Showing posts with label 4 1/2 bintang. Show all posts
Showing posts with label 4 1/2 bintang. Show all posts

Friday, November 30, 2012

Macbeth

MacbethMacbeth by William Shakespeare

My rating: 5 of 5 stars


WARNING : Review ini mengandung slight spoiler. Tapi menurut saya, classic seperti ini, apalagi punya Shakespeare, sudah bukan rahasia lagi endingnya gimana

Di antara petir dan kilat yang bersambaran, 3 penyihir membuat janji untuk bertemu lagi dan kali ini mereka akan bertemu dengan Macbeth.

Di tempat lain, seorang prajurit yang terluka melaporkan kepada Raja Duncan dari Scotlandia bahwa sang Jenderal Macbeth - Thane of Glamis- dan Banquo baru saja mengalahkan pasukan Norwegia & Irlandia yang dipimpin oleh pengkhianat Macdonwald.

Pada scene berikutnya, Macbeth dan Banquo (rekannya) sedang berjalan sambil mendiskusikan kemenangan mereka di medan perang. Dan muncullah 3 penyihir yang berniat meramal mereka. Untuk Macbeth, ramalannya adalah dia akan menjadi Thane of Cawdor dan kemudian jadi Raja. Sementara Banquo diramalkan bahwa keturunannya akan menjadi raja meskipun dia sendiri tidak.

Di saat Macbeth dan Banquo merenungkan ramalan ini, ketiga penyihir itu menghilang dan datanglah Thane lain (Ross) yang mengabarkan bahwa Macbeth diberi gelar Thane of Cawdor, menggantikan Thane sebelumnya yang dihukum karena berkhianat. Dan dengan itu 1 ramalan telah terpenuhi.

Macbeth lalu menceritakan ramalan tiga peyihir pada istrinya. Lady Macbeth yang ambisius itu "memaksa" suaminya untuk membunuh Raja Duncan.
Dan bujukannya berhasil!
Macbeth & Lady Macbeth membuat mabuk penjaga Raja, kemudian menusuk Raja hingga mati.

Macbeth yang terpukul sehabis membunuh Raja merasa tidak sanggup meneruskan rencana. Lady Macbeth pun mengambil alih dan meletakkan belati berdarah tersebut ke tangan si penjaga yang tertidur karena mabuk.

Esok paginya, Lennox (seorang bangsawan) dan Macduff, Thane of Fife, tiba di istana. Macbeth mengantar mereka untuk menemui raja dan menemukan tubuhnya terbujur kaku. Berpura-pura marah, Macbeth lalu membunuh penjaga dan menuduhnya sebagai pembunuh raja.

Kedua putra raja, Malcolm dan Donalbain, melarikan diri ke Inggris dan Irlandia. Mereka takut pembunuh Raja akan mengincar nyawa mereka juga. Kosongnya tampuk kekuasaan membuat Macbeth meng-claim posisi Raja (gelar Thane of Cawdor milik Macbeth memang gelar bangsawan tertinggi). Dan dengan itu, ramalan kedua pun tergenapi.

Banquo yang melihat ini sadar kebenaran ramalan tersebut. Dia pun ingat bahwa keturunannya lah yang akan mewarisi tahta. Macbeth juga tak lupa akan ramalan tentang Banquo tersebut. Maka Macbeth pun menyusun rencana untuk membunuh Banquo dan putranya, Fleance, yang berencana melarikan diri ke negara lain.

Banquo memang terbunuh, namun Fleance selamat. Hal ini membuat Macbeth makin cemas. Maka dia pun mengunjungi ketiga penyihir untuk diramal lagi. Ketiga penyihir memanggil "penampakan" yang kemudian memberikan ramalannya :

- Penampakan 1 : Macbeth! Macbeth! Macbeth! beware Macduff; Beware the thane of Fife
- Penampakan 2 : Be bloody, bold, and resolute; laugh to scorn The power of man, for none of woman born Shall harm Macbeth.
- Penampakan 3 : Macbeth shall never vanquish'd be until Great Birnam wood to high Dunsinane hill Shall come against him.

Macbeth juga bertanya tentang keturunan Banquo dan para penyihir itu menunjukkan serangkaian image wajah para raja yang mirip Banquo. Macbeth pun sadar bahwa keturunan Banquo memang akan menjadi raja, namun bukan di Scotlandia.

Macbeth pun menjadi tenang. Soalnya pria mana sih yang tidak dilahirkan oleh wanita? ? Dan bagaimana mungkin Hutan Great Birnam bisa bergerak? Ini kan bukan dunia Lord Of The Rings.
Satu-satunya yang perlu dia lakukan hanyalah memusnahkan Macduff dan keturunannya (which he did). Yah kecuali untuk Macduff yang saat itu sedang berada di Inggris.

Dan Macbeth pun melanjutkan tiraninya di Scotlandia sementara Lady Macbeth justru terkena depresi hebat dan merasa bersalah atas dosa-dosanya.

Lalu...bagaimana nasib Macbeth? Akankah ramalan para penyihir menjadi kenyataan walau pun ramalan itu terdengar mustahil bisa terwujud?
You have to find out by yourself :)

Saya senang memilih Macbeth sebagai plays pertama yang saya baca dalam rangkaian event "Let's Read Plays"-nya Mbak Fanda.
Kenapa?
Karena saya langsung mendapat kisah yang begitu seru dan bikin penasaran.

Sepanjang membaca, saya penasaran dengan ramalan ketiga penyihir tersebut. Saya penasaran mengetahui bagaimana Shakespeare bisa menciptakan "pria-yang-tidak-dilahirkan-dari-wanita" dan memindahkan sebuah hutan ke Dunsinane Hill?
Ato kalo Shakespeare tidak melakukan itu, bagaimana penyelesaian yang dilakukannya? Asli...saya penasaran banget.
Dan untunglah, Shakespeare memberi penyelesaian yang memuaskan bagi saya. Memuaskan dan gak ketebak :).

Menyorot karakter, ada 2 karakter yang menarik perhatian saya.

Yang pertama tentu saja Lady Macbeth. Wanita pada jaman itu adalah sosok yang penurut pada suami. Tapi Lady Macbeth justru sebaliknya. Ambisi besar dan "tantangannya" pada Macbeth lah (dengan menantang harga diri suaminya sebagai pria) yang membuat Macbeth terdorong untuk membunuh Raja.

Lady Macbeth bahkan cukup tegar untuk melanjutkan pembunuhan di saat Macbeth tak sanggup. Namun anehnya, Lady Macbeth juga lah yang pertama merasa depresi dan bersalah atas semua kejahatan yang dilakukannya. Rasa bersalahnya begitu besar hingga menyeretnya dalam kegilaan dan mengakhiri hidupnya.
Karakter Lady Macbeth yang kontradiktif ini salah satu yang membuat saya tertarik membaca terus.

Karakter kedua adalah tiga penyihir. Yang bikin saya tertarik sama karakter ini sih karena gak pernah ada penjelasan latar belakang dan tujuan mereka. Rasanya saya melihat lirik lagu Letto yang "Kau datang dan pergi oh begitu saja" diinterpretasikan dengan baik oleh mereka.

Dan ramalan tiga penyihir ini bikin saya jadi bertanya :
- Apakah mereka menceritakan masa depan? Ato mereka lah penentu masa depan?
- Apakah sudah takdir Macbeth akan membunuh Duncan atau Macbeth membunuh Duncan justru karena mendengar ramalan tersebut?
- Dan apakah tiga penyihir memang hanya karakter tambahan ato justru merekalah mastermind kisah Macbeth?

Such interesting questions for me,but there's no way to find the exact answer.



Sunday, August 19, 2012

The Missing Piece

Data Buku :
Judul : The Missing Piece
Penulis : Shel Silverstein
Hardcover, 112 pages
Published : April 14th 1976 by HarperCollins
ISBN : 0060256710  
ISBN13: 9780060256715

Warning : Contain Huge Spoiler

Sebelumnya maaf ya, review ini emang kudu spoiler. Karena saya gak menemukan cara untuk bercerita tentang buku ini tanpa memberi spoiler. Dan berhubung buku ini emang ceritanya dikit, maka yah...bercerita sedikit tentang buku ini pun sudah jadi spoiler.

Saya ini penggemar berat buku anak, jauh sebelum saya suka genre lain. Terutama children books yang ditulis dengan unik dan witty.
Buku anak yang saya maksud di sini tuh bukan yang karangan Enid Blyton ato Astrid Lindgren ato Roald Dahl (walau pun saya juga suka karya mereka sih). Tapi lebih ke buku anak yang buat anak TK - kelas 1 SD. Jadi emang tipe novel grafis.
Dan yang paling saya suka adalah buku anak yang ditulis dengan unik dan witty.

Dari semua penulis buku semacam itu, Shel Silverstein adalah favorit saya (yaaa selain Dr. Seuss sih). Kata-katanya indah, puitis tapi gampang dicerna, artworknya simpel dan gak ngeribetin. Lalu makna dibalik ceritanya itu bagus-bagus.

Nah salah satu karya dia yang paling saya suka itu duologi Missing Piece ini.

Buku pertama yang judulnya "The Missing Piece" menceritakan tentang sebuah lingkaran yang kehilangan satu "piece" dari dirinya. Kehilangan satu "piece" aja ternyata berpengaruh, karena dia gak bisa menggelinding dengan lancar. Maka dimulailah perjalanan sang lingkaran untuk menemukan bagian yang hilang.

Perjalanan itu gak mudah. Dia bertemu dengan "piece" yang kekecilan, berikutnya malah yang kebesaran. Pernah juga dia bertemu dengan "piece" yang pas, tapi karena gak dipegang dengan kuat eh terlepas lah "piece" itu. Dan si lingkaran pun terus mencari. Sambil mencari, dia menikmati petualangannya; bermain dengan lebah, becanda dengan bunga, bernyanyi, sampai ngerasain jatuh ke lubang.

Hingga suatu hari, dia bertemu dengan "missing piece"nya.
Awalnya si lingkaran bahagia, dia merasa hidupnya utuh. Tapi belakangan dia sadar, karena bisa menggelinding dengan lebih cepat, dia gak punya waktu untuk menikmati alam sekitarnya. Dia juga gak bisa bernyanyi karena mulutnya ketutupan si "missing piece" ini.

Jadi akhirnya dia memutuskan untuk melepaskan satu "piece" itu dan kembali menikmati dunianya.

Ketika pertama membaca buku ini, saya sempat gak puas.
Jiwa idealis saya protes : "Ih...kan dia udah dapat yang dia cari. Kok masih gak puas aja?"
Apalagi kalo mau dipikirkan, si lingkaran itu bisa dianalogikan dalam hidup. Kita merasa hidup ini kurang lengkap, makanya kita mencari "missing piece" kita, our "significant other".
Tapi ternyata, setelah ketemu, malah merasa seperti kehilangan kebebasan. Apa penulisnya mau mengajarkan bahwa lebih baik hidup sendiri tanpa orang lain?
Nilai macam apa yang mau diajarkan ke anak-anak?

Tapi ternyata kalo anak membaca buku itu memang sebaiknya didampingi orang tua ya. Karena membacanya sekarang, saat saya sudah mengerti, saya mendapat persepsi yang beda. >.<
Buku ini memang bercerita tentang hubungan manusia.
Contohnya waktu lingkaran menemukan "piece" yang cocok, tapi karena gak dipegang erat, "piece" itu pun terlepas. Kadang kita juga gitu kan? Kita menemukan orang yang (mestinya) cocok, tapi karena gak kita jaga ya lepas gitu aja.
Lalu saat lingkaran menemukan "piece" yang cocok, dia malah merasa jadi terlalu terikat, kehilangan identitas, dan terbebani. 
Menurut saya, Silverstein ingin memberi tahu bahwa terkadang hubungan yang kita pikir akan sempurna, tidak selalu berjalan sesuai perkiraan. Dan mungkin, kebahagiaan justru terletak dalam perjalanan kita mencari si "The One" itu.

Dan endingnya?
I love the ending.
Menurut saya, keputusan si lingkaran untuk melepas si "piece" dan kembali menikmati harinya seperti semula, itu sangat tepat.
Kalau sesuatu yang kita khayalkan ternyata tidak sesempurna impian, maka jangan takut untuk melepasnya. Lebih baik hidup dalam kebahagiaan walau pun tidak sempurna, daripada berkeras mempertahankan khayalan semu padahal tertekan.
Endingnya juga realistis menurut saya.
Banyak orang yang mengejar impiannya dengan menggebu-gebu, tapi pada akhirnya menyerah. Entah karena dia sudah mencoba terlalu sering dan selalu gagal ato karena putus asa.

But you know what's the best part of this book in my opinion?
It's because Silverstein used an open ending. He didn't write what the circle were thinking. He only drew what the circle did (letting go the piece and back to chasing butterfly). He let the readers interprete its gesture. He let us decide whether the circle really gave the piece up or it just put the piece there for a while and later gonna take it back.
Me, in my opinion, I choose to believe that the circle didn't give up his dream. It only paused it for a while to have fun. :)

Such an inspiring book. I give it 4,5 stars. Why 4,5 instead of 5 stars?
Because it's hard for kids to understand it.

Btw sayangnya saya gak nemu downloadan buku ini (padahal dulu ada lho, saya sempat punya versi downloadnya di laptop lama).
Tapi saya nemu link youtube-nya. Dan disitu pun udah lengkap.
Saya benar-benar menyarankan untuk nonton youtube-nya. Apalagi background song-nya itu Kiss The Rain dari Yiruma (pianis favorit saya). Lagu itu pas banget menggambarkan perjalanan si lingkaran.
Mungkin aja anda gak suka bukunya, tapi saya yakin deh anda bakal suka lagunya :)

So...go watch it



Ato kalo mo nonton langsung di youtube, bisa : click here

Monday, January 16, 2012

Graceling

Judul asli : Graceling
Author : Kristin Cashore
Penerjemah : Poppy D Chusfani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 496
Published : December 2011
ISBN 13 : 9789792278224

Graceling adalah cerita tentang Katsa yang mampu membunuh orang hanya dengan tangan kosong sejak dia berumur 8 tahun.
Katsa tinggal di dunia 7 kerajaan, di mana sangat jarang terjadi, ada orang dilahirkan dengan keterampilan  ekstrim yang disebut Graceling. Para Graceling ditakuti sekaligus  dimanfaatkan di dunia itu. Tidak terkecuali Katsa, yang diperintahkan untuk melakukan pekerjaan kotor (penyiksaan dan hukuman) untuk pamannya, Raja Randa dari Middluns.

Sampai dia bertemu Po, seorang asing yang misterius, yang juga Graceling Petarung dan orang pertama yang berani menantangnya berkelahi.

Dengan segera, Po dan Katsa bersahabat erat dan menemukan kenyataan tentang kemampuan Graceling mereka yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya, juga kenyataan tentang satu sama lain dan tentang bahaya mengerikan yang menyebar perlahan-lahan dan dapat menghancurkan 7 kerajaan. Berdua, Katsa dan Po berusaha mengalahkan si sumber bahaya. Walau tak akan mudah, karena kali ini musuh mereka mempunyai bakat yang begitu kuat hingga dapat mengalahkan Katsa.
“When a monster stopped behaving like a monster, did it stop being a monster? Did it become something else?”
-Katsa-
Saya adalah orang yang visual. Karenanya, membaca cerita berlatar sebuah dunia fiktif sejujurnya melelahkan. Sebelum membaca, saya akan menghafal letak para negara di peta dunia fiktif tersebut, termasuk letak sungai dan gunung. Lalu sepanjang membaca buku, setiap kali si penulis mendeskripsikan dunia karangannya, saya turut mengkhayalkan sampai ke bagian terkecil, juga turut melirik peta yang dibuat pengarang demi mengecek apakah khayalan saya sudah sesuai.
Melelahkan bukan?

Bagusnya, dengan Graceling saya tak mengalami masalah serupa. Selain karena peta yang simpel, pemilihan nama-nama kerajaan juga memudahkan saya dalam mengingat letak masing-masing negara. Contohnya saja kerajaan Estill yang terletak di timur (east), Sunder di selatan (south), Nander di utara (North), Wester di barat (west) dan..coba tebak kerajaan apa yang terletak di tengah? Yap...Middluns alias middle. Ini artinya, 1 point untuk dunia 7 kerajaannya Graceling.

Point kedua terletak di karakterisasi para tokoh.
Katsa itu mandiri, ganas dan kuat secara fisik, bahkan lebih kuat daripada Po.
Bagusnya, Po tak berkecil hati karenanya. Po tak terintimidasi dengan bakat Katsa. Dia juga sangat memahami jiwa Katsa dan karenanya membiarkan Katsa melakukan apa pun selama Katsa bahagia. Baginya, Katsa adalah kucing liar yang hidup bebas di alam. Dan tak ada yang boleh merubah itu, bahkan tidak juga Po. Terharu waktu Po bilang : "Aku akan menyerahkan diriku kepadamu tidak peduli kau ingin aku menjadi apa."

Dan Katsa, walau pun secara fisik dia lebih kuat, namun secara mental, dia lebih rapuh daripada Po. Katsa butuh Po untuk mengajarkan bahwa monster sekali pun pantas dicintai dengan tulus. Katsa juga butuh Po untuk menenangkan hatinya yang resah dan sebagai rumah untuk pulang kapanpun dunia terasa melelahkan.
Chemistry yang seperti ini di antara mereka meyakinkan saya bahwa Katsa dan Po memang soulmate.

Karakter sekunder seperti Bitterblue dan Raffin juga menarik. Cashore menggambarkan Bitterblue sebagai gadis cerdas dengan kebijaksanaan melebihi anak umur 10 tahun pada umumnya. Gak wajar sih tapi bisa dimaklumi mengingat kondisi lingkungan yang menuntutnya untuk dewasa lebih cepat. Raffin, sepupu Katsa dan calon raja Middluns, juga karakter yang saya sukai. Sayangnya Raffin kurang berperan disini. Semoga di buku berikutnya (Bitterblue), Cashore memberi porsi lebih pada Raffin.
"I know you're teasing me. And you should know I'm not easily humiliated. You may hunt for my food, and pound me every time we fight, and protect me when we're attacked, if you like. I'll thank you for it."
-Po-
Dua point ini saja sudah membuat saya betah membaca Graceling walau pun buku ini sebenarnya bermasalah dengan alurnya yang lambat.
Adegan pembukanya seru, pembaca langsung disuguhi dengan Katsa yang sedang beraksi. Lalu perkenalan dengan Po dan ketertarikan instan di antara mereka. Dan alur yang berjalan cepat ini tetap dipertahankan sampai Po dan Katsa bertemu lagi.

Dari situ, adegan bergulir lambat. Cashore berlama-lama menggambarkan pergulatan batin Katsa, juga lambat dalam membangun romansa Po dan Katsa, sampai membuat pembaca geregetan. Tapi setelah bersabar melewati, alurnya akan kembali cepat. Hingga tak terasa, sudah sampai di klimaks, kemudian adegan penutup. Pada adegan penutup, Cashore memberi twist pada ceritanya.
Dan baru saat itu, saya mengerti mengapa Cashore perlu berlama-lama di awal. Karena Cashore perlu membangun chemistry antar Katsa dan Po. Cashore juga perlu membangun rasa percaya yang kuat antar mereka berdua, hingga tak ada pembaca yang meragukan ketulusan janji Katsa dan keteguhan Po pada keputusan yang mereka buat di akhir cerita.
"I love you," he said. "You're more dear to my heart than I ever knew anyone could be. And I've made you cry; and there I'll stop.”
-Po-
Bagaimana dengan endingnya? Ah...it's bittersweet for me.
Gak rela Cashore menutup kisah Katsa dan Po dengan cara begitu. Sisi romantis saya menginginkan ending ala Cinderella dengan prinsip "live-happily-ever-after". But it would be so predictable. Dan itu bukan gaya Katsa. Dia bukanlah orang yang mau mengubah prinsipnya demi orang lain. Lagipula sekali pun Katsa bersedia, Po tak akan membiarkannya.
Di sisi lain ending itu juga sweet, karena menunjukkan kuatnya ikatan dan kepercayaan Katsa dan Po terhadap satu sama lain. Berapa jauhnya hubungan mereka berkembang dibandingkan awal cerita.

Dan ending yang seperti itu menggugah rasa penasaran saya pada kelanjutan nasib Katsa dan Po. Penasaran yang cukup besar hingga membuat saya berniat membaca Bitterblue (bagaimana pun ceritanya nanti), karena saya ingin melihat kelanjutan kisah Katsa dan Po. Toh Cashore sudah berjanji mereka berdua akan muncul lagi di Bitterblue.

Untuk terjemahannya, gak ada masalah sama sekali. Dari awal tahu kalau penerjemahnya adalah Poppy D Chusfani, saya sudah yakin gak bakal ada masalah. Saya juga suka covernya. Permainan warna ungu dan jingga di latar belakang serta ilustrasi gadis perkasa di cover depan terasa "kena" untuk cerita ini.
"One man loves you wholeheartedly. He follows you around like a shadow everyday
That man is laughing though inside he's crying.
That man has many stories that he can't even tell his best friend. That's why that man
love you, because you are just same as him."
Hyun Bin - That Man
Itu adalah lagu yang terus bermain di benak saya saat membaca bagian pertama buku ini. Dan di ending, justru lagu Breathless-nya Better Than Ezra-lah yang mengalun. Ah senang sekali. Sudah lumayan lama sejak terakhir saya ketemu buku yang "bernyanyi".

Untuk ini semua, saya kasih 4 bintang untuk Graceling. Karena banyak novel fantasi bagus di luar sana, tapi tak banyak dari mereka yang bernyanyi. Ditambah setengah bintang untuk terjemahan dan cover-nya.

"I thought you'd want to know. 
That when you feel the world is crashing, all around your feet
Come running headlong into my arms"

Better Than Ezra - Breathless

Sunday, October 30, 2011

Bola Bola Mimpi

Kali ini, saya bikin review yang beda dari biasanya. Saya gak bakal bahas plus dan minus-nya buku ini, gak bahas cover atau gaya penerjemahannya. Saya cuma akan memberi cuplikan buku ini, supaya anda bisa menilai sendiri apakah buku ini layak dibaca atau enggak :).

Alasan saya memberi cuplikan saja karena saya perhatikan entah di forum atau twitter, makin banyak aja yang mengeluhkan kondisi negara ini. Di satu sisi, mengeluh itu bagus sih. Itu tandanya kita belum puas, dan karenanya diharapkan berusaha untuk memperbaiki negara ini.
Tapi...kok saya melihatnya sepertinya kita terlalu banyak mengeluh, hingga lupa bersyukur ya?
Karena itu di bawah ini, saya memberi potongan dari novel karya Elizabeth Laird (saya selalu suka novel2 dia. Humanis banget ceritanya). Novel ini berjudul A Little Piece of Ground atau Bola Bola Mimpi dalam versi Indonesia.

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Karim duduk di ujung tempat tidurnya. Kepalanya dikelilingi sekumpulan poster sepak bola yang menempel di dinding. Dahinya mengerut saat membaca selembar kertas di tangan.

Sepuluh hal terbaik yang aku inginkan dalam hidupku, tulisnya, oleh Karim Aboudi, Apartemen Jaffa 15, Ramallah, Palestina.

Di bawahnya, dengan tulisan tangan terbaik, Karim menulis:
1. Pemain sepak bola terbaik di dunia.
2. Keren, populer, ganteng, dengan tinggi minimal 1,90 meter (yang jelas lebih tinggi dari Jamal).
3. Pembebas Palestina dan pahlawan nasional.
4. Pembawa acara televisi dan aktor terkenal (yang penting terkenal).
5. Pencipta game komputer terbaik sepanjang masa.
6. Jadi diri sendiri, bebas melakukan semua yang aku suka tanpa diawasi terus-terusan oleh orangtua, kakak, dan guru-guruku.
7. Penemu formula asam (untuk menghancurkan baja yang digunakan dalam persenjataan, tank, dan helikopter milik Israel).
8. Lebih kuat dari Joni dan teman-temanku yang lain (ini tidak terlalu berlebihan).

Karim berhenti sambil menggigiti ujung bolpoinnya. Dari kejauhan, bunyi sirene ambulans meraung melintasi udara siang. Karim mendongakkan kepala, lalu memandang keluar jendela. Matanya yang besar dan hitam, menatap tajam dari bawah rambut hitam lurus yang membingkai wajahnya yang kurus kecoklatan.

Karim mulai menulis lagi.

9. Hidup. Kalaupun harus tertembak, hanya di bagian-bagian yang bisa disembuhkan, tidak di kepala atau tulang belakang, insya Allah.

10. …


Karim berhenti di nomor sepuluh. Dia memutuskan untuk membiarkannya kosong, siapa tahu ide bagus menclok di kepalanya nanti.

Karim membaca ulang tulisannya sambil duduk dan mengetok-ngetokkan ujung bolpoin ke kerah kemeja wol bergaris-garis, lalu mengambil selembar kertas baru. Kali ini, dengan lebih cepat, dia menulis:

Sepuluh hal yang tidak aku inginkan:
1. Tidak jadi pemilik toko seperti baba.
2. Tidak jadi dokter. Mama terus-terusan maksa aku jadi dokter. Padahal, mama tahu kalau aku benci darah.
3. Tidak pendek.
4. Tidak menikah dengan perempuan seperti Farah.
5. Tidak tertembak di punggung dan duduk di kursi roda seumur hidup seperti salah satu teman sekolahku.
6. Tidak jerawatan seperti Jamal.
7. Tidak dihancur-ratakan (maksudnya rumah kami) oleh tank Israel dan mengungsi ke tenda kumuh.
8. Tidak harus sekolah.
9. Tidak hidup dalam penjajahan. Tidak dicekal terus-terusan oleh tentara Israel. Tidak takut. Tidak terjebak di dalam rumah atau gedung.
10. Tidak mati.

Karim membaca ulang tulisannya. Seperti ada yang kurang. Dia yakin, ada yang terlupakan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tokoh utama di buku ini adalah Karim Aboudi, seorang anak Palestina biasa yang tinggal di Ramallah, yang saat itu sedang dalam pendudukan Israel.

Nantinya, diceritakan tentara Israel memberlakukan jam malam. Saat diberlakukan jam malam itu, Karim terjebak di dalam sebuah mobil tua yang berada di "a little piece of ground" yang biasa jadi tempat dia bermain bola. Saat dia berusaha melarikan diri dari situ untuk sampai ke rumahnya, dia tertembak. Seperti yang dia harapkan, dia gak tertembak di bagian vital. Dia tertembak di bagian kaki & kakaknya Jamal berhasil membawanya ke rumah sakit. Di bawah ini adalah kutipan lain dari buku yg sama (hal. 264-265)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

“Pagi yang luar biasa panjang merangkak pelan. Terkadang, Karim berusaha tidur, tapi tidak pernah berhasil. Dia mencoba membuat permainan baru, merangkai cerita, dan melamun. Saat itu, dia teringat kembali pada daftar yang dibuatnya, pada segala hal yang ingin dia lakukan dalam hidupnya. Kapankah itu, beberapa minggu yang lalu? Tapi rasanya paling sedikit seperti setahun yang lalu. Karim coba mengingat-ingat apa saja yang telah ditulisnya.

Semua itu, pikirnya, semua yang pernah kuimpikan – membebaskan Palestina, menjadi pemain bola, menciptakan game computer, menjadi penemu – semuanya sampah.

Karim ingat, daftar itu belum selesai. Ada satu lagi yang perlu ditambahkan agar bisa lengkap jadi sepuluh. Sekarang dia tahu. Setelah mengalami semua kejadian ini, cuma ada satu hal yang paling dia inginkan.

Menjadi orang biasa, gumam Karim. Hidup sebagai orang biasa di negeri biasa. Di negeri Palestina yang merdeka. Tapi itu nggak bakal berhasil. Mereka nggak bakal memberikan apa yang menjadi hak kami.
________________________________________________________________________________

Dan tidakkah kamu bersyukur, tinggal di Indonesia yang merdeka? Dimana kamu bebas keluar malam, bebas merancang mimpimu setinggi langit dan bebas berpendapat?

Tidakkah kamu bersyukur hidup sebagai orang biasa di negeri biasa?

” Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS Ar-Rahmaan)


Data buku:
Judul Asli : A Little Piece of Ground  
Penulis : Elizabeth Laird
Jumlah Halaman : 324
Penerbit : PT Mizan Pustaka
ISBN : 979-3828-01-3

Thursday, October 27, 2011

Jika Aku Tetap Disini

Judul Asli : If I Stay
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa : Poppy D. Chusfani
Editor : Dini Pandia
Publish : 8 Februari 2011



“I realize now that dying is easy. Living is hard.” 
-Mia Hall- 

Buku ini bercerita tentang Mia, seorang pemain Cello berbakat berumur 17 tahun. Kehidupan Mia normal saja dengan keluarga yang harmonis dan pacar yang menyayanginya.
Masalah terbesar Mia dalam hidup adalah memutuskan apakah dia akan ke New York demi mengejar mimpi masuk Juilliard atau tetap tinggal di kota kecilnya bersama keluarga dan pacar tercinta. Should she stay or should she leave?

Di suatu hari bersalju, kehidupan Mia berubah. Kecelakaan naas menimpa mobil yang ditumpangi keluarga Mia. Mia tak tahu pasti apa yang terjadi. Yang dia tahu, sewaktu sadar, dia melihat kedua orang tuanya dalam kondisi mengenaskan dan adiknya entah dimana. Berikutnya, Mia (ato lebih tepat: rohnya Mia) melihat tubuhnya dibawa ke RS hingga masuk ICU. Dia koma dan tak ada yang tahu, apakah dia akan sadar lagi atau tidak.
Dan pertanyaan yang dihadapi Mia tetap sama : Should she stay or should she leave?
"Well, what was that? What's that sound that I hear? It's just my lifetime. It's just whistling past my ear. And when I look back everything seems smaller than life. The way it's been for so long since last night..."
-Waiting for Vengeance-
Novel ini diambil dari sudut pandang Mia hingga rasanya benar-benar seperti Mia sendiri yang bercerita kepada kita. Sambil turut mengawasi fisik Mia yang sedang dirawat dan melihat para penjenguknya, dalam sehari itu Mia juga akan bercerita pada kita tentang keluarganya, Adam (kekasihnya) dan kecintaannya pada musik klasik. Juga pada dilema yang dihadapi Mia untuk tetap tinggal atau pergi. Sebagai pembaca, tentu saja sejak awal saya berharap dia tinggal, namun melalui penuturan Mia, saya paham jika dia ingin pergi.
Tenang...walau pun cerita di novel ini tragis, tapi gak mellow kok. Anda akan merasa terharu pada Mia, tapi gak akan sampai meratapi nasibnya ;).

Menurut saya, tema terbesar di buku ini bukanlah tentang hidup dan mati. Tapi tentang pilihan-pilihan yang kita hadapi sepanjang hidup. Dan bukan hanya Mia.
Di buku ini, ada beberapa karakter yang hidupnya berjalan tidak sesuai dengan yang diniatkan pada awalnya. But that's okay. Cause that's life. Not everything could goes the way you've planned it. Ucapan Ayah Mia cukup mewakili tema buku ini : "Sometimes you make choices in life and sometimes choices make you."
“And that's just it, isn't it? That's how we manage to survive the loss. Because love, it never dies, it never goes away, it never fades, so long as you hang on to it."
-Mia Hall-
Salah satu hal yang paling saya suka dari buku ini, adalah karakternya yang realistis. Disini gak ada cowok 'vampir-romantis-rela-berkorban', gak ada juga cowok 'miliuner-namun-enggan-berkomitmen' ato pria bangsawan nan angkuh. Yang ada hanya Adam, anak band biasa saja yang mencintai Mia dengan tulus.
Gak ada cewek menye-menye yang egois, gak ada lady yang cantik namun miskin, atau gadis cerdas tapi sok tahu. Yang ada cuma Mia, siswa dengan prestasi akademis biasa saja dan 'rada' serius yang pas untuk anak pendiam sepertinya.

Dan semua karakter yang realistis ini membuat kita merasa kenal pada Mia dan bersimpati karena merasa bahwa apa yang menimpanya dapat juga menimpa kita.
 “I'm not sure this is a world I belong in anymore. I'm not sure that I want to wake up.”
-Mia Hall-
Minus di buku ini?
Kurang tebal, kurang banyak :D.
Awalnya saya juga protes tentang ending-nya. Soalnya kok ya gitu aja. Setelah kita tahu apa keputusan Mia, langsung tamat ceritanya. Jadi kurang puas. Protes saya berakhir ketika tahu bahwa buku ini masih ada lanjutannya. Syukurlah :)
“It's okay if you want to go. Everyone wants you to stay. I want you to stay more than I've ever wanted anything in my life. But that's what I want and I could see why it might not be what you want. So I just wanted to tell you that I understand if you go. It's okay if you have to leave us. It's okay if you want to stop fighting."
-Gramps-
Dari segi cover, saya suka banget dengan cover buku ini. Sebuah bangku merah dengan latar belakang musim dingin yang kelabu. Suasana hening dan muram dalam buku ini sangat terwakilkan oleh covernya. Saya sudah melihat macam-macam versi cover If I Stay dari berbagai negara, dan tetap saja paling suka dengan versi cover Gramedia.

Untuk terjemahan, waktu saya membaca buku ini dalam bahasa aslinya, menurut saya suasana yang cocok untuk mendapatkan 'feel' buku ini adalah : cuaca dingin, berlindung di balik selimut, ditemani Pathetique Sonata-nya Beethoven atau Ballad no 1-nya Chopin.

Lalu kalau gak punya itu semua gimana?
Gak masalah kok :).
Saya membaca buku versi terjemahan GPU saat liburan ke Belitung, di pinggir pantai yang panasnya 'naujubile' dan berisik banget. Yang terjadi adalah saya lupa dengan panas di sekitar dan sonata-nya Beethoven serta Chopin terus bermain di kepala saya.

Kok bisa?

Jelas bisa-lah. Saya juga gak terlalu paham. Tapi ada sesuatu dalam bahasa terjemahan GPU yang mampu membuat suasana dingin dan hening di buku menjadi terasa nyata. Versi terjemahan GPU juga bisa menyampaikan kesedihan dan keharuan yang dituliskan Gayle Forman.

Salut buat penerjemah, editor, ilustrator cover, proofreader (ada gak sih?) dan semua pihak di GPU yang bisa menghidupkan buku ini sebagus yang dituliskan Forman. You guys really did a very good job :).

Akhir kata, saya merekomendasikan buku ini sebagai bacaan wajib. Saya gak bisa janji bahwa anda akan merasa tersentuh atau terharu seperti saya. Tapi saya bisa jamin, anda gak akan menyesal meluangkan waktu dan dana untuk membacanya karena buku ini benar - benar layak dibaca :).

Empat bintang untuk If I Stay versi US dan 4,5 bintang untuk versi terjemahan GPU (setengah bintang khusus untuk cover-nya yang cantik).

PS : Menurut berita sih, buku ini akan difilmkan dengan Dakota Fanning sebagai Mia. Yeaayy...gak sabar nunggunya. Fanning salah satu aktris favorit saya (^_^)

Quote of the book:
“If you stay, I'll do whatever you want. I'll quit the band, go with you to New York. But if you need me to go away, I'll do that, too. I was talking to Liz and she said maybe coming back to your old life would be too painful, that maybe it'd be easier for you to erase us. And that would suck, but I'd do it. I can lose you like that if I don't lose you today. I'll let you go. If you stay.”
-Adam Wilde-