkan dunia Touche dengan tokoh-tokoh yang lebih dewasa, kasus yang lebih rumit dan misteri yang lebih kelam. Yaa....semacam rumitnya novel Dan Brown lah. Saya yakin Windhy bisa kok. :)

Saya rating buku ini 3,5 bintang aja ya. Kenapa gak 4 bintang? Ya abis ada perasaan kentang itu. Dan covernya gak berhasil bujuk saya untuk nambahin setengah bintang walopun covernya lumayan bagus sih.

Tapi untuk saat ini, saya menghargai usaha Windhy untuk menulis teenlit yang beda dari biasanya. Yang gak melulu fokus di kisah cinta menye dan lebay #eh.
Salut, Win.

PS : Setelah segala ocehan saya di atas, Windhy bisa ngerti dong ya kalo saya mengaminkan segenap tuntutan fansnya agar Windhy segera memproduksi Touche 3.
Dunia Touche itu sangat kaya dan bisa dieksplorasi lebih dalam. Dan membiarkan dunia Touche terhenti sampai di sini saja adalah sebuah kejahatan literasi #hakdes

Saturday, April 12, 2014

Teka Teki Terakhir

Judul : Teka Teki Terakhir
Penulis : Annisa Ihsani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9786020302980
Halaman : 256 halaman; 20 cm
Desain sampul : Eorg
Editor : Ayu Yudha
Rating: 4,5 out of 5 stars
Sini saya ceritakan tentang gadis kecil bernama asdewi. Dia sangat mencintai matematika (walo gak bisa disebut jago) tapi mengenaskan dalam urusan IPA.
Kalo diledekin tentang nilai IPA-nya yang tiarap, dia selalu berkelit dengan : "Biarin aja. Aku kan mau jadi koki jadi gak perlu jago IPA. Yang penting bisa matematika biar bisa menakar bahan."  
Then life happens...
Semakin dewasa,  dia menemukan keasyikan dalam biologi (catat : biologi, bukan IPA), menganggap masak itu cuma hobi di kala iseng bukan lagi profesi impian, dan kecintaan akan Matematika? Ah...cuma jadi kenangan usang di ruang ingatan.
Sampai dia membaca novel tentang Laura kecil yang tertarik pada Matematika. Dan kenangan yang lama membeku itu pun berpendar kembali. 

Novel ini dibuka dengan narasi Laura yang sudah lama penasaran dengan rumah putih milik pasangan Maxwell, pasangan paling misterius di Littlewood.
Kenapa misterius? Karena banyak gosip yang beredar mengenai pasangan tersebut. Dari gosip mereka adalah ilmuwan gila sampai isu keluarga ningrat yang bersembunyi. Laura sendiri mengira mereka adalah penyihir. Pada akhirnya, tak ada yang tahu persis kebenarannya. Dan ketertarikan Laura pada  rumah Maxwell pun surut.

Hingga suatu hari di bulan Maret 1992.
Hari itu, Laura sedang kesal karena nilai tes matematikanya mendapat 0. Saking jengkel, dia membuang lembaran nilai tes itu di tong sampah depan rumah Maxwell.
Eh ndilalahnya...ketika Laura melewati depan rumah itu keesokannya, Tuan Maxwell memanggilnya. Beliau menyerahkan kertas tes Laura yang kemarin dengan sebuah buku berjudul "Nol : Asal-usul dan Perjalanannya" beserta pesan "Mendapat nol tidak terlalu buruk, terutama setelah begitu lama pencariannya".

Sesampainya di rumah, Laura melihat bahwa Tuan Maxwell mengoreksi jawaban tesnya. Rasa penasaran yang lama terpendam terhadap pasangan Maxwell pun menyeruak kembali. Terutama setelah dia membaca buku sejarah angka nol yang diberikan Tuan Maxwell.
Dengan niat berterima kasih dan mengembalikan buku, Laura memberanikan diri mengetuk pintu rumah keluarga Maxwell. Dan itulah awal persahabatannya dengan Nyonya Maxwell yang ramah dan suaminya yang penggerutu.

Namun bukan hanya teman yang didapat Laura. Karena di balik pintu rumah keluarga Maxwell, ada sekumpulan teka teki logika, paradoks tentang tukang cukur dan pengetahuan tentang teorema matematika yang belum terpecahkan selama tiga abad. Laura juga jadi tahu bahwa Tuan Maxwell adalah matematikawan yang selama 40 tahun terakhir sedang mencari pembuktian teorema tersebut.

Teorema apa sih yang sebegitu hebatnya sampai membuat Tuan Maxwell terobsesi? Akankah dia berhasil menemukan pemecahannya? Untuk menemukan jawabannya, kamu mesti baca sendiri buku ini.
"Pikirkan seorang tukang cukur di kota bernama Seville. Di kota itu, semua penduduk kalau tidak mencukur rambut mereka sendiri, tentu dicukur oleh si tukang cukur. Tetapi si tukang cukur hanya mencukur rambut orang-orang yang tidak mencukur rambutnya sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah si tukang cukur mencukur rambut sendiri?"
-Nyonya Maxwell-
Segar. Itu kesan pertama yang lewat di benak saya saat membaca novel ini. Beda dengan novel sejenis yang problem tokohnya berkutat seputar cinta monyet dan nge-geng ala sinetron yang lebay, Teka Teki Terakhir (TTT) membahas keseharian gadis biasa. Bagaimana Laura pusing dengan nilai ulangannya kemudian belajar untuk memperbaiki nilai atau bagaimana Laura sulit menyesuaikan diri dengan sekolahnya. Di tangan yang salah, materi seperti itu bisa jadi sangat ngebosenin. Tapi penulis lincah merangkai kata sehingga baca keseharian Laura ya ngalir aja rasanya. 

Unsur matematika yang diselipkan dalam TTT juga menambah keasyikan membaca.
Sekali lagi, salut buat penulisnya yang pinter masukkin knick-knack seputar Matematika secara halus sehingga novel ini jauh dari menggurui apalagi menimbulkan kesan 'pamer-pengetahuan-penulis'. Yang ada malah seru dan kesan 'matematika-itu-keren-banget-yaa'.
 
Saya juga suka dengan settingnya, baik dari setting waktu maupun tempat.
Littlewood, desa kecil yang entah di mana itu cocok untuk cerita semacam ini. Karena kecil maka wajar kalo masyarakatnya jadi akrab dan kepo. Lama tinggal di Jakarta bikin saya kangen suasana desa kecil seperti itu.
"Lagi pula kalau kau ingin mencari tahu tentang sesuatu, perpustakaan tempat yang tepat untuk memulai." -Laura-
Tapi buat saya, yang paling 'megang' adalah setting waktu di tahun 1992. Jaman internet sudah ada tapi belum umum digunakan, dan google masih dalam angan-angan Larry Page & Sergey Brin. Maka perpustakaan satu-satunya sumber Laura dalam mencari informasi.
Coba kalo waktu itu sudah ada Google ya, Laura kan tinggal memasukkan nama Tuan Maxwell dan voila...keluar info lengkap beliau. Gak ada lagi deh rasa penasaran yang mendorongnya untuk berkenalan dengan keluarga Maxwell. Ah teknologi; memperluas cakrawala tapi kadang membatasi interaksi dunia nyata.

Karakter yang ada di TTT sejujurnya gak ada yang menonjol banget. Semuanya punya kekhasan sendiri dan sama kuatnya. Sebagai karakter utama dan narator tunggal, Laura cukup oke. Dia gak humoris, sarkastis atau sinis. Dia cuma gadis biasa aja. Karakter kesukaan saya malah Tuan Maxwell yang eksentrik dan Katie, sahabat Laura, yang suka menjadi 'voice of wisdom' untuk Laura.

Protes saya pada novel ini hanya satu: yaitu penyebutan Tuan dan Nyonya kepada pasangan Maxwell. Kalo disebut sebagai kata ganti orang ketiga sih masih wajar. Tapi kalo dalam percakapan langsung jadi aneh. Seperti kalimat : "Ya Tuan, dari mana anda tahu namaku?" "Terima kasih Nyonya". Kok Laura lebih terasa seperti bawahan daripada tetangga ya...
Saya bisa ngerti kalo novel ini berbahasa Inggris. Tuan dan Nyonya memang jadi Mr dan Mrs. Tapi bahkan novel terjemahan pun mengubahnya jadi "Bapak dan Ibu". Ini memang kesalahan kecil sih. Tapi lumayan menganggu di awal baca. Walau pun lama-lama saya jadi terbiasa dan bisa cuekkin.

Novel ini ditutup dengan ending yang realistis dan cocok. Gak semanis martabak toblerone,tapi juga gak sepahit brotowali. Memang seperti itulah hidup.
"Semua orang aneh dengan caranya sendiri. Terkadang keanehanmu tidak cocok dengan keanehan orang lain, jadi mereka menyebutmu aneh. Tetapi terkadang keanehanmu cocok dengan keanehan seseorang, dan kalian bisa berteman." -Julius-
In short, Teka Teki Terakhir mengajarkan kita untuk menghargai setiap aksi dan setiap momen yang kita lakukan. Kita jarang sadar bahwa satu aksi kecil dan tampak gak penting yang kita lakukan hari ini, bisa berpengaruh besar di esok hari. Seperti aksi kecil Laura yang membuang kertas ujiannya di tong sampah keluarga Maxwell.

Teka Teki Terakhir juga mengajarkan untuk terus mengejar mimpi. Berikan usahamu yang terbaik dan nikmati prosesnya. Seperti Tuan Maxwell yang berusaha maksimal untuk membuktikan penelitiannya dan gak pusing dengan kemungkinan usahanya berakhir sia-sia. Karena bagi beliau yang terpenting adalah proses, bukan hanya hasil.

Empat bintang untuk Teka Teki Terakhir termasuk untuk covernya yang cakep banget.
Good job, Gramedia Pustaka Utama. Banyakin dong menerbitkan teenlit bagus kayak gini.
Dan kamu keren deh mbak Annisa Ihsani. I'm your new fan. :)

Thursday, October 31, 2013

Mahoganny Hills

Judul: Mahogany Hills
Penulis : Tia Widiana
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 344 halaman
Diterbitkan pertama kali : 23 Mei 2013
Format : Paperback
Genre : Drama, Contemporer
Bahasa : Indonesia
Order di : GramediaBukukita, Bukabuku
Rating : 1,5 of 5 stars

Jagad Arya dan Paras Ayunda setuju dengan perjodohan ala Siti Nurbaya yang ditentukan kedua orang tua mereka.
Paras setuju karena manut sama orang tua. Sementara Jagad setuju karena kalah argumen dengan ibunya juga karena ingin membuat cemburu Nadia, si mantan kekasih yang meninggalkannya demi pria lain.

Sejak awal pernikahan, Jagad sudah bertekad bersikap sekasar mungkin pada Paras hingga Paras tak tahan dan meminta cerai. Sayangnya Jagad salah perhitungan. Paras rupanya wanita yang tegar. Gak peduli sekasar apapun perlakuan Jagad, Paras selalu sabar dan tetap mengabdi selayaknya istri berbakti. Memasakkan makanan untuk Jagad,  menyiapkan baju yang akan dikenakan, membersihkan rumah; semua itu dilakukan Paras dalam diam (ebentar...kenapa peran Paras beda tipis dengan PRT?)

Sunday, September 23, 2012

Twivortiare

Data Buku :
Judul : Twivortiare

Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2012
ISBN 13 : 9789792286748

Sinopsis :
“Commitment is a funny thing, you know? It’s almost like getting a tattoo. You think and you think and you think and you think before you get one. And once you get one, it sticks to you hard and deep.”

Do busy bankers tweet? Yes, they do. Empat tahun setelah Divortiare, Alexandra membuka kembali hidupnya kepada publik melalui akun Twitter-nya @alexandrarheaw. Lembar demi lembar buku ini adalah hasil “mengintip” kehidupannya sehari-hari, pemikirannya yang witty dan sangat jujur, spontan, chaotic, dan terkadang menusuk, yang akhirnya akan bisa menjawab pertanyaan: “Dapatkah kita mencintai dan membenci seseorang sedemikian rupa pada saat bersamaan?”

Twivortiare adalah kisah klasik tentang cinta dan luka, terangkai dalam tweets, mentions, dan DM yang lahir lewat ujung-ujung jemari karakter-karakternya.


Review : 

Saya itu orang yang ndak pernah peduli sama autographed version dari buku. Bahkan termasuk CD dari penyanyi favorit juga.

Tanda tangan yang saya pedulikan hanyalah tanda tangan di dokumen-dokumen penting saya ato tanda tangan pemain bola favorit saya (aaaa....Zanettiiiiii).
Karenanya tiap kali ada pre-order buku apapun yang bertanda tangan penulisnya, saya gak pernah tertarik ikutan soalnya saya nunggu buku itu terbit dulu dan ngeliat reaksi pembacanya gimana. Bahkan walo penulisnya udah saya kenal dan bisa menebak bukunya kayak apa (seperti Kedai 1001 Mimpi-nya Vabyo misalnya).

So...kalo ampe saya bersedia ikutan pre order buku ini kemarin, bukan tanda tangannya yang menarik minat saya. Tapi karena saya penasaran (pake banget) dengan kelanjutan Alexandra dan Beno.


Siapa sih Alexandra dan Beno itu?
Mereka adalah tokoh dari novel Ika Natassa sebelumnya yang berjudul Divortiare. Di Divortiare dikisahkan kalo Alexandra dan Beno sudah bercerai. Masing-masing melanjutkan hidup dan mengejar karir dimana Beno adalah dokter bedah thoraks sukses dan Alexandra adalah bankir yang karirnya sedang menanjak. Mereka juga (ato minimal Alexandra karena Divortiare bercerita dari sudut pandangnya) berusaha move on dan mencari cinta yang baru. Divortiare ditutup dengan kisah yang "gantung" antara Alexandra dan Beno. Pembaca disuruh menebak sendiri apakah mereka kembali bersama ato tidak.

Sewaktu mengetahui kalo Ika Natassa membuat akun twitter untuk tokoh rekaannya (Alexandra), saya belum tertarik untuk follow. Baru setelah mendengar kabar kalau rangkaian tweetnya akan dibukukan, saya jadi penasaran bagaimana kelanjutan pasangan itu. Kenapa baru belakangan saya penasaran? Karena sebelumnya saya pikir, twitternya Alexandra itu masih bercerita seputar hidupnya pasca perceraian dan gak nyebut-nyebut Beno. Begitu tahu kalo ternyata hidup Alexandra saat ini melibatkan Beno, jelas saya tertarik dong. Saya kan gemes sama karakter pak dokter yang lempeng banget itu. 

Apalagi saya dapat info kalo buku ini akan bercerita tetap dalam format twitter. Jadi rasanya seperti baca timeline yang panjang. Dan per-tweet hanya dibatasi 160 karakter. Waaa...menarik dan bikin penasaran.

Kesan setelah baca?

Yah bagus sih. Not bad at all Banyak yang bisa kita pelajari dari hubungan Beno-Alex. Tentang usaha untuk mengerti satu sama lain, bahwa pernikahan itu berarti "start to feel for two people." Juga kalo cewe itu mesti bisa mandiri secara finasial (setuju banget ini).

Saya juga belajar tentang perasaan Alexandra yang bersuamikan dokter sibuk banget. Dia sempat merasa di-nomor duaka-kan dibanding pekerjaan suaminya. Jadi kepikir, apa gitu ya perasaan ibu dan tante-tante saya yang bersuamikan dokter?
Tapi sepertinya mereka gak kapok tuh punya suami dokter, soalnya mereka meng-encourage anak masing-masing buat nikah sama dokter juga. Ugh...pada gak tau aja dalem-nya dunia kedokteran itu kayak apa. #Eaaaaa #TetepCurcol

Rada kesal sih sama karakter Alexandra yang kadang too demanding dan childish. Masak gak ngerti juga kalo Beno sayang dia? Saya yang cuma tau kelakuan si Beno lewat tweet-tweet dia aja bisa ngeliat kok, masak dia gak nyadar sih?
Tapi bagusnya, Alexandra udah jauh lebih dewasa dibanding Alexandra di Divortiare.

Dan si Beno-nya juga eugh...keras kepala banget sih.
Etapi berhubung karakter saya lebih dekat ke karakter Beno, dan posisi kami cenderung sama (jadi pihak yang lebih lempeng), somehow bisa ngerti dia. #JanganCurcolLagiDehWi

Dan melalui interaksi kedua tokoh utamanya ini lah, Twivortiare mengajarkan bahwa cinta aja gak cukup untuk membentuk pernikahan, we have to work on it. Dan perbedaan yang ada itu bukan untuk dijadikan sama, tapi untuk dikompromikan.

Ada satu yang nyepet saya di buku ini sebenarnya. Scene waktu Alexandra ngeluh sakit kepala dan Beno cuma menyarankan minum aspirin. Dan si Alex sebel, menurut dia kalo cuma butuh aspirin mah dia gak bakal ngeluh ke Beno. Yang dia butuhkan tuh perhatian dan soothing word dari Beno.
Dan uhm...saya jadi kesepet :">
I mean, saya juga gitu. Kalo ada yang ngeluh sakit ke saya, naluri saya adalah melakukan anamnesis seperti umumnya dokter ke pasien untuk kemudian kasi saran obat yang cocok menurut saya. Dan ini saya lakukan pada siapa pun, dari teman biasa sampe orang dekat macam keluarga dan si "dia".

Dia pernah protes sih. Dia bilang, "Wi...diperhatiin dong. Lagi sakit nih."
Dan saya dengan bingungnya bilang : "Kan udah. Udah dikasi obat, udah dikompres, udah diambilin makan sama minum, udah diselimutin. Istirahat aja sekarang, nunggu obatnya bereaksi."
Membaca kesebalan Alexandra, saya jadi mikir, mungkin maksudnya waktu itu si dia pengen dimanjain ya? Dikelonin dan dipuk-puk gitu? Yeeee.....bilang dong :|

Tapi satu yang gak disadari Alexandra (dan mungkin orang lain), dokter itu (ato paling enggak saya) emang refleksnya gitu kalo ketemu orang sakit. Yang pertama saya pikirkan adalah apa yang bisa saya lakukan untuk memperingan sakitnya. Dan yaaahhh...the easiest way ya to suggest some medicine.
Lagian gak mungkin juga pasien saya kelonin ato saya puk-puk kan? Paling bisa ya ber-empati. Empati yang juga saya terapkan ke orang-orang dekat saya.
Saya suka lupa kalo orang dekat itu gak bisa dimasukkan dalam kategori yang sama dengan "pasien". Bahwa selain empati, saya juga boleh bersimpati sama mereka.

So thanks to Ika Natassa dan Twivortiare yang udah ingetin satu fakta yang sebenernya saya udah tau, tapi suka dilupakan :">

Pertanyaannya, kenapa buku yang begitu banyak memberi pelajaran seperti ini, dengan format unik pula  tetap saya kasi rating 4 bintang?

Jawabnya karena saya jenuh dengan banyaknya bahasa inggris yang bertebaran di buku ini.
Udah bukan banyak lagi, overdosis malah. Bisa lho sampe 2-3 lembar full bahasa inggris.
Yaaa....saya sih masih ngerti aja, tapi jadi kepikir : "Untuk jadi pembacanya Ika Natassa itu kudu bisa bahasa inggris ya? Apa syarat seperti itu udah termaktub somewhere entah dimana?"
Dan bertanya juga, pemasaran buku ini sejauh apa ya?
Saya yakin jumlah masyarakat Indonesia yang ngerti bahasa inggris lebih sedikit dibandingkan yang bisa. Warga di kota-kota di Pulau Jawa dan kota-kota besar lainnya emang banyak yang fasih berbahasa inggris, tapi mereka yang di ujung Kalimantan sana? Yang di Ambon dan sekitarnya?

Dengan overdosis-nya bahasa inggris di sini, saya sih gak yakin buku ini bisa dimengerti mereka-mereka yang di pelosok Indonesia sana.
Dan menurut saya sih sayang kalo karya yang sarat nilai positif tapi disajikan dengan ringan seperti Twivortiare ini gak bisa dinikmati mereka disana.

Jadi....kalo lain kali menulis buku, bisakah menuliskan buku yang menggunakan bahasa Indonesia secara utuh dari awal ampe akhir, mbak Ika Natassa?
Karena saya perhatikan, semua buku anda begitu kuyup dengan bahasa inggris. Apakah karena kesulitan menemukan bahasa indonesia yang tepat untuk mewakili apa yang anda maksudkan?
Padahal saya yakin untuk setiap frase yang ada di bahasa inggris, ada padanan yang tepat di versi indonesianya.
Come on, mbak. I know you can do that. I dare you! :) 



"The simplest things in life are what make us happy eventually. A warm and comfy home, being loved, and knowing that somebody can't live without you."  (p. 193)

Thursday, July 12, 2012

Memory & Destiny

Judul : Memory & Destiny
Penulis : Yunisa KD
Tahun Terbit : 2010
ISBN 13 : 9789792256581
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Review di bawah ini adalah review dari buku yang boring, garing dan berasa hawa narsisnya. Untuk menyesuaikan dengan nuansa buku, maka review ini juga bakal boring, garing dan penuh dengan ke-narsis-an reviewernya. *dikeplak sampai Timbuktu*

Heck! I lied. Ini bahkan bukan review. Karena banyak teman goodreads tercintah yang sudah memberikan review yang lebih komprehensif, maka saya mo nyinyir dan narsis aja. #bhihik
Oh dan curhatan ini meng-exclude yang sudah disebut dalam repiu-repiu sebelumnya.

Kalo anda ngerasa punya kerjaan yang lebih penting, ya silakan dilanjut.
Tapi kalo masih mo baca juga, yaaa...derita loe itu sih.

Kata Ibu saya sih, saya tuh mirip kucing. Bukan dari segi manja dan ndusel-nduselnya kucing, tapi dari segi kepo. Iya, Ibu saya emang mengacu pada kalimat femes ini : "Curiosity kills a cat", soalnya saya emang kepo banget. Saya gak tahu apa bener kepo bisa ngebunuh kucing. Yang saya tahu sih, rasa kepo memang beberapa kali hampir mencelakakan saya.

Semasa kecil, saya adalah anak yang selalu penasaran membuktikan omongan orang. So kalo dibilangin : "Jangan main piso, kalo kena tangan bisa berdarah, sakit."
Saya malah sengaja ngiris tuh piso ke tangan saya, penasaran aja apa bener bisa berdarah dan sakit. Eitss...ini bukan masokisss yaaa. Harap dibedakan! (*defense mechanism sebelum dituduh*).

Dan kekepoan itu udah bikin saya sengaja menyetrumkan diri, menabrakkan badan ke bemo kemudian angkot (karena pake bemo berasa kurang hardcore), ampe sengaja lompat dari atap rumah hanya untuk tahu apakah terjun dari atap tuh beneran bisa bikin patah kaki. Etapi waktu itu ada kasur sih di tanah. Ya saya kan cuma kepo dan bukan bego.
Untunglah makin gede makin berkurang kepo saya.

Kepo bahaya saya yang terakhir terjadi beberapa tahun yang lalu waktu baru lulus kuliah.
Saya dapat pasien percobaan bunuh diri dengan minum Baygon. Setelah si pasien stabil, saya ngobrol sama dia : "Bu, Baygon rasanya kayak apa?"
"Pait banget, dok."
"Oya? Lebih pait mana sama brotowali?"
(Yup, menurut saya brotowali itu substansi terpait di muka bumi ini. Yaa...tapi masih lebih pait waktu pacar ditikung sahabat sendiri sih. Itu mah paiiitt...pait...pait...paiitt, Jenderal! *Ups...mendadak curcol* #YaMaap)
"Jauh lebih pait Baygon, dok," jawab si ibu.

Rasa kepo saya pun terusik. Masak iya paitnya Baygon bisa ngalahin brotowali?
Jadi pas balik ke kamar jaga, saya ngambil kaleng Baygon, semprotin ke ujung jari saya dan langsung ngemut si jari imut #heyitsrhyme #sakarepmulah
Rasanya?
Beneran pait ternyata. Lebih pait dari brotowali. Dan lebih gak enak juga karena selain pait juga berasa kecut dan sepat. Walo yah...masih lebih pait waktu pacar ditikung sahabat sih. #TeteupCurcol Photobucket
Jadi yah teman-teman, buat yang patah hati dan berpikir minum Baygon, saran saya : JANGAN! Percuma soalnya. Paitnya gak ilang juga. Coba minum spiritus ato minyak tanah gitu. You're welcome, bye the way.

Lalu apa hubungannya buku ini dengan cerita di atas? Gak ada sih.
Saya kan cuma pengen pamer aja kalo saya tahu rasanya Baygon dan kalian nggak. Hohohohoho..... #TertawaLaknatDiPinggirKawah #LaluDitendyang

Yah rasa kepo saya bangkit lagi kemaren gara-gara buku ini.
Kata penulisnya sih, baca buku ini kudu punya banyak syarat. Misalnya open minded yang mana gak masalah buat saya. Buka hati aja saya gak segan, apalagi cuma buka pikiran (iya...saya tahu ini garing).
Trus juga kudu suka Broadway. Bukan masalah juga sih, secara saya rajin ikutan Broadway aka Beronda With Style (iyaa...iyaaa..saya tahu ini maksa dan garing.)
Dan yang paling penting harus berotak prima. Uhm...yang ini agak susah. Saya sih dari kecil udah doyan nenggak minyak goreng cap Prima, tapi gak tau ya apa itu berpengaruh pada otak saya ato ndak. Let's see aja deh ya.

Novel ini dimulai dari Donald yang terbangun pada pagi pernikahannya di London. Sayang di tengah jalan mobil yang ditumpangi bersama tunangan dan sahabatnya mengalami kecelakaan. Sementara kedua orang lain meninggal, Donald koma dan jadi...eng...arwah gentayangan gitu?
Di hari yang sama, Donald bertemu Maroon kecil di Westminter Abbey. Destiny menentukan cuma Maroon yang bisa melihat Donald (Demyu Destiny!). Akhirnya Donald pun ngikutin Maroon ke Jakarta dan jadi teman belajar dan bermainnya.

Lalu Donald menghilang dan cerita berpindah 10 tahun ke depan. Maroon udah jadi dokter...trus diikuti adegan2 gak penting...hingga Maroon kuliah ke Singapur. Disana secara gak sengaja dia ketemu lagi sama Donald dan langsung ngerasa ada chemistry di antara mereka.
Baru kenalan bentar, destiny mengatur Maroon kecelakaan, kehilangan ayah dan jadi amnesia (bangke emang si destiny ini). Donaldnya sih tetap support Maroon, tapi Maroonnya gak mau. Digebahlah si Donald pergi.
Dan David pun memasuki hidup Maroon.
Cerita bergulir pada sejumlah adegan gak penting lainnya yang berkutat di PDKTnya David dan rese-nya Maroon di topik "kok-loe-suka-sama-cewe-amnesia-kayak-gw".
Sampe akhirnya Maroon bisa ingat lagi, tendang David (sukurin! Emang enak dijadiin back up! #SumpahBukanCurcol #BenerBenerBukanLho) lalu ngejar Donald ke Singapoh.

Selesaikah penderitaan pembaca?
Oho...TIDAK!
Penulis masih betah nyiksa pembacanya. Itu cerita diputer lagi. Untuk ditutup dengan ending yang ehm...garing.

Apa yang bikin saya mentahbiskan buku ini sebagai buku kacrut?
Banyak hal sih. Saya ampe bingung mo bahas yang mana dulu. Coba kita mulai dengan :

1. Gaya bahasa yang jadul buanget. Bahkan lebih jadul dari jaman Maria A Sardjono. Sejaman dengan angkatan Balai Pustaka kali. Bedanya kalo para sastrawan Balai Pustaka merangkai dengan indah, yang ini berasa...basi
Contohnya :
"Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhan lah yang terlaksana."
"Selalu saja ada berkat di balik kenestapaan kehidupan yang pekat."
"Meluncurkan panah asmara langsung ke jantung sasarannya."
"...terasa seperti ditusuk sembilu."


Dear Miss Yunisa, I suggest you to time travel to 70's and publish your book there when these words were last used. I'm so sure it's gonna be a big hit back then. And you could torment the milennium kids for having to read and review your book as one of the best literatur ever.
No need to thank me for this wonderful idea, bye the way.

2. Dialog yang keju banget. Keju bakar disiram saos keju dan dikasi taburan keju pun bahkan masih kalah keju dibanding ini. (Mungkin) Rencananya mau bikin bahasa yang niatnya romantis, tapi jatohnya jadi picisan.
Misalnya :
"Gadis yang di matanya bisa kulihat api kehidupanku."
 ===> Eciyeee...api kehidupan lhooo. #disemburNaga

"Dari matanya aku juga bisa melihat masa depan."
==> Coba dicek, situ lagi ngeliat mata orang ato liat bola kristal sebenernya?

"Maroon, kau lebih cantik daripada selusin mawar ini."
==> Aduh mas, rayuannya basi sekali! Pantes ditinggalin.

Seakan kekejuan itu belum cukup, penulis hobi banget masukin lirik lagu yang gak nyambung di tengah percakapan yang (harusnya) serius.
Seperti ini:
"Toh, kalau Donald memang jodohku, somehow, One way or another, I'm gonna see ya, I'm gonna meet ya, meet ya, meet ya seperti lagunya Blondie."
ato
"Mungkin sekarang Donald memang belum jodohku. Jadi buat apa susah? Buat apa susah? Susah itu tak ada gunanya..."

Yeah epribodih, it's #tepokjidat moment.
Photobucket

Masih ditambah pula kalimat yang gak nyambung di otak saya seperti :

"Tinggal sebulan sebelum hari ulang tahunku. Tapi mimpi burukku sudah dimulai hari ini."
===> Maksudnya si tokoh punya tradisi klo dia mimpi buruk tiap ultah dan khusus tahun ini mimpi buruk dimulai sebulan sebelumnya? Apa sih makna "Tapi" di kalimat itu?

Juga penggunaan istilah yang gak tepat seperti ini :
"Mirip George clooney saja, tua - tua kelapa, makin tua makin membuat cewek tergila-gila!"
====> Keladi kaliiiii, mbaaakkkk. Kelapa tua sih jatohnya jadi santan doang.
Dan menyangkut santan, jadi inget kejadian waktu masih di puskesmas.
Ada teman kerja umur 18 tahun yang bakal nikah dengan duda cerai 5x berumur 60an tahun.
Namanya juga desa. Kejadian kayak gini ya dibahas lah. Dan seorang perawat berkomentar : "Kenapa X mo kawin deng Pak Y ya? Barang su seng enak itu. Su terlalu sering diperas. Seng bisa lai jadi anak karna terlalu encer. Cuma bisa dipake jadi santan saja."
Yeah...DEYM HER! I could never see santan the same way again since that. Photobucket

Eh kok jadi ngelantur ke santan? Mbak Yunisa sih bawa-bawa kelapa.
Pokoknya masih banyak kalimat-kalimat ajaib lainnya yang kalo mo saya tulis disini sama aja dengan nulis ulang nih novel di gudrit. Saya persilakan anda baca sendiri aja ya. Good luck lho. Photobucket

3. Homofobia

I'm a faghag. Karenanya saya terganggu dengan sentimen dan prasangka negatif tentang gay yang ada di buku ini. Oke...saya tahu kalo penulis anti gay, itu hak dia.
Tapi gak perlu bikin prejudice yang malah nunjukkin dia kurang paham dunia itu.
Misalnya ketika tokoh Sharon keheranan kenapa sepupunya Wiro yang gay itu bisa disukai orang tua sahabatnya. Ih...gak nyadar ya gay itu likeable banget. Matt Bomer anyone? Neil Patrick Harris? Sir Ian McKellen? Dan...Albus Dumbledore! Yeah!!!

Yang bikin gemes juga waktu secara tersirat dibilang kalo gay itu gak jantan.
Heh? Kata sapa? Siapa pun yang berpendapat gay itu gak jantan boleh coba adu tinju sama Mark Leduc (ya tapi waktu si Mark masih muda sih) ato adu dunk sama John Amaechi.
Hah? Apa? Gak tau Mark Leduc dan Amaechi? Ih kacian tekali. #MenatapIba
Intinya kalo ada yang bilang gay itu gak jantan, pasti pengetahuannya tentang gay mentok sampe ke Olga doang #ups #dicakarpensnyaOlga #runrunfast #kepelukanMattBomer
Photobucket

4.Too much information (yang gak penting)

Mungkin buat penulis, disinilah point plus novelnya. Buat saya sih fakta ini malah gengges. Ya walopun saya akuin membaca penjelasan penulis bikin saya mo ketawa dan bilang "pffttt".
Contohnya waktu penulis ngasi tahu kalo rambut palsu itu wig, ato waktu penulis dengan baik hati menjelaskan kepada pembaca (via Maroon tentunya) bahwa cara terbaik PDKT ke cewe dimulai dari keluarganya dulu (pffttt lagi).

Tapi dari semua penjelasan penulis, gak ada yang ngalahin epiknya penjelasan beliau (cieee....beliauuu) waktu ngejelasin tentang bride's maid dan best man. Demi untuk menjelaskan arti kedua kata itu serta siapa yang biasanya dapat peran kehormatan tersebut, penulis menghabiskan tak kurang dari -wait for it- 1 paragraf. #tepokjidat #ampejenong Photobucket

Ketika Yunisa dengan yakinnya berpendapat bahwa novelnya akan abadi sampai 100 tahun ke depan, dan bahwa orang di masa depan akan berpikir : "Astaga-naga, ternyata Yunisa, tahun 2006-dst udah memikirkan dan mengamati hal yang sama!", pasti yang dimaksud adalah bagian ini.

Saya bisa ngebayangin, tahun 2110 nanti, dalam sebuah kelas Literatur Fiksi, akan ada seorang guru yang berkata seperti ini :
"Jadi, yang menarik dari novel karangan Yunisa ini adalah pikirannya yang jauh ke depan. Sebagai contoh, istilah best man dan bride's maid yang baru diadopsi ke dalam bahasa Indonesia sekitar 30 tahun yang lalu, sudah digunakan olehnya pada novel yang terbit 100 tahun lalu.
Belum jelas apa istilah yang digunakan orang Indonesia pada jaman novel Yunisa ini terbit. Tapi banyak ahli yakin, di jaman itu orang menyebut bride's maid dan best man sebagai "orang-(berasa)-eksis-yang-berdiri-di-sebelah-pengantin-terus-terusan."
Ya memang orang jaman dulu nggak efektif. Kita harus berterima kasih pada Yunisa yang memperkenalkan istilah ini pertama kali kepada masyarakat Indonesia.
Walaupun ketika novelnya pertama terbit, informasi ini dikritik habis-habisan oleh pereview kurang kerjaan di Goodreads bernama asdewi." (Maap ya teman-teman, ternyata setelah 100 tahun, cuma nama saya yang masih eksis). #DirajamRameRame
(ps : jangan keplak saya, plis. Saya tahu kok ini garing. *muka memelas*)

5. Penggunaan kata "destiny" yang over dosis di novel ini.
Ketemu dan jadi sahabat itu destiny. Gak mau ngajak cewek lain kencan, karena si tokoh menunggu destiny-nya. Besok-besok kebelet ke WC ato laper doang dianggap destiny juga dah. #NyinyirDetected

Dan dari bertaburannya kata "destiny" yang ada di novel ini, 2 peristiwa ini sih yang ngasi momen "pffttt" :
Scene pertama:
"David, kenapa sih kita sering sekali bertemu walau kita tidak janjian?"
"Mungkin itu destiny?"

Bookkk...kalo emang ketemu gak sengaja di berbagai tempat bisa dianggap sebagai destiny, maka gw sama Stramaccioni pastilah destiny. Waktu dia datang ke Jakarta kemarin, kita sering ketemuan gak sengaja gitu. Dari ketemuan di lift ampe ketemuan di dekat toilet.
Jadi dia kah destiny saya? dear God, please make it come true. Mohon segera beri hidayah padanya agar sadar bahwa destiny-nya ada di Jakarta.

Eh bentar...
Waktu liburan ke Bali kemarin, saya juga sering ketemu sama Anang. Saking seringnya ketemu, teman saya ampe mikir kita kualat karena cabut kantor dengan alasan ikut pelatihan dan dikasi balasan berupa siksaan visual yaitu secara konstan ketemu pasangan (yang merasa diri) Kate & Will itu.
Jadi...apakah Anang (ato Ashanty?) akan menjadi destiny saya?
Dear God, I beg You please, dont! Jangan ampe se-mblegedes itu sih, pleaseee. Thank you, God. Amin. Photobucket

Anyhoo, peristiwa ke-2 adalah ketika David beranggapan Maroon destiny-nya karena si Maroon ngomong "Christmas is family time" yang mana adalah kalimat paporit David ke ibunya.

Cyiiiinnn...kalo nyebut ucapan yang sama bisa dianggap destiny, maka ada berapa milyar orang di dunia ini yang jadi destiny saya waktu saya bilang : "Gw lapeeerrr" ato waktu saya bilang : "Kayak ketek badak nih sinyal" ?
Jadi sebenernya destiny saya ada berapa sih? Kok gak ada satu pun yang nongol? Hah? Hah?? Hah??? *dilemparBTS*
(PS : Hei...kamu yang baca review ini, pasti juga pernah ngucapin kalimat di atas kan? Ih berarti kamu juga destiny saya. Hayo atuh buruan pinang saya dengan bismillah dan  sesendok berlian *kedipkedipcentil* Photobucket #LaluDitujesPakeSabretooth)

Masih soal "ucapan-yang-sama-adalah-destiny", di halaman 178 ada part dimana David dan Donald mengucapkan kalimat yang sama. Berarti mereka destiny dong?
Setelah ngantuk maksimal, saya langsung excited pas nyampe di bagian ini.
Huwooww...apa buku ini akan berubah ke gay lit? Photobucket
David dan Donald menyadari bahwa mereka destiny lalu naik kuda bersama menuju matahari terbenam sementara Maroon nangis suwe di belakang? (I also don't know why I had this lame vision).
Woww...Wowww.....Spekta sekali Yunisa ini. Twist yang kueren buanget. Sumpah saya meremehkan kemampuan dia.
Maka dengan semangat saya lanjut baca.
Dan kecewa karena ternyata tebakan saya salah.
Dia kembali ke plot cerita garing ala layar tancap, layar kaca, layar gelasnya dong :s
*pembaca kecewa* #YaMenurutLooooo

6. Karakter-karakternya yang unlikeable

Karakter David dan Donald itu dibikin terlalu sempurna ampe jatohnya malah jadi ilfil. Novel Harlequin aja, yang ceritanya manis banget ampe bikin semut kena diabetes, masih ngasi kekurangan di para tokoh cowoknya. Tokoh yang paling saya suka disini sih Olivia, adiknya Maroon.

Dan tokoh paling nyebelin itu jelaslah : Maroon!
Saya udah mulai ilfil pada tokoh ini sejak halaman 16 ketika terjadi dialog seperti ini antara Maroon dan ibunya :
I : "Di sini sebenarnya kan kuburan."
M : "I know and I'm not scared."
I : "Why?"
M : "Karena aku mau jadi dokter! Dokter kan tidak boleh takut!"


Euh...ada yang salah dari pernyataan itu. Dokter juga manusia kok yang boleh takut. Lagian tuh gelar juga gak bakal ngaruh apa-apa buat kuntilanak.
Kebayang deh kalo waktu ketemu saya bilang : "Oi Kunti, gw gak takut sama loe. Kan gw dokter."
Palingan juga si Kunti jawab : "Ya terus? Masalah buat gw? Buat temen-temen gw? Pfft...please deh, bwok!"
Lalu dia pergi sambil kibas rambut dan geal geol patpat (Ini kunti ato Inem sebenernya?)

Apalagi kalo ketemu Pocong. Bisa ngakak kejang dia kalo saya bilang saya dokter. Si Pocong bakal bilang : "Jadi loe dokter? Huahahaha...kesian banget ya loe. Gw cuma dibungkus kayak lontong gini udah punya puluhan film hits di bioskop. Lah loe, pake jas putih keren gitu, bawa stetoskop mahal-mahal, peran loe paling mentok cuma ngomong : "Maaf kami sudah berusaha maksimal...". Suster malah lebih canggih dari loe. Dia cuma ngesot doang udah bisa nge-hits gitu pelemnya. Huahaha...kasian loe, cuy!"
(PS : Dan sumpah ini bukan curcol. Bener-bener bukan kok! #YaAdaCurcolDikitSih)

Anehnya karakter si Maroon ini, dia gak takut sama kuburan di Westminster Abbey. Tapi takut sama kuburan Cina dan kuburan lokal.
Alasannya?
Karena yang dikuburin di Westminster itu pake pakaian rapi sementara di Indo dibungkus kayak lontong ato pake daster putih.
Bah!!! Dia lupa kalo Count Dracula dan Bloody Mary juga bajunya rapi. Tapi coba aja situ liat, mempan kagak gelar dokter situ kalo ngadepin si Tante Mary yang bedarah-darah itu. #KenapeGwYangSewot

7. Logic check

Sebenernya sih mbak Iyut udah ngebahas tentang logic check-nya. Tapi di blognya penulis menyarankan reviewer untuk logic check dan kasi kontribusi positif ke penulisnya, maka saya berusaha kasi kontribusi ke penulisnya. Mengenai apakah kontribusinya positif ato nggak, biar penulis saja yang menilai.

Ini mengenai 1 part yang belum (ato mungkin gak tega) ditulis sama mbak Iyut.
Part yang dimaksud ada di halaman 39, scene waktu Donald tersadar dari koma. Dan ini petikannya :

"Dokter, dokter, denyut jantung pasien mulai melemah!" perawat berteriak. Dua orang perawat dengan cekatan menyiapkan alat kejut listrik defibrillator...
===> Oh jadi denyut jantung melemah itu didefib ya, mbak? Gak liat dulu pola irama jantungnya gimana?

"...Dokter menempelkan defibrillator di atas dada pasien. Tidak ada reaksi. "Kita ulangi,"..."
===> Bookkk! Di-CPR dulu baru defib lagi. Itu mesin defibnya butuh waktu buat recharge dan sembari nunggu ya di-CPR dong ah.

"Bunyi detak jantung masih rata."
===> Haapppaaahhhh??? Rata anda bilang? Jadi dari tadi pasiennya udah rata alias garis lurus alias asystole? Ya terus kenapa didefib? CPR buruan!
Hiihh...!!! Minta didefib juga nih penulisnya. Photobucket

"Kita coba sekali lagi! Naikkan tegangan!"
===> *tarik napas dalam* Mbak Yunisaaaa, defib itu tegangannya gak dinaikkan. Tentukan aja mo pake defibrillator yang monophasic ato biphasic. Yang bisa dinaikin itu cardioversi. Logic check dong, mbak! Logic check!
*kemudian bengek* *lupa buang napas* *sengaja dijelasin* :p

"...pasien tersentak dan sesaat kemudian detak jantung si pasien perlahan kembali normal...pasien lelaki berwajah tampan itu bangun dari komanya yang panjang."
...
Saya speechless Photobucket.
Saran aja nih mbak penulis, kalo lain kali nekat mo nulis novel yang ada scene emergency-nya, coba kurangi nonton Grey's Anatomy dan Scrubs lalu perbanyak nonton ER ato House.

Sebenarnya ide dasar novel ini lumayan kok. Tapi kenapa eksekusinya bisa begini kacrut adalah misteri yang belum berhasil saya pecahkan.
Untuk nemuin jawabannya, saya mengikuti saran penulis untuk membaca ulang bukunya, karena "semakin dibaca ulang, kesannya jadi beda".

Bener sih apa yang dibilang itu.
Soalnya baca pertama kali bikin saya kasi 1 bintang, nah baca yang kedua malah turun jadi setengah bintang. Kesannya emang beda kok pas dibaca ulang. Semacam jadi makin keliatan garingnya gitu deh.

Sebenernya saya sih mau aja baca ulang untuk yang ketiga, keempat bahkan ampe 10x juga. Masalahnya, itu jatah bintang tinggal dikit. Khawatirnya kalo saya baca ulang tuh bintang malah jadi habis dan saya kudu bikin sistem rating baru.

Ya sebenernya gak papa juga sih bikin sistem rating baru, toh gak ribet juga. Tinggal nambah 1 shelf doang kok. Cuma saya masih bingung nentuin pake rating yang mana, apakah "
Kancut Rating System (pinjem istilahnya SinemaIndonesia)


ato

Eneg Rating System
Photobucket

(btw gambar diambil dari sini. Gak sempet putu sendiri soalnya)

Daripada kelamaan bingung, saya memutuskan menyudahi percobaan baca-ulang ini dan berhenti di 1/2 bintang saja.
Besides, this book worth its half star anyway.
Beneran kok! Coba deh baca blog penulisnya di post berjudul yang kena sensor. Saya sih bersyukur akan keberadaan editor di buku ini. Kalo nggak, entah bakal sepanjang apa review ini.
Jadi setengah bintang itu untuk para editor novel ini.

Bye the way, ampe akhir saya masih gak tau apakah kepo beneran bisa bunuh kucing #MasihNgototBahasKucing. Yang saya tahu, di akhir baca buku ini saya menemukan satu lagi persamaan saya dengan kucing yaitu : Gak ada kapoknya!

Saya juga gitu. Walopun keprimaan otak saya terancam tiap kali baca buku kacrut, tapi saya gak kapok untuk membaca buku kacrut. Karena menulis repiu kacrut sesungguhnya masturbasi otak.
Jadi sampai jumpa di repiu kacrut berikutnya (yang entah kapan).
Salam buku kacrut!

PS :
Terima kasih untuk siapa pun yang sudi membaca curhatan ini ampe akhir.
Maap kalo panjang banget. Saya emang gak jago nulis yang singkat, padat dan jelas. Saya jagonya emang ngoceh kayak gini.
Jadi makasi buat yang tahan baca ampe akhir.
Tapi saya punya pertanyaan buat anda/kalian :

"Anda gak ada kerjaan ya? Ngapain juga buang waktu baca ginian? Mending juga pacaran!
Eh apa anda jomblo? Aduh kacian. Ngenes ya hidupnya, blo?"
Photobucket

#BerlaluDenganSongong
#SambilGandengPacar
#YangAdalahBantal
.....
....
...
..
.


IYAAA...IYAAA...SAYA JUGA JOMBLO! SAYA JUGA NGENES!
PUASSS??? HAH? HAH?? HAH???

BUBAAARRR!!! WHOOSAAAHHHH....

Photobucket

Friday, April 20, 2012

Takdir Elir

Judul : Takdir Elir 
Penulis : Hans J. Gumulia 
Penata letak : Mulyono 
Pem. Aksara : Reyner Nabeel 
Proofread : Bonmedo Tambunan, Dina Begum, Adit H. Pratama 
Pencpt. hikayat : Ami Raditya 
PR : Truly Rudiono 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

 Pertama kali membaca kata yang tertera di sampul buku ini (Vandaria Saga), saya langsung ngerasa salah buku. "Hah? Vandaria tuh apaan?" pikir saya.

Membaca perkenalan para tokoh dan bab pertama, saya makin mikir kalo saya salah buku. Lah wong saya blank banget dengan istilah dan tata cara dunia Vandaria. Misalnya : frameless itu apa sih? Ordo Vhranas itu apa? Kalo semua penghuni Vandaria memuja Vanadis, kenapa musti ada pembagian ordo segala?

Huaa....saya makin bingung.
But the show must go on. Sekali buku terbuka, pantang berhenti tengah jalan (pret!). Dan saya pun melanjutkan petualangan saya bersama Rozmerga yang gagah berani.

Dari sekilas pandang, saya sempat berpikir kalau Vandaria ini semacam RPG (dan kayaknya sih emang iya). Soalnya perkenalan tokoh di halaman awal itu sampai mencantumkan ukuran fisik segala dan biasanya ini hobi di RPG (teori seenaknya XD)


Adalah seorang pendeta tinggi di Ordo Vrhanas yang mendapat wangsit untuk mengirimkan salah satu frameless juniornya ke Benua Elir. Saat itu, perang hampir pecah di sana karena pertikaian 2 kerajaan besar di benua Elir. Berbekal surat dari pendeta tinggi dan ditemani serombongan ksatria suci, Rozmerga pun melipir ke Benua Elir #heyitsryhme #rhymendasmu X)

Scene lalu berpindah ke Liarra, seorang frameless hutan dari marga suci entah-apa-namanya yang berdomisili di Benua Elir. Rupanya klan Liarra ini memiliki senjata suci nan sakti bernama busur Valuminnaire. Dan berhubung Benua Elir sedang dalam masa kritis, para tetua mendapat wangsit bahwa sudah saatnya busur itu dilepas untuk memilih tuannya. Dan (as we can guest) Liarra lah yang dipilih oleh sang busur.

And...Poof!!!
Begitu Liarra bersentuhan dengan busur Valuminnaire, detik itu juga dia teleport ke Gurun Pasir Tak Bernama dan bertemu Sigmar, seorang pengembara setengah frameless yang sedang dalam misi untuk mencari sebuah kuil yang hilang.

Berhubung Liarra yakin takdirlah yang membuatnya bertemu Sigmar, maka dia yakin adalah takdirnya juga untuk ikut mencari kuil tersebut. Perjalanan mereka gak mudah, sampai ketemu Gorken segala dan akhirnya para Gorken malah jadi pengikut setia Liarra. Oh...apakah Gorken itu? Entah...semacam monster sih. Mungkin sejenis dengan Golem ato Orc kali ya.

Lalu cerita balik ke Rozmerga yang baru sampai di Elir, tepatnya di wilayah kerajaan Serenade. Dalam perjalanannya mencapai ibu kota, dia sempat nyasar, diserang segerombolan perampok, akhirnya terselamatkan dan dapat tumpangan di rumah warga hingga akhirnya dapat tumpangan kendaraan juga ke ibukota.
Buat saya sih bab ini aneh. Gak jelas tujuannya apa secara gak berpengaruh juga ke cerita. Dan aneh juga karena kok Rozmerga dan rombongannya bisa segampang itu kejebak bandit kampung? Apa si pengarang bermaksud menunjukkan betapa juniornya Rozmerga ini?

Setelahnya cerita kembali ke Liarra dan Sigmar yang sudah berhasil menemukan kuil itu dan juga pisau belati kuno. Setelahnya Sigmar dan Liarra menyadari kalau kedua senjata mereka bersinar. Mereka mencoba menyentuhkan kedua senjata dan mendapat suatu visi. Dalam visi tersebut terlihat 5 Pahlawan Legendaris Elir melawan Gottfried Serenade, musuh terkuat dalam sejarah Elir. Pertanyaannya, apakah hubungan visi tersebut dengan kondisi Elir yang kritis saat ini? Dan apa pula peran mereka dalam konflik ini?

 "Ingatlah wahai putri Vanadis, bahwa di jalan segelap apa pun, selalu saja ada secercah cahaya yang akan melindungimu..."
Bingung dengan sinopsis di atas? Nggak perlu...

Karena walaupun ditulis dengan multiple POV, tapi gaya berceritanya nggak bikin bingung kok.
Memang sih ada beberapa hal yang aneh dan lucu seperti Sigmar yang membacakan petunjuk cara menghadapi Gorken ke Liarra tepat saat mereka akan diserang Gorken. Atau saat Rozmerga dan rombongannya gak tahan menghadapi penginapan yang jorok. Juga saat Rozmerga begitu naifnya sampai gak nyadar dia ditipu padahal pembaca awam seperti saya aja bisa nyadar.

Lucu memang, tapi saya pikir biarlah. Toh ukuran saya memberi rating adalah seberapa menikmatinya saya membaca buku tersebut. Dan harus saya akui, membaca Takdir Elir ini enak banget. Bahasanya (walopun kadang-kadang cheesy terutama di bagian percakapan) mengalir banget. Tanpa disadari udah selesai 1 bab aja dan penasaran untuk lanjut bab berikutnya.

Mengenai hal-hal yang belum jelas di buku ini, seperti kegunaan bab waktu Rozmerga diserang (lupa bab berapa) juga apa sebenarnya penyebab konflik di Elir, saya sih berharap akan ada penjelasannya di buku kedua.

Oya...saya juga suka twist di akhir cerita, tentang mereka (saya sengaja gak bilang siapa "mereka" itu) yang terlempar ke masa lalu. Wow...I didn't see that coming. 

Tapi di sisi lain, saya juga heran sendiri. Kan mereka sudah dapat visi tentang masa lalu, kok gak ngeh kalo mereka melihat diri sendiri di visi itu?
Ah time paradox dan time travel selalu jadi konsep yang membingungkan untuk saya. Mudah-mudahan sih akan ada penjelasan yang logis di buku berikutnya.

Empat bintang saya berikan untuk buku ini. Kenapa gak 5 bintag?

Karena dipotong satu bintang karena hal yang "lucu" dan aneh di atas. Dan tadinya saya mau potong setengah bintang lagi karena saya gak suka covernya. Tapi akhirnya batal, karena saya suka ilustrasi-ilustrasi cantik dalam buku ini.

Oh bye the way, ampe akhir saya masih belum tahu frameless itu apa. Tapi pada akhirnya saya gak peduli karena saya toh tetap menikmati buku ini. Yep...this book was that good :)

Sunday, February 26, 2012

Bordir

Data Buku :

Judul Asli : Embroideries
Pengarang : Marjane Satrapi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9792220070
Halaman : 138
Paperback
Terbit : Maret 2006

Di novel grafisnya ini, Marjane memfokuskan cerita pada neneknya dan kebiasaan beliau kumpul minum samovar (teh) di sore hari dengan teman-temannya sambil (apalagi kalau bukan) bergosip, baik gosip tentang diri sendiri atau pun orang lain.

Para wanita ini menceritakan pengalaman mereka (dan orang-orang yang mereka kenal) secara gamblang dan lucu. Dan topiknya pastilah tentang hal paling seru untuk diperbincangkan : pria dan sex!
Yap...pria dengan segala plus dan minusnya serta tradisi-tradisi Iran menyangkut perjodohan dan hal-hal konyol yang bisa terjadi karenanya.

Ada cerita tentang seorang wanita yang takut ketahuan calon suaminya kalo dia sudah nggak perawan lagi, dan untuk mengelabuinya dia membekali diri dengan silet di malam pertamanya. Niat awal sih untuk bikin luka sedikit di pahanya, tapi dia salah menggores dan malah kena ke private part suami barunya (ouch!).

Ada juga cerita lain tentang teman si nenek yang dijodohkan sewaktu berumur 13 tahun dengan pria berumur 69 tahun dan betapa dia sangat membenci suaminya sehingga dia berdoa siang malam semoga suaminya segera berpulang ke Tuhan YME. Bayangkan kebahagiaannya ketika doanya terkabul dan dia merasa memiliki dunia :))

Dan cerita yang paling lucu buat saya jelas cerita yang menyangkut teh dan sesuatu yang putih-putih. Gak seru kalo diceritain. Lebih asyik dibaca sendiri bagian yang ini.

Ada juga perdebatan kecil tentang keuntungan menjadi simpanan vs menjadi istri dan pentingnya sebuah keperawanan ato enggak. Dan hal ini membawa kita pada judul buku ini yaitu Bordir. Ternyata Bordir itu bukan membahas kain bordiran atau semacamnya toh. Tapi membahas tentang kegiatan bordir yang lain, yang melibatkan salah satu bagian tubuh wanita yang terkoyak. (PS : Nyambung gak? Hah...Enggak??? Oh well...sudahlah. Baca aja sendiri).

Membaca buku ini rasanya jadi orang ke-11 yang turut hadir dalam acara minum teh sore nenek Satrapi dan rekan-rekannya. Bacalah buku ini disertai segelas teh juga dan niscaya Anda akan merasa seperti ada dalam buku tersebut.

Swear, ini buku menarik banget. Lucu, witty humour (my favourite kind of humour), blak-blakan dan cepat pula dibaca. Gambarnya juga menarik dan bersih (dalam artian gak penuh dengan detail rumit). Dan sebenarnya saya pengen banget kasih lebih dari 3 bintang.

Sayangnya gak bisa, karena satu sebab remeh yaitu : Saya gak suka duduk ngumpul minum teh sambil ngegosipin orang yang saya gak kenal. Kalo saya punya waktu untuk minum teh di sore hari, percayalah teh itu akan saya habiskan sambil membaca buku, bukannya sambil ngalor ngidul gak jelas kayak gini.
Jangan salah, saya suka kok dengar cerita atau curhatan orang. But please, bukan tentang orang yang saya gak kenal. Dan please juga deh, jangan bahas aib orang dong.

So...though I enjoyed my tea time with The Satrapis, but I'm not sure I wannna do it again some other time.

Tuesday, January 31, 2012

Godaan Di Senja Hari

Judul asli : Tempt Me At Twilight
ISBN/EAN : 9789792260403 / 9789792260403
Author : Lisa Kleypas
Publisher : Gramedia Pustaka Utama (GPU)
Publish : 03 Agustus 2010
Pages : 424
Dimension (mm) : 140 x 210

Ini buku kiriman Secret Santa-ku, Mbak Desty Nugrainy. Pertama buka bungkusannya langsung cengar-cengir karena mikir : "Yeeaayyy...historical romance-Lisa Kleypas-Hathaways-Belum punya."
Tapi di sisi lain juga mikir : "Eng...ini buku ke-3 kan? Susah nih ngereview buku ke-3." *elusJidat*
Yup...kelemahan saya emang ngereview buku berseri. Saya lebih suka membacanya ampe habis dan memposting reviewnya sekaligus (itu pun kalo gak keburu males bikin :D). Jadi...kiriman dari Secret Santa-ku ini jadi semacam tantangan tersendiri. Makasih, Secret Santa ^__^

Seperti yang saya bilang di atas, Godaan Di Senja Hari ini adalah buku ke-3 dari serial Hathaways yang bercerita tentang liku percintaan Hathaway bersaudara. Keluarga Hathaway dikenal sebagai keluarga bangsawan yang eksentrik. Mereka tidak terlalu patuh pada aturan aristokrat dan wanita-wanitanya dikenal pintar yang mana suatu kekurangan lumayan fatal (di jaman itu, pria kurang suka wanita pintar sebagai istri, takut memberontak mungkin). Hal inilah yang membuat wanita Hathaway (walaupun punya maskawin yang besar) rada sulit laku di bursa perjodohan.

"Peluangnya memperoleh pernikahan yang pantas akan lenyap--hanya karena musang."

Dan dengan kalimat itu, dimulailah kisah tentang Poppy, putri ketiga keluarga Hathaway.
Poppy sangat mencintai keluarganya yang unik, namun dia terus memimpikan hidup yang normal, damai (ato singkatnya: hidup yang boring) dan menikah dengan pemuda dari keluarga terhormat. Impian itu terancam hancur bila surat cinta dari Michael Bayning (kekasih rahasianya) tersebar kemana-mana. Sialnya, saat ini surat itu sedang dipegang Dodger, musang peliharaan adiknya. Dan sudah jelas, Dodger tak mengerti tingginya level kerahasiaan surat itu.

Pengejaran itu membawanya berkenalan dengan Harry Rutledge. Perkenalan yang menjungkirbalikkan semua rencana Poppy.
Sejak awal bertemu, Harry sudah tertarik kepada Poppy dan bertekad memilikinya walau pun harus melakukan segala cara. Dengan cara licik, Harry berhasil memisahkan Poppy dan Michael. Dan lewat suatu insiden, Harry berhasil menyudutkan Poppy hingga gadis itu terpaksa menikah dengannya.

Namun, tak ada rahasia yang tak terungkap.
Di hari pernikahan mereka, Michael datang dan mengungkapkan segala kecurangan Harry. Walau marah, Poppy memilih tetap menjalankan rencana menikah dengan Harry, basically choosing the lesser of two evils. Dan dimulailah pernikahan yang aneh itu. Pernikahan yang memaksa mereka berdua untuk membuka diri dan hati serta belajar memaafkan.
"Aku tidak akan pernah menyesalinya. Karena jika aku tidak melakukannya, kau miliknya sekarang. Padahal dia hanya menginginkanmu jika itu mudah baginya. Tapi aku menginginkanmu dengan cara apa pun yang aku bisa. Aku menginginkanmu karena tidak ada orang lain yang seperti dirimu, dan aku tidak pernah ingin memulai hari tanpa melihatmu."
-Harry Rutledge-
I love this book.
Suka sama karakter Harry yang tegas, dewasa, tahu apa yang dia mau walopun di dalamnya selalu ada sosok bocah kesepian. Yang paling saya suka adalah : Harry gak munafik. Dari sejak awal pun dia udah ngaku kalo dia memang bukan orang yang baik dan karenanya tak bisa diharapkan menjadi "saint". Soal mengubah seorang villain jadi hero dan membuat pembaca jadi bersimpati pada sang "hero" memang Kleypas jagonya.

Suka juga sama karakter Poppy yang rasional dan berkepala dingin. Semarah apapun Poppy, dia bisa mempertimbangkan sisi positif dan negatif suatu masalah. Dari semua karakter heroine-nya Kleypas, Poppy masuk dalam daftar favorit saya. Kekurangan Poppy itu di sifatnya yang terlalu baik, bahkan kepada mantan pacarnya dan kadang rada naif.

Suka juga sama karakter-karakter pendukung yaitu anggota keluarga Hathaway lainnya. Suka sama kekompakan dan kasih sayang yang kental antara mereka. Suka dengan rahasia Catherine yang semakin terungkap. Dan yang paling saya suka, disini kita bisa melihat chemistry Leo dan Catherine yang semakin terbentuk. Prekuel yang bagus untuk buku berikutnya (Married By Morning) yang menceritakan Leo-Cath.

Suka sama endingnya yang (walaupun) tertutup, tapi bikin penasaran untuk baca buku lanjutannya.

Untuk versi Indonesia ini, saya juga suka covernya yang menggambarkan suasana senja dan bangunan besar yang saya anggap sebagai hotel Rutledge. Suka warna covernya yang bernuansa pink-ungu itu. Cantik banget :D

Yang saya kurang suka adalah proses menuju endingnya. Somehow, rasanya agak terburu-buru. Setelah santai dan ringan di awal, pas mendekati konflik akhir kok jadi makin cepat ya? Penyelesaiannya pun terasa agak diburu-buru. Tapi sungguh, itu kekurangan yang kecil dibanding nilai keseluruhan cerita ini.
"Kau tahu apa itu roda penyeimbang? Ada satu roda seperti itu di setiap jam dinding atau jam tangan. Roda itu berputar maju dan mundur tanpa berhenti. Itu yang menghasilkan suara berdetik, yang membuat jarum jam bergerak maju menandai menit. Tanpa roda itu, jam itu tidak akan bekerja. Kaulah roda penyeimbangku,Poppy."
-Harry Rutledge-
Saya sudah baca kelima serial dalam versi ebook-nya, tapi baca versi terjemahan ini bikin saya penasaran untuk membaca dan mengoleksi lima seri terjemahannya (Hehehe...mbak Desti menambah target buku yang harus saya beli di 2012 ini :D).

Karenanya saya kasi 3,5 bintang untuk Godaan Di Senja Hari versi GPU ini. Tiga bintang untuk ceritanya dan setengah bintang lagi untuk cover dan terjemahannya yang bagus banget itu. Kenapa ceritanya cuma 3 bintang? Karena yah...gak sreg sama konfliknya yang kurang tajam dan penyelesaiannya yang rada terburu-buru.

Quote of the book:
 
Poppy Hathaway : “Aku tidak akan pernah lupa kau merampas pria yang kucintai dan menempatkan dirimu di tempatnya. Aku tidak yakin bisa memaafkanmu sampai kapan pun. Satu-satunya yang kuyakini adalah aku tidak akan pernah mencintaimu. Apa kau masih ingin menikah denganku?”
Harry Rutledge : "Ya. Aku tidak pernah ingin dicintai. Tuhan pun tahu tidak seorang pun pernah mencintaiku."

Monday, January 16, 2012

Graceling

Judul asli : Graceling
Author : Kristin Cashore
Penerjemah : Poppy D Chusfani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 496
Published : December 2011
ISBN 13 : 9789792278224

Graceling adalah cerita tentang Katsa yang mampu membunuh orang hanya dengan tangan kosong sejak dia berumur 8 tahun.
Katsa tinggal di dunia 7 kerajaan, di mana sangat jarang terjadi, ada orang dilahirkan dengan keterampilan  ekstrim yang disebut Graceling. Para Graceling ditakuti sekaligus  dimanfaatkan di dunia itu. Tidak terkecuali Katsa, yang diperintahkan untuk melakukan pekerjaan kotor (penyiksaan dan hukuman) untuk pamannya, Raja Randa dari Middluns.

Sampai dia bertemu Po, seorang asing yang misterius, yang juga Graceling Petarung dan orang pertama yang berani menantangnya berkelahi.

Dengan segera, Po dan Katsa bersahabat erat dan menemukan kenyataan tentang kemampuan Graceling mereka yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya, juga kenyataan tentang satu sama lain dan tentang bahaya mengerikan yang menyebar perlahan-lahan dan dapat menghancurkan 7 kerajaan. Berdua, Katsa dan Po berusaha mengalahkan si sumber bahaya. Walau tak akan mudah, karena kali ini musuh mereka mempunyai bakat yang begitu kuat hingga dapat mengalahkan Katsa.
“When a monster stopped behaving like a monster, did it stop being a monster? Did it become something else?”
-Katsa-
Saya adalah orang yang visual. Karenanya, membaca cerita berlatar sebuah dunia fiktif sejujurnya melelahkan. Sebelum membaca, saya akan menghafal letak para negara di peta dunia fiktif tersebut, termasuk letak sungai dan gunung. Lalu sepanjang membaca buku, setiap kali si penulis mendeskripsikan dunia karangannya, saya turut mengkhayalkan sampai ke bagian terkecil, juga turut melirik peta yang dibuat pengarang demi mengecek apakah khayalan saya sudah sesuai.
Melelahkan bukan?

Bagusnya, dengan Graceling saya tak mengalami masalah serupa. Selain karena peta yang simpel, pemilihan nama-nama kerajaan juga memudahkan saya dalam mengingat letak masing-masing negara. Contohnya saja kerajaan Estill yang terletak di timur (east), Sunder di selatan (south), Nander di utara (North), Wester di barat (west) dan..coba tebak kerajaan apa yang terletak di tengah? Yap...Middluns alias middle. Ini artinya, 1 point untuk dunia 7 kerajaannya Graceling.

Point kedua terletak di karakterisasi para tokoh.
Katsa itu mandiri, ganas dan kuat secara fisik, bahkan lebih kuat daripada Po.
Bagusnya, Po tak berkecil hati karenanya. Po tak terintimidasi dengan bakat Katsa. Dia juga sangat memahami jiwa Katsa dan karenanya membiarkan Katsa melakukan apa pun selama Katsa bahagia. Baginya, Katsa adalah kucing liar yang hidup bebas di alam. Dan tak ada yang boleh merubah itu, bahkan tidak juga Po. Terharu waktu Po bilang : "Aku akan menyerahkan diriku kepadamu tidak peduli kau ingin aku menjadi apa."

Dan Katsa, walau pun secara fisik dia lebih kuat, namun secara mental, dia lebih rapuh daripada Po. Katsa butuh Po untuk mengajarkan bahwa monster sekali pun pantas dicintai dengan tulus. Katsa juga butuh Po untuk menenangkan hatinya yang resah dan sebagai rumah untuk pulang kapanpun dunia terasa melelahkan.
Chemistry yang seperti ini di antara mereka meyakinkan saya bahwa Katsa dan Po memang soulmate.

Karakter sekunder seperti Bitterblue dan Raffin juga menarik. Cashore menggambarkan Bitterblue sebagai gadis cerdas dengan kebijaksanaan melebihi anak umur 10 tahun pada umumnya. Gak wajar sih tapi bisa dimaklumi mengingat kondisi lingkungan yang menuntutnya untuk dewasa lebih cepat. Raffin, sepupu Katsa dan calon raja Middluns, juga karakter yang saya sukai. Sayangnya Raffin kurang berperan disini. Semoga di buku berikutnya (Bitterblue), Cashore memberi porsi lebih pada Raffin.
"I know you're teasing me. And you should know I'm not easily humiliated. You may hunt for my food, and pound me every time we fight, and protect me when we're attacked, if you like. I'll thank you for it."
-Po-
Dua point ini saja sudah membuat saya betah membaca Graceling walau pun buku ini sebenarnya bermasalah dengan alurnya yang lambat.
Adegan pembukanya seru, pembaca langsung disuguhi dengan Katsa yang sedang beraksi. Lalu perkenalan dengan Po dan ketertarikan instan di antara mereka. Dan alur yang berjalan cepat ini tetap dipertahankan sampai Po dan Katsa bertemu lagi.

Dari situ, adegan bergulir lambat. Cashore berlama-lama menggambarkan pergulatan batin Katsa, juga lambat dalam membangun romansa Po dan Katsa, sampai membuat pembaca geregetan. Tapi setelah bersabar melewati, alurnya akan kembali cepat. Hingga tak terasa, sudah sampai di klimaks, kemudian adegan penutup. Pada adegan penutup, Cashore memberi twist pada ceritanya.
Dan baru saat itu, saya mengerti mengapa Cashore perlu berlama-lama di awal. Karena Cashore perlu membangun chemistry antar Katsa dan Po. Cashore juga perlu membangun rasa percaya yang kuat antar mereka berdua, hingga tak ada pembaca yang meragukan ketulusan janji Katsa dan keteguhan Po pada keputusan yang mereka buat di akhir cerita.
"I love you," he said. "You're more dear to my heart than I ever knew anyone could be. And I've made you cry; and there I'll stop.”
-Po-
Bagaimana dengan endingnya? Ah...it's bittersweet for me.
Gak rela Cashore menutup kisah Katsa dan Po dengan cara begitu. Sisi romantis saya menginginkan ending ala Cinderella dengan prinsip "live-happily-ever-after". But it would be so predictable. Dan itu bukan gaya Katsa. Dia bukanlah orang yang mau mengubah prinsipnya demi orang lain. Lagipula sekali pun Katsa bersedia, Po tak akan membiarkannya.
Di sisi lain ending itu juga sweet, karena menunjukkan kuatnya ikatan dan kepercayaan Katsa dan Po terhadap satu sama lain. Berapa jauhnya hubungan mereka berkembang dibandingkan awal cerita.

Dan ending yang seperti itu menggugah rasa penasaran saya pada kelanjutan nasib Katsa dan Po. Penasaran yang cukup besar hingga membuat saya berniat membaca Bitterblue (bagaimana pun ceritanya nanti), karena saya ingin melihat kelanjutan kisah Katsa dan Po. Toh Cashore sudah berjanji mereka berdua akan muncul lagi di Bitterblue.

Untuk terjemahannya, gak ada masalah sama sekali. Dari awal tahu kalau penerjemahnya adalah Poppy D Chusfani, saya sudah yakin gak bakal ada masalah. Saya juga suka covernya. Permainan warna ungu dan jingga di latar belakang serta ilustrasi gadis perkasa di cover depan terasa "kena" untuk cerita ini.
"One man loves you wholeheartedly. He follows you around like a shadow everyday
That man is laughing though inside he's crying.
That man has many stories that he can't even tell his best friend. That's why that man
love you, because you are just same as him."
Hyun Bin - That Man
Itu adalah lagu yang terus bermain di benak saya saat membaca bagian pertama buku ini. Dan di ending, justru lagu Breathless-nya Better Than Ezra-lah yang mengalun. Ah senang sekali. Sudah lumayan lama sejak terakhir saya ketemu buku yang "bernyanyi".

Untuk ini semua, saya kasih 4 bintang untuk Graceling. Karena banyak novel fantasi bagus di luar sana, tapi tak banyak dari mereka yang bernyanyi. Ditambah setengah bintang untuk terjemahan dan cover-nya.

"I thought you'd want to know. 
That when you feel the world is crashing, all around your feet
Come running headlong into my arms"

Better Than Ezra - Breathless