Showing posts with label 2 bintang. Show all posts
Showing posts with label 2 bintang. Show all posts

Thursday, September 19, 2013

I Too Had A Love Story

Data Buku :
Judul : I Too Had A Love Story
Penulis : Ravinder Singh
Penerbit : Penguin Metro Reads
Tahun Terbit : 2012
ISBN : 9780143418764
Bahasa : Inggris
Paperback, 206 pages
Rating : 2 stars out of 5

Selama trip ke India kemarin, ada 2 buku lokal yang paling sering saya lihat penampakannya dan selalu masuk di daftar best seller tiap toko buku yang saya datangi. Buku itu adalah shiva trilogi dari Amis dan dwilogi Love Story dari Ravinder Singh ini.

Awalnya sih saya gak tertarik sama buku ini (abis covernya jelek banget #eaa), tapi setelah berkali-kali ditawarkan di tiap toko yang saya masuki (ampe lapak buku bekas pinggir jalan juga nawarin lho), dan  karena dapat harga diskon (IDR 30K untuk 2 buku) akhirnya iman saya luluh juga #halah.

Baru saat baca buku ini saya ngeh kalo ini  adalah kisah nyata (makanya baca blurb, wi!). Berkisah tentang Ravi (penulis buku ini), seorang pekerja IT yang mapan dan berasal dari keluarga baik-baik. Apa yang kurang dari hidup dia? Apalagi kalo bukan istri. Di India sana (sama kayak di Indonesia sih) adalah perkara besar bila seorang sudah mapan tapi masih single. Masalah Ravi bukan karena standarnya ketinggian (beneran, syarat dia hanyalah calon istrinya harus orang Punjab juga), tapi karena kerjaan yang sibuk gak memungkinkan dia bersosialisasi. Gimana mo dapat pacar kalo kayak gitu?

Seorang sahabat menyarankan Ravi untuk mencoba situs matrimony. Setelah beberapa kali mencoba dan gagal, bertemulah dia dengan Kushi.
Kushi tampak seperti jawaban semua doa Ravi. Dia cantik, berwawasan luas, dari keluarga baik-baik, bisa mengerti kesibukan Ravi, orang Punjab pula. Dan yang paling penting, Kushi bisa nyambung dengan apapun topik pembicaraan Ravi. They really were a match made in heaven.

Perkenalan itu dilanjutkan masa pacaran yang singkat. Ravi dan Kushi mantap untuk menikah, kedua keluarga pun merestui. Lamaran resmi sudah dilakukan, jumlah mahar disetujui, tanggal pernikahan ditetapkan, gedung sudah dipesan, undangan sudah disebar.

Namun sayangnya....semua persiapan itu tak bisa dieksekusi. Kecelakaan yang dialami Kushi membuyarkan semua rencana dan meninggalkan Ravin terpuruk dalam kenangan (bahasa gw sok mellow banget ya? Iya emang). Dan pada akhirnya, kenangan itulah yang menggerakkan Ravin menulis buku ini.
“NOT everyone in this world has the fate to cherish the fullest form of love. Some are born ,just to experience the abbreviation of it.”
Dilihat dari judulnya aja udah ketebak sih ya gimana ending buku ini. Jadi dari sejak awal memang fokus saya bukan gimana ending buku ini, tapi gimana jalan cerita yang terbentuk juga gaya bertutur penulisnya.
Dan tentang kedua hal itu, yah.....#garukpala

Soal jalan ceritanya sih...emang bener yang dibilang kebanyakan reviewer di Goodreads. Membaca interaksi Ravin dan 3 sahabatnya di awal buku rasanya kayak baca buku Five Point Someone ato One Night @ the Call Center -nya Chetan Bhagat. Itu lhoo...cerita tentang 3-4 orang anak teknik (techie) yang bersahabat, yang juga jadi inspirasi untuk film India nan femes 3 Idiots.
Dan setelah fokus cerita berpindah ke hubungan Ravin dan Kushi...yaelaahh....rasanya kayak "baca" film Bollywood banget.

Ravin dan Kushi tuh tipikal pasangan ideal ala film Bollywood deh. Keduanya sukses, dari keluarga yang sederajat dan selama pacaran juga bisa dibilang hubungannya mulus-mulus aja. Kesalahpahaman yang umum timbul pada pasangan LDR? Oho...gak ada di sini.
Belum lagi instalove yang kerasa banget. Saya bukan orang India, jadi saya gak tahu apakah di sana emang umum jatuh cinta sama orang yang cuma dikenal lewat korespondensi selama 3-4 bulan. Dan rasanya gak wajar deh bagi sebuah keluarga untuk menyetujui pilihan putra/putri mereka sebelum ketemu langsung.
Hubungan Ravin dan Kushi yang tanpa konflik ini rasanya seperti utopia buat saya.

But hey....ini kan memoar ya. Kisah nyata hidup seseorang. Dan saya pernah janji gak bakal mempertanyakan kesahihan sebuah memoar, gak peduli seabsurd apapun ceritanya.

Mengenai gaya bahasa....aduhhh....gaya bahasanya mentaah banget. Kayak baca diary remaja yang baru jatuh cinta. Belum lagi penggunaan kata yang repetitif. Entah berapa puluh kali saya baca kalo Kushi itu "beautiful", "stunning" dan Ravin "loves her so much". Juga bahwa Kushi itu "love of his life". Ampe rasanya pengen bilang : "Iyaaa...udah tahu. Loe udah ngomong gitu berkali-kali."
Ato memang buku ini bermula dari diary Ravin yang kemudian dipublish jadi buku? Sangat mungkin sih. Dan somehow saya curiga di versi diary-nya itu penulisan nama Kushi selalu disertai dengan symbol love macam diary ABG alay #ups #nyinyirdetected.
"And I'll tell you what this loneliness feels like, what it feels like to live a life without the person you loved more anyhing in the world :
Recalling something about her, you happen to laugh and in no time, sometimes even as you laugh, you taste your own tears." (page 192)
But hey, I've been in Ravin's shoes once. I do know how it feels to lose someone; and how all your dreams and hopes were gone with that said loved one in a blink of an eye.
So I could understand his mushiness and grievings. Yep I know what some people think about that. To them, it looks like he was exaggerating since he's not the only one who loose his loved one, and none of them as sentimental as he was.
Well actually almost (if not all) people who lost someone the way Ravin did got it as bad as he was.  We need a space and time to pity ourselves. To grieve for what we've lost, the space to vent all our sadness, frustation and longing. That said space also can be used to put down our happy memories about that lost one, so that we can always cherish and reminisce it when the going gets tough. Many people got that space by writing diary or talking to a bestfriend. Apparently Ravin chose to write a book about that and share it to the world.
"The day passes in an effort to laugh and to be happy by any means." "I have learnt to wear a fake smile. It's very difficult, but it makes my family feel that I am getting better." (page 195-196)
Kalo anda penyuka berat novel romance yang mellow, saya rasa anda bisa mencoba baca buku ini. Walo jelas, jangan ngarepin cerita yang "deep" ato "life changing". Nikmati aja sebagai bacaan ringan yang membawa memori hangat cinta remaja (???) dan sedikit menggugah emosi. Yep...buat saya level buku ini emang cuma menggugah, belum sampai mengharu biru apalagi mengaduk-aduk perasaan.

In short, for me "I Too Had A Love Story" isn't a bad book. It's just an okay read for me. Thus came those 2 stars as the rating.

Monday, June 03, 2013

Harry Potter & Order of Phoenix

Data Buku :
Judul: Harry Potter and the Order of Phoenix
Penulis : JK Rowling
Penerbit : Bloomsburry Publishing LPC
Paperback, 766 pages
Published : November 1st 2010Rating : 2 out of 5 stars
Tak diragukan lagi tahun kelima Harry Potter bersekolah di Hogwarts merupakan tahun yang sangat penting. Kini ia berusia lima belas tahun, dan sebagai remaja ia mengalami gejolak masa muda yang mengubah beberapa sifat dasarnya. Ia akan menjalani ujian OWL yang menegangkan, yang menentukan akan jadi apa dirinya setelah lulus. Ia sering sekali bertengkar dengan Cho, sehingga bukan tidak mungkin hubungan mereka putus. Dan ketika ia berkelahi dengan Draco Malfoy, peranannya sebagai Seeker tim Quidditch Gryffindor terancam. Semua ini membuat Harry begitu nelangsa, sehingga untuk pertama kalinya ia ingin sekali meninggalkan Hogwarts. Di tengah semua kegalauan itu, Lord Voldemort dengan kekuatan sihirnya yang luar biasa terus-menerus menghantui Harry. Tanpa henti Pangeran Kegelapan menyiksanya melalui bekas lukanya, dan akhirnya memaksa Harry bertarung mati-matian melawan para Pelahap Maut. Dan puncaknya adalah ia harus menyaksikan kematian seseorang yang amat dicintainya...

Okeh...berhubung saya lagi kena reviewer's block (gaya bener, wi!), jadi singkat aja reviewnya.

Dari semua buku Harry Potter, buku ke-5 ini adalah least favorite buat saya. Doh...766 halaman dan hampir gak ada ceritanya. Inti buku ini tuh cuma mau menceritakan usaha Dumbledore yang menghidupkan kembali Orde of Phoneix (pasukan penentang Voldemort di masa lalu) demi melindungi Harry dan sebuah ramalan yang berkaitan dengan Harry & Voldemort. Udah...gitu aja intinya.

Tapi pembaca dibawa muter-muter gak karuan dengan segala konflik baru yang muncul di Hogwarts (yang mana gak berkaitan dengan konflik utama). Asli deehh...inti cerita ini tuh cuma ada di bab awal (sampe ke adegan perkenalan dengan Orde of Phoenix) terus bagian terakhir waktu mereka bertarung di kementrian. Sisanya? Gak lebih dari filler. Hih!

Di buku ini juga ada tokoh paling nyebelin yaitu Dolores Umbridge. You know apa yang paling nyebelin dari Umbridge selain kekejaman, kepo dan tukang ikut campurnya? Yang paling nyebelin adalah karena tokoh Umbridge gak punya signifikansi apapun dengan jalan cerita. Dia beneran diciptakan untuk memancing emosi dan sebagai filler aja. Tapi credit harus diberikan kepada Imelda Stanton yang sukses memerankan Umbridge. Deskripsi Umbridge tuh seperti ini :
"Dolores Umbridge is described to be a short, squat woman resembling a large pale toad. She had a broad, flabby face, a wide, slack mouth, and little neck. Her eyes were bulging and pouchy eyes, and in her mousy brown hair she often wore a black velvet bow, which reminded Harry of a fly perched dangerously above a toad" (source)

Coba liat Dolores Umbridge versi film. Emang mirip kodok ya....*ini pujian lho*


Tapi cuma soal pemilihan cast ajalah yang bisa dipuji dari film Harry Potter 5. Karena film HP 5 adalah film yang paling melenceng dan paling banyak dipangkas dari buku. Contohnya nih, adegan Mr. Weasley masuk RS karena diserang sewaktu menjalankan tugas Orde dihilangkan dengan sempurna dari film. Belum lagi (mungkin karena ceritanya yang kepanjangan) menonton film HP 5 tuh rasanya seperti menonton potongan-potongan adegan.
Ebentar....kok saya jadi melantur ke film sih? Sorry yaa...Can't help it.

Trus...trus...balik ke soal ramalan yang di-protect mati-matian sama Orde of Phoenix, saya kirain itu ramalan penting banget yang bisa mengguncang dunia kalo ampe bocor. Ealah....cuma gitu aja ramalannya? Gak ada pentingnya sama sekali dalam perkembangan cerita ke depan. Dan tidak juga menjelaskan beberapa misteri yang masih "gelap" bagi pembaca. Beneran deh, saya curiga Rowling kena writer's block waktu nulis buku ini dan gak tau ceritanya mo dibawa ke mana. Jadi aja 1 buku ini isinya filler semua. Coba deh buku 5 diilangin dari seri ini, gak akan ngaruh banyak.

Udah kayaknya cuma segitu aja yang mau saya komplen dari buku 5 ini (sebenernya sih karena gak tau mo nulis apa lagi).
Mengenai karakter Harry yang meledak-ledak di buku ini dan jadi keluhan banyak pembaca lain, buat saya sih gak masalah. Ngerti kok, umur segitu apalagi dalam kondisi Harry, emang masih umurnya gampang emosian. Apalagi Harry merasa dia yang paling tahu tentang Voldemort, paling berkepentingan pula secara dia jadi incaran utama Voldemort, wajar dong kalo dia harus dapat info paling up to date tentang Mbah Voldie. Toh...karena emosional dan gak sabarannya ini, Harry harus membayar mahal dengan kehilangan sosok yang dianggapnya sebagai ayah.


Friday, May 10, 2013

The Future of Our Past

Data Buku:
Judul : The Future Of Our Past (The Remembrance Trilogy #1)
Penulis : Kahlen Aymes
Penerbit : Telemachus Press
Tahun Terbit : 2012
Bahasa : Inggris
Rating : 2 out of 5 stars

Dari sejak Januari kemarin, progress bacaan saya berkurang sangat dratis *sigh*. Bukan karena saya bosan membaca, tapi karena saya menemukan keasyikan baru yaitu : membaca fanfic; ato lebih tepatnya : membaca fanfic Twilight. Huahahaha..... X)

Berkat hobi baru ini saya jadi tahu kalo ada banyak novel yang berawal dari fanfiction Twilight, bukan hanya Fifty Shades of Grey yang fenomenal itu. Oh iya...saya punya lho Fifty Shades of Grey dalam versi fanficnya #pamer (padahal bukan hal yang bisa dipamerkan juga). Sayangnya, hobi baru ini berakibat pada memprihatikannya progress berbagai reading challenge yang saya ikuti. Praktis gak ada reading challenge yang diupdate sejak bulan Februari 2013 (_ _").

Jadi...demi kemaslahatan umat (apa hubungannya?) dan terutama blog ini, saya pun beralih membaca novel - novel yang diangkat dari fanfiction. Salah satunya tentu saja novel ini. Lalu demi terciptanya review obkejtif yang berimbang dan gemah ripah loh jinawi (pret!), maka dengan kurang-kerjaan dan buang-waktunya saya memutuskan untuk baca cerita ini 2x yaitu dalam versi fanfiction dan versi novel.

Saya kasi sinopsis singkatnya dulu ya :
Julia dan Ryan udah bersahabat sejak awal masuk college. Diam-diam mereka saling suka, tapi gak ada yang mau ngaku. Klasiklah, masing-masing takut kalo ternyata ini cuma cinta sepihak dan akhirnya persahabatan mereka bakal awkward dan berakhir.
Tapi situasi status quo ini harus berakhir saat mereka udah selesai college dan keduanya mesti pindah ke kota yang berbeda demi mengejar impian.
Soon, they're forced to face the undeniable truth of their deeper feelings.
Lalu gimana kesan saya setelah baca 2x? Hmm...saya lebih suka versi fanfiction.
Salah satu keasyikan membaca fanfiction adalah karena para tokohnya familiar bagi pembaca. Saat penulis fanfic menyebut kedua tokohnya bernama Edward & Bella, tanpa perlu bersusah payah pembaca langsung bisa membayangkan karakter fisik Edward dan Bella beserta sifat mereka. Jadi penulis tak perlu berpanjang-panjang membuat karakterisasi. Sepertinya Ms. Aymes lupa pada hal kecil ini dan gak berusaha memberi character description (di luar fisik) yang lebih jelas pada tokoh-tokohnya di novel.

Fanfiction juga memudahkan penulis dalam hal chemistry. Yaa...bayangin aja, kalo penulis pake nama karakter seperti Edward dan Bella dalam ceritanya maka tanpa perlu berpayah-payah membangun romantisme, pembaca bisa membayangkan seberapa besar perasaan yang ada di antara kedua tokoh. Coba kalo nama tokoh diganti jadi Paijo dan Tukiyem, lalu di halaman pertama anda baca si Paijo gundah gulana karena bakal pisah sama Tukiyem tanpa ada latar belakang cerita, jatuhnya anda bakal bete sama Paijo kan?

Begitu jugalah yang terjadi pada novel ini. Saat nama tokohnya masih Edward, saya ngerti galaunya Edward waktu dia tahu bakal pindah ke Boston dan berpisah dengan Bella.
Tapi waktu nama tokoh berganti jadi Ryan, saya gagal paham kenapa Ryan kudu segitu emo-nya berpisah dengan Julia. Dan bukannya kasih adegan yang menunjukkan kuatnya chemistry Ryan dan Julia, penulis malah sibuk nunjukkin gimana Ryan dan Julia tenggelam dalam aura mellow dan depresi karena perpisahan mereka. *sigh*
Mbok ya penulisnya tunjukkin gitu lhooo apa sih point plusnya Julia sampe seorang Ryan (yang digambarkan ganteng buanget, tajir, dan pinter buanget -in short kualitas unggul-) ampe segitu termehek-meheknya sama dia.

Saya pikir ketika cerita bergulir sampe ke bagian Julia dan Ryan akhirnya jadian, bakal ada reaksi kimia baru yang terbentuk. Ternyata enggak doongg. Bukannya menciptakan scene yang cute dan romantic, penulis malah membuat kedua tokoh ini jadi sepasang sex-crazed rabbit yang pake batterai energizer sebagai sumber tenaganya (you know...the "bertahan lebih lama" tagline and "panjang dan lama" tagline *eh itu mah tagline choki-choki). Iya bener, hampir sepanjang adegan antara Ryan dan Julia itu kalo bukan whining soal kangennya, yaa adegan sex mereka. Boseen.

Padahal sementara mereka sibuk humping, saya juga sibuk mencari tahu apa yang bikin kedua orang ini segitu hornynya. Apa mereka menelan magnet yang menarik satu sama lain? IMO seandainya itu adegan dibikin Ryan humping sama Tukiyem dan Julia panjat-panjatan sama Paijo, feelnya bakal sama aja kok : Datar! Gagal banget deh chemistry-nya.
Dan saya pun jadi membandingkan dengan fanficnya (lagi). Again, kalo Edward dan Bella yang digambarkan sibuk humping each other sih saya kalem aja deh. Sedunia juga tahu kalo dua orang itu emang gak punya misi lain kok dalam hidup ini. #PardonMyCynism #I'mStillATwihardbyetheway #SeriouslyIAm #pfftt

Lalu penulisannya itu lhoo...repetitif sekaliii #tepokjidat. Dari narasi kedua tokoh juga saya tahu kalo mereka berdua saling cinta (buanget), haruskah dialog "i-love-you", "i-love-you-more" dan "i-love-you-most' diulang berkali-kali?  It's cute at first, tapi setelah lebih dari 10x baca dialog serupa rasanya jadi pengen teriak : "IYEEE....tauuu! Loe udah bilang tadii!".

Trus dialog lain yang ada di buku ini....ya alakazam...basi bangeeeetttttt. Keju yang udah kadaluwarsa setahun, dijemur di terik matahari Sahara dan direndam di lautan luka dalam pun masih kalah basi daripada dialog di buku ini.
- "Oh, babe, I fucking love you so much, it doesn't seem like I could love you more, but somehow I do every day..." ===> Okeh...ini mungkin sweet awalnya. Tapi setelah diulang 15x, yang ada saya eneg.
- “I love you, do you hear me? I can't breathe without you.” ===> Lalu selama 18 tahun sebelum ketemu dia, situ bernapasnya gimana?
- “You're so damn perfect you shouldn't even exist. Just...look at you.”===> Ini juga kalimat yang paling sering diulang. Dan lucunya, saya masih gagal ngeliat "perfect"nya sang kekasih itu di mana.

Ada satu lagi yang membuat versi fanfic lebih mending daripada novel, yaitu : jumlah halaman.
Jadi gini, kalo baca fanficnya di setengah bagian pertama emang soal happy time Ryan dan Julia saat mereka baru pacaran, jadi nuansanya light dan fluffy. Konflik utama yang (lumayan) seru itu baru muncul di setengah bagian akhir.
Di novel, kedua bagian ini dipisah dan masing-masing dijadikan 1 buku tersendiri. So saat baca buku pertama ini, yang didapat adalah cerita yang sangaaatt ringan dan dangkal tanpa konflik sedikit pun. Emang ngebosenin banget.
Untungnya sang editor cukup pintar dengan meninggalkan cliffhanger di akhir buku ke-1 yang berpotensi membuat pembaca (termasuk saya yang udah baca fanficnya) penasaran untuk lanjut membaca buku ke-2.

With that being said, then yep I'm gonna read the second book.
Di sisi lain, saya jadi mikir jangan-jangan emang baca fanfic itu lebih enak daripada baca novelnya? Jangan-jangan kalo saya baca versi fanficnya Fifty Shades of Grey saya malah bakal suka banget dan kasi 5 stars? Apa saya harus coba baca ya? #mikir

Monday, September 17, 2012

Mencoba Sukses

Data Buku:

Judul : Mencoba Sukses
Penulis : Adhitya Mulya
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2012
ISBN : 9797805131
Rating : 2 stars out of 5


Let me tell you a story...
Untuk beberapa orang yang sudah kenal saya di luar GR, mungkin udah eneg baca cerita ini lagi X). But I still wanna tell it anyway :p.

Settingnya beberapa tahun yang lalu, saat Adhitya Mulya baru saja mengeluarkan novel pertamanya : Jomblo.
Kala itu, saya menulis review yang yah...gitu deh, sesuai kebiasaan saya lah kalo nge-review. Dan gak tau gimana, Adhitya tau tentang review itu. Dia cuma bilang : "Makasih udah sediain waktu buat baca dan review" ato something yang seperti itu.

Dan sejak itu, saya respect sama Adhitya.
Ada banyak penulis lokal yang saya sukai, sebagian besar saya hormati. Namun hanya beberapa yang saya support secara loyal dengan membeli bukunya, sekacrut apa pun buku tersebut. Dan Adhitya termasuk yang "beberapa" itu.

Sewaktu buku Mencoba Sukses ini baru terbit, saya gak buru-buru membelinya walopun emang udah diniatkan. Saya mo liat dulu reaksi pembacanya gimana. Reaksi ini saya pantau dari timeline twitternya Adhitya (iyaa...emang oksimoron kok). Dan salutnya, Adhitya meng-RT beragam reaksi tentang bukunya, baik yang puas mau pun nggak.

Menurut saya wajar kok kalo penulis hanya meng-RT komentar-komentar bagus tentang bukunya. Kan itu cara promosi mereka. Buat saya, sudah cukup kalo mereka tetap menanggapi baik segala komentar negatif yang ditujukan. Tapi meng-RT segala komen buruk yang masuk menunjukkan kebesaran hati selain juga kedewasaan.

And so...itulah alasan kenapa gak ada review kacrut kali ini walopun buku ini punya beberapa unsur kacrut :s.
(PS : Hanjiiisss...ini kenapa komen tentang penulisnya aja panjang gini?)

Novel ini bercerita tentang seikat pocong-banci-tampil yang kepengen banget bisa eksis di dunia entertainment. Bersama teman barunya, Babi Ngepet, Pocong pun berusaha menapak jalan menuju kesuksesan. Demi kesuksesan yang diidamkan, Pocong sampai berguru pada Kuntilanak, hantu tersukses di bidang entertainment, dan Suster Ngesot, salah satu hantu gagal. Pocong juga harus menghadapi persaingan sesama hantu dan pengkhianatan dari teman hantu lainnya (terdengar sangat dramatis).

Ide dasar novel ini lumayan baru sih sebenarnya. Jarang ada novel lokal yang menjadikan hantu sebagai tokoh utamanya dan bergenre komedi.
Sewaktu membaca kata pengantarnya pun, saya sudah nyengir lebar. Sayang, itulah satu-satunya saat saya bisa nyengir saat membaca buku ini.

Bab pertama yang ada di blurb novel ini sebenarnya memang lucu. Tapi saya sudah membaca bagian ini 2x sebelumnya (pertama di blognya Adhitya, kedua di Kumcer Empat Musim Cinta). Sehingga saat saya membacanya untuk yang ketiga kalinya di novel ini, yang terasa adalah bosan. Pake banget.

Humor yang ada dalam novel ini masih humor khas Adhitya yang tajam dan menyentil. Sayangnya, kali ini saya merasa terlalu banyak hal yang ingin disentil Adhitya dalam novel setipis ini. Bayangkan, dalam novel setebal 192 halaman, Adhitya menyindir tentang Facebook yang sudah mirip Tanah Abang, hobi jiplak sineas Indonesia, percobaan iseng remaja karang taruna dengan oplos minuman yang berakibat ketemu sama dewa maut, sampai ke trend sinetron masa kini yang bisa mencakup ratusan episode. Bahkan Adhitya masih sempat menyentil tentang betapa vitalnya keindahan fisik dalam dunia entertainment.

Apakah lucu? Yah awalnya sih sedikit lucu. Baca kenyinyiran orang kan emang (biasanya) lucu. Tapi setelah 100an halaman lebih, yang kerasa adalah "ugh-it's-enough".
See...nyinyir is fun, seru, lucu. But try to overdo it, and it becomes gengges (ganggu).

Lagipula topik yang disentil Adhitya berasa random. Maksud saya, pada intinya ini tentang dunia entertainment kan? Kenapa kudu bawa-bawa FB dan minuman oplosan ya?
Oke...saya ngerti Adhitya bermaksud menyelipkan pesan moral di buku ini. Apalagi novel ini diniatkan untuk kedua putranya, sebagai cara mendidik agar mereka gak takut sama segala demit dan menganggapnya hiburan (bener gak ya?).

Tapi Kang Adhit, kenapa gak fokus ke itu aja? Kenapa mesti nyentuh topik-topik lain di luar itu?
Rasanya jadi "too overwhelming" aja.
Dan pesan-pesan moral yang niatnya diselipkan dalam novel ini, karena udah kebanyakan malah bikin males. Ada semacam perasaan "yea-yea-yea...enough-about-it-will-you".

Gimana dengan humornya? Entahlah...mungkin sense of humour saya yang lagi drop, ato mungkin emang gak satu selera (etapi biasanya selera saya cocok lho sama novelnya Adhitya), ato mungkin jugaaa karena saya udah senep baca semua sentilan itu. Yang pasti, sepanjang baca novel ini, saya selalu kepikir : "Wait...tadi itu mestinya lucu ya? Gw mestinya ketawa?". And laugh never feel that rempong before.

Tapi Adhitya Mulya (dan istrinya Ninit Yunita) tetap salah dua novelis favorit saya, yang akan selalu saya tunggu kemunculan buku-buku berikutnya. So keep on writing, kang. Dan semoga buku Mencoba Sukses-nya beneran sukses.

Tuesday, November 08, 2011

Infinitely Yours

 Pengarang : Orizuka
Penerbit : Gagas Media
Tahun terbit  : 2011
Genre : Romantic Comedy
Jumlah Hlm : 304 hlm
Ukuran : 13 x 19 cm
ISBN : 979-780-508-5

Jingga, cewek yang ceria, dinamis dan bergaya kekanakan. Kalau hanya melihat dia secara tampilan luar saja, gak ada yang menyangka umurnya sudah 25 tahun. Jingga ngefans abis sama Korea, mulai dari makanan, budaya, musik, film bahkan sampai ke cowoknya. Ini adalah perjalanan Jingga yang kedua kalinya ke Korea. Agenda khususnya bertemu Yun Jae oppa, local tour guide waktu trip pertamanya ke Korea, si oppa ganteng yang ditaksir abis-abisan sama Jingga.

Tapi kayaknya, liburan kali ini gak bakal berjalan sesuai harapan Jingga. Waktu di bandara saja, dia sudah apes. PSPnya rusak karena terinjak oleh seorang bapak serius-nan-kaku-tapi-ganteng-kayak-Kang-Dong-Won. Bapak itu bernama Rayan, umurnya gak beda jauh dengan Jingga, dan ternyata dialah partner Jingga selama tour di Korea Selatan nanti (ini tour kok dengan seenaknya mempasang-pasangkan orang. Ugh...itu makanya saya paling emoh ikutan tour).

Rayan yang serius, kaku dan dingin, benci banget sama Korea. Alasan dia ke Korea hanyalah untuk bertemu Mariska, (mantan) pacarnya yang akan menikah dengan orang Korea. Dia ingin memastikan apakah Mariska benar serius mau menikah dengan orang lain. Dan Rayan makin jengkel waktu tahu partnernya selama tour adalah cewek berisik yang kebalikan banget sama dia.

Karena Rayan memang punya agenda sendiri, dia gak berminat patuh pada itinerary tour-nya. Dia mau jalan sendiri demi mencari Mariska. Jingga yang khawatir Rayan nyasar kalo pergi sendirian (ditambah emang si Jingga ini kepo) memutuskan untuk ikut menemani Rayan dalam mencari Mariska, walau pun tindakannya ini gak disetujui sama Yun Jae.

Pertemuan dengan Mariska ternyata berakhir mengecewakan buat Rayan. Untuk menghiburnya, Jingga mengajak (baca : memaksa) Rayan untuk ikutan dalam tur romantis Korea yang dirancangnya sendiri sekaligus menunjukkan sisi lain Korea. Lagian toh mereka juga sudah terpisah dari peserta rombongan tour yang lain (lengkapnya baca sendiri di buku ya). Maka dimulailah kebersamaan selama 5 hari itu.

Lima hari menjelajahi sudut-sudut romantis Korea Selatan. Lima hari melakukan hal-hal romantis ala Korea. Lima hari yang diisi tawa dan pertengkaran. Lima hari yang mengubah pandangan mereka terhadap satu sama lain. Dan lima hari yang membuat Jingga meragukan perasaannya ke Yun Jae.

Lalu saat Yun Jae yang sempurna itu menyatakan perasaannya ke Jingga, apa yang mesti Jingga lakukan? Bagaimana dengan Rayan yang juga mulai merasa tertarik pada Jingga? Haruskah dia mundur ato justru tetap maju?
Itulah cinta. Kita tak pernah tahu kapan dan kepada siapa dia akan jatuh...
Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan. Tapi, bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya? Apakah Tuhan campur tangan di dalamnya?
Kalau saya membaca buku ini 10 tahun yang lalu, mungkin saja saya bakal suka (ato malah suka banget) dengan buku ini.
Tapi membacanya sekarang, saat saya sudah banyak banget menonton drama seri asia dan bahkan mulai jenuh, yang terasa adalah : Bosan!!!

Semua hal dalam buku ini terlalu klise, terlalu khas drama korea (dan drama asia pada umumnya). Hampir semua unsur ada. Let's see : Couple yang menganut prinsip "opposite atrraction" dimana karakter cowoknya angkuh dan dewasa sedangkan karakter ceweknya ceria dan kekanakan namun pada akhirnya bisa mengubah si cowok? Check!
Pertemuan pertama yang terjadi secara kebetulan dan menimbulkan kesan buruk? Check!
Kejadian - kejadian kebetulan lainnya sampai ke pertemuan terakhir yang juga terjadi secara kebetulan? Adaa...
Menggalau di tepi sungai Han? Definitely!
Kehilangan dompet sampe kudu nginap di hotel murah dan terpaksa tidur sekamar? Terus akhirnya rebutan siapa yang tidur di tempat tidur? Check! Check!
Naik bus terus ketiduran di pundak cowok/ceweknya? Adaaa....
Dan masih banyak detail lainnya yang jadi panjang banget kalo mau disebutkan semuanya.

Tapi yang lebih mengganggu dari unsur-unsur Korea itu adalah ceritanya itu sendiri. Saya gak masalah dengan ide cerita yang standar. Saya selalu berpendapat nggak ada ide yang benar-benar baru saat ini, yang paling penting adalah modifikasi dan cara penyampaian cerita itu.
Dan disitulah masalahnya...
Sejak awal, seluruh “rute” cerita Infinitely Yours sudah ketahuan, buku ini tak menghadirkan satupun hal baru. Kisah tentang sepasang manusia berbeda kepribadian yang bertemu kala liburan dan kemudian saling tertarik sudah berkali-kali kita baca. Bahkan kehadiran orang ketiga pun sudah bisa diperkirakan.
Plot seperti ini sudah dipake belasan, puluhan dan mungkin ratusan drama atau film roman. Dan saya terus menunggu modifikasi atau twist atau kejutan atau apa pun itu yang akan membuat novel ini berbeda. Dan ternyata...gak ada! (-_-") Semuanya standar, semuanya tipikal. Dari awal sampai akhir semuanya sesuai dengan perkiraan saya.
"Kita terlalu mirip. Seperti medan magnet, kutub yang identik akan saling menolak satu sama lain"
-Mariska-
Bahkan karakter Jingga dan Rayan pun standar
Karakter Rayan ada di hampir semua drama korea. Pria yang galak, anti sosial dan workaholic tapi punya sisi rapuh dan lembut. Oh saya bisa menyebutkan beberapa karakter yang mirip Rayan : Young Jae-nya Full House, Shin di Princess Hours, Ki Joon-nya Lie To Me, dan yang lain-lain. Kalau ada 1 kelebihan Rayan, itu adalah kekukuhannya pada Indonesia :).

Dan Jingga? Sama aja... (?~?) Pasaran banget!
Jangan salah, saya suka kok karakter cewek-ceria-pecicilan dan sedikit gengges seperti Yoo Rin di My Girl, Chae Gyung-nya Princess Hours dan Ji Eun-nya Full House. Dan saya belum jenuh dengan karakter seperti ini.
Tapi karakter Jingga terasa membosankan buat saya. See...tiga karakter yang saya sebutkan di atas, walau pun setipe tapi punya keunikannya sendiri, sementara Jingga gak punya. Semua karakter Jingga ada di banyak drama lain. But there's none of her character that you can't found on another charas. Bagi saya, Jingga tidak terasa 'hidup'. Dia hanyalah copycat yang tak punya karakter sendiri.
Eh maaf, saya lupa klo Jingga punya keunikan yang justru terasa konyol, yaitu : punya ilusi kelewat manis tentang Korea dan pria-nya. It's fine to have that kind of ilusion if she's still a teenager, but completely different case if she's an adult. That makes her look silly and ridiculous.

Saya juga menyayangkan tokoh Yun Jae tidak berperan penting di sini. Dia cuma jadi karakter pemanis saja. Bahkan Orizuka gak berusaha memberikan gambaran hubungan Jingga dan Yun Jae di masa lalu, yang membuat pembaca maklum ketika tiba-tiba Yun Jae menyatakan perasaannya pada Jingga.
Padahal saya berharap Yun Jae bisa jadi salah satu twist di buku ini. Tapi, daripada mengembangkan peran Yun Jae, Orizuka lebih memilih menggambarkan Korea dengan detail. Agak terlalu detail malah, sampai membahas jurusan bus segala. Padahal kalo butuh informasi tentang Korea sampai sedetail itu, mendingan saya baca buku travel sekalian deh ;p.
"Karena semuanya cuma momen. Aku sedang patah hati, dan kamu datang pada saat yang tidak tepat. perasaan apa pun yang pernah kita miliki itu cuma yah...momen"
-Narayan Sadewa-
Saya sudah lama tahu tentang Orizuka. Saya salut padanya, menelurkan 13 novel dalam jangka waktu 6 tahun bukanlah hal yang remeh. Novelis sekelas Clara Ng atau Dewi Lestari saja perlu waktu 1 tahun untuk menghasilkan 1 novel. Karenanya wajar saja kalau saya punya ekspektasi tinggi dan jadi penasaran untuk membaca novelnya.

Infinitely Yours adalah percobaan pertama. And I'm disappointed despite its high rating on goodreads. Kayaknya sih saya masih akan mencoba baca karya Orizuka yang lainnya. Saya penasaran dengan Our Story dan Summer Breeze yang best seller itu; namun kali ini saya gak akan berharap ketinggian lagi.
"Dongeng seharusnya tetap menjadi dongeng"
Seperti yang saya sebutkan di atas, selain modifikasi, yang juga penting adalah penyampaian cerita. Sebagai penulis yang sudah menghasilkan 13 novel sudah pasti Orizuka tidak bermasalah dalam hal pemilihan diksi dan teknik bercerita. Bagus memang, tapi tidak istimewa (_ _") .
Ada beberapa penulis yang bukunya saya koleksi walau pun saya tidak suka dengan tema ceritanya. Buku yag ide ceritanya -sumpah- standar banget dan waktu baca berasa pengen saya skip aja, tapi pada akhirnya saya bisa tahan membaca secara runut  karena saya suka pada rangkaian katanya yang cerdas. Saya bahkan rela mengumpulkan bukunya karena saya ingin belajar menjalin kata seindah itu. Sitta Karina adalah salah satu contohnya.
Ada pula kategori penulis seperti Donny Dhirgantoro yang juga saya koleksi bukunya walau pun rangkaian katanya sederhana saja; alasan saya mengumpulkan bukunya karena saya suka dengan ide cerita dan bahasanya yang mengalir (dan lebih banyak buku yang masuk di kategori kedua ini).
Dan, setidaknya bagi saya, Infinitely Yours tidak masuk dalam 2 kategori itu :)
"Love is one heavy word"
-Rayan-
 Secara fisik, buku ini punya tampilan yang menarik. Kertas berkualitas bagus, ilustrasi yang cute di dalamnya dan cover yang cantik. Malah cover inilah yang membuat saya ngeh dengan keberadaan buku ini di antara deretan buku baru lainnya. Namun walau covernya bagus, tapi kurang menggambarkan isi cerita. Yah khasnya Gagas sih memang, yang juara dalam menyuguhkan cover cantik tapi tidak berhubungan dengan cerita. Buat saya sih gak masalah. Saya tetap suka covernya :).

Kesimpulannya...
Infinitely Yours bukan novel yang jelek kok; it's just not my cup of tea. Karena itu saya memberi rating 2 bintang (sesuai dengan rating goodreads yang artinya : it was ok) ditambah 1/2 bintang lagi untuk fisiknya yang menarik.

 PS : Saya masih penasaran, Orizuka memberi judul Infintely Yours memang dengan maksud menyamakan tagline pariwisata Seoul ato cuma kebetulan?

Tuesday, March 10, 2009

Eclipse

Judul Asli : Eclipse
Judul Terjemahan : Gerhana
Penulis : Stephenie Meyer
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2008
Rating : 2 out of 5 stars

Di antara ke-4 Twilight saga, Eclipse adalah seri yang paling bikin saya eneg dan gak tahan karena di buku ini tergambar jelas betapa egoisnya Bella.

Melanjutkan cerita dari buku ke dua, dimana Bella memilih Edward, maka sekarang dia harus menerima konsekuensinya, yaitu renggangnya hubungan persahabatannya dengan Jacob.
Juga karena sifat Edward yang overprotektif, dia melarang Bella ke La Push (konservasi tempat tinggal suku Jacob) dengan alasan takut Bella gak aman karena dikelilingi para werewolf (Ironis bukan karena Edward beranggapan vampir lebih aman daripada werewolf:p)

Sayangnya, Bella adalah cewek egois nan keras kepala. Semakin keras Edward melarang, semakin keras pula niat Bella untuk bertemu Jacob. Dia bahkan sampai nekat kabur menemui Jacob di saat Edward sedang pergi berburu.
Dan reaksi Edward?
Tetap selembut dan sepengertian biasanya. malah Edward mengakui kalo masalah terbesar dia sehubungan dengan Jacob adalah masalah pribadi dan memberikan full blessing ke Bella untuk berkunjung ke La Push kapan pun dia mau.

Wow...Wow...banget ya punya cowok sepengertian itu. (ato se-masokis itu?)

Cerita pun terus bergulir hingga ke klimaks ketika kasus kriminalitas dan orang hilang terus meningkat di Seattle. Yang sebenarnya terjadi adalah seorang vampir bernama Victoria menciptakan vampir - vampir baru yang liar dan haus darah untuk memburu Bella. Hal ini dilakukan Victoria karena diamasih mendendam terhadap Edward karena telah membunuh kekasihnya James (kisah selengkapnya ada di Twilight).

Tentu saja keluarga Cullen tidak tinggal diam. Mereka pun berusaha menggalang kekuatan untuk melawan vampir ini. Sayangnya, mereka tidak mendapat dukungan dari rekan vampir mereka.
Di saat itulah, Jacob dan kawanan werewolf-nya menawarkan kerja sama dengan keluarga Cullen demi melindungi Bella khususnya dan kota Forks umumnya.

Di sisi lain, Bella pun harus menghadapi konfliknya sendiri.

Yah...one thing lead to another, singkatnya Bella dan Jacob berciuman (dan saya menyadari betapa tricky-nya Jacob dalam hal ini). Dan Bella pun dipaksa untuk menghadapi kenyataan bahwa ternyata dia mencintai Jacob lebih dari sekedar sahabat.
Tepatnya ini kalimat Bella : "Jacob was right. He ’d been right all along. He was more than just my friend. That ’s why it was so impossible to tell him goodbye — because I was in love with him. Too.
I loved him, much more than I should, and yet, still nowhere near enough. I was in love with him, but it was not enough to change anything; it was only enough to hurt us both more. To hurt him worse than I ever had."


Dan sejujurnya, point inilah yang membuat saya bete abis dengan Eclipse. Seakan belum cukup Edward disakiti perasaannya selama ini. Mulai dari menahan diri melihat kedekatan Bella dan Jacob, mendengar keluh kesah Bella tentang Jacob, menghadapi Jacob yang emosional dan selalu beranggapan bahwa Edward membuat kesalahan besar dengan kembali, menahan diri mendengar Bella menyebut Jacob sebagai Jacob-ku, dan sekarang...INI pula!!!

Dan well...si Edward yang kelewat baik itu sama sekali gak marah. Malah dia sangat pengertian.
Dia berkata bahwa Bella adalah manusia dan ada beberapa kebutuhannya yang hanya bisa dipenuhi oleh manusia juga. Edward juga mengerti bahwa sewaktu meninggalkan Bella, dia membuat lubang di hati Bella dan Jacoblah yang menjahit luka itu dengan rapi.
Dan saking baiknya...Edward juga mengatakan bahwa Bella tak perlu memilih. Bahwa Bella dapat memiliki seberapa besar pun bagian dirinya atau malah tidak sama sekali, asalkan Bella bahagia.

Oh geez...
Si Edward ini benar-benar masochist deh aaahh.

Trus si Jacob???
Saya bete sekaligus kasihan sama dia.
Iiiihhh....si Bella ini PHP sekali sih. Kasian kan Jacob, udah di-PHP-in selama 2 buku lebih, di buku ke-3 akhirnya ciuman, eh cuma untuk ditolak.

Senangnya sih...at least reaksi Jacob masih bisa dibilang normal lah. Dia gak yang pengertian dan baik kayak Edward gitu. Dia malah bete banget.
Oke...anggap aja yang kayak gitu normal *kalo gw yang jadi Jacob siiihhh....gw gak bakal seanteng itu*

Dari segi penerjemahan, saya sama sekali gak punya keberatan dengan buku ini. Gaya terjemahannya enak banget, sebagus New Moon.
Dari segi cover, versi Indonesia-nya juga oke. Hanya menggambarkan keadaan gerhana, sesuai dengan judul buku. Cover yang melambangkan perasaan Bella ke Edward yang seperti gerhana hingga menutupi perasaannya ke Jacob.



 Walaupun begitu, cover versi US juga menarik. Di versi US tampak sehelai pita yang hampir putus. Stephenie Meyer mengatakan bahwa pita yang terbelah dua itu menggambarkan bahwa Bella harus memilih antara Jacob dan Edward, juga seutas benang yang menghubungkan kedua bagian pita menggambarkan bahwa Bella tidaklah bisa benar - benar terlepas dari kehidupannya sebagai manusia.

Satu hal yang membuat Eclipse masih terselamatkan (setidaknya menurut pendapat saya) adalah perkembangan plotnya.
Di Twilight dan New Moon, Bella memutuskan untuk menjadi vampir tanpa benar - benar menyadari konsekuensi pilihannya. Di Eclipse, Bella menyadari konsekuensinya dan memutuskan untuk menerima. Semua aspek, cerita, plot dan hubungan di novel Eclipse ini mengacu pada point itu.

Disini juga, Jacob menyadari bahwa Edward adalah obat bagi Bella. Dan dia tak bisa mengalahkan Edward. Sehingga untuk pertama kalinya, Jacob menyadari sebaiknya dia mundur.

Satu hal lagi, sebenarnya melegakan juga (bagi Edward setidaknya) mengetahui bahwa Bella mempunyai pilihan lain. Dia dapat memilih cinta yang lebih mudah bersama Jacob. Cinta yang tidak membuatnya harus mengorbankan keluarga dan masa depannya. Dan tetap saja, dia memilih Edward. Seperti yang Jacob bilang,bahwa setidaknya Bella menyadari perasaannya terhadap Jacob, tahu bahwa dia punya pilihan.

So me (as a reader) could expect a less drama for the next book. Pleaaaaseee...

Quote of the books :
The Clouds I Can Handle, but I Can't Fight with an Eclipse
-Jacob Black-