Showing posts with label 1/2 bintang. Show all posts
Showing posts with label 1/2 bintang. Show all posts

Tuesday, August 07, 2012

Mendadak Dangdut

Data Buku:
Judul : Mendadak Dangdut
Penulis : Ninit Yunita
Penerbit : Gagas Media
Tahun Terbit : 2007
ISBN : 9797800407 
Iyaaa....saya emang kurang kerjaan kok ampe baca "novel" ini.
Jadi...masalah buat loe? Hah? Hah?? Hah???
#eaaaa #BaruMulaiUdahNgajakRibut #DikepretLightSaber X)

Sebenernya saya males sih bikin review untuk "novel" ini. Gak tega aja liat ratingnya yang udah tiarap di goodreads. Entahlah gimana rating penjualannnya di luar sana.
Tapi gak tahan juga untuk gak protesss dan berunek-unek ria. So yah...mari kita bikin curhat singkat aja.

Ceritanya tentang Petris (di film diperankan Titi Kamal), penyanyi pop terkenal generasi MTV yang egois dan mengganggap orang lain bego. Dia punya manajer Yulia (dimainkan oleh Kinaryosih), kakaknya sendiri yang kalem dan sabar banget menghadapi keangkuhan adiknya.

Suatu malam, Petris dan Yulia kena razia narkoba di jalan. Di mobil mereka ada Gerry, pacar Yulia yang bawa tas berisi heroin 5kg. Gerry berhasil kabur, dan gantinya kedua cewek kinyis itulah yang ditangkap polisi.

Berhubung takut dihukum mati, kedua cewe itu kabur lewat toilet.
Okay...ceritanya emang absurd. Jadi gak usah mikir kenapa juga polisi bisa sebegitu bego ampe tersangka narkoba bisa kabur lewat toilet. Percayalah, masih banyak yang lebih perlu dipertanyakan ketimbang perkara jendela toilet itu.

Lanjut...
Mereka berdua menemukan tempat sembunyi ideal di sebuah kampung yang ada orkes organ tunggal dangdutnya. Orkes yang dipimpin oleh Rizal something (lupa nama lengkapnya) lagi kebingungan karena penyanyi utama mereka hengkang. Dan dengan jeniusnya, Yulia menyarankan Petris untuk mengisi posisi tersebut, biar mereka bisa ngumpet lamaan. Yang lebih jenius lagi, Petris setuju walo ngedumel.

Dan mulailah petualangan Petris dan Yulia di kampung tersebut. Petualangan yang nantinya mengubah hidup dan sifat keduanya.

Sebenernya bakat kacrut "novel" ini sudah terlihat dari covernya yang norak itu kok.
Apa? Cover itu disesuaikan dengan poster filmnya?
Ya kalo gitu poster filmnya juga norak ;p.
Hah? Karena judulnya ada kata dangdut makanya dibikin kesan norak?

Kalo gitu sih sayang banget ya. Karena lagu semacam Keong Racun, Cinta Satu Malam dan Anggur Merah itu adalah sebuah masterpiece yang kelasnya jauh di atas buku ini. Bahkan lagu dangdut mestinya diangkat sebagai identitas bangsa Indonesia.

Om saya yang asli orang India itu demen banget sama lagu yang syairnya gini : "Maaf dariku bukan untuk kau ulang. Sabar di dada batasnya sudah hilang. Kau bilang sahabatmu hanya teman biasa. Di bawah meja kakimu mena..." *Eh kok jadi keterusan nyanyi sih?*

Ya maap, refleks tiap denger lagu ini rasanya langsung pengen kariyoki (buat loe yang gak gaul, that means karaoke :p).
Dan saking demennya, si Om ini menitahkan saya untuk bikin terjemahan lagu itu dalam bahasa inggris. Kalo perlu dalam bahasa Hindi dan Tamil sekalian :/.

Masih perlu bukti dangdut itu oke?

How about this? Teman saya, Chiaki, yang asli Jepang ngefans banget dengan Rhoma Irama. Oh ya...selera temen saya itu emang hardcore. Gak tanggung-tanggung, Rhoma lho favoritnya! *kagum beneran*

Dan seakan ngefans aja belum cukup, Chiaki ini keukeuh sekali mengumpulkan semua album dan video klip lengkap milik Pak Haji Berbulu Dada Aduhai itu.
Digeretnya saya menyusuri satu persatu lapak penjual mp3 dan vcd/dvd bajakan di Glodok. Dan berhubung dia gak bisa bahasa indonesia, maka saya lah yang ketiban tugas buat nanya : "Koh/Ci, punya albumnya Rhoma Irama? Ato dvd karaokenya mungkin?"

Chiaki sama sekali gak peduli kalo saya tengsin sebenernya nanya kayak gitu. Dia bahkan gak ngerti waktu saya kasi tau bahwa ketahuan beli anything yang menyangkut Rhoma Irama berpotensi besar menghancurkan image saya.

"But why, wi? This guy is a pure genius. All his songs are so beautifull yet sad. Make me wannna hug him. If he's in front of me right now, I'm gonna kneel and worship him."

Sumpah...saya speechless.
Sepanjang umur saya, belum pernah saya dengar ada pemujaan sedemikian tinggi terhadap Rhoma Irama. Heck...saya bahkan belum pernah dengar Beatles dipuja setinggi itu.
Sekaligus malu juga. Dengan keberadaan band sekeren Luna Sea dan L'arc en ciel di negaranya, Chiaki malah memberi pujian setinggi itu kepada Sang Satria Bergitar. Ah betapa saya telah meremehkan sang raja dangdut itu. :')

"And don't you see his face? That's the face of a royal you know. His beard? So great. Even his hairy chest is so artistic. This guy seriously is a God's gift to your country."

Okeh...ampe disitu saya batal terharu.
Saya langsung kepengen seret Chiaki ke psikiater terdekat. Pasti ada baut yang kendor di otak dia.
Ato virus yang setiap hari dipacarinya di laboratorium itu udah merusak otak brilyannya. (Btw Chiaki adalah peneliti bidang Virologi yang dikirim ke Jakarta demi tugas penelitian).

Belum puas di Glodok, Chiaki maksa geret saya ke Jl. Surabaya karena ada penjual di Glodok yang menyarankan ke sana.
Agak heran sih saya. Jl. Surabaya itu kan tempat jual barang antik ya. Emang si Bang Haji udah segitu antiknya ampe layak masuk sana?

Etapi ternyata beneran ada dong!
Entah kesambet apa, ada satu penjual di sana yang jualin cd dan kaset Rhoma Irama. Bahkan ampe ada piringan hitamnya! (Jujur saya baru tahu ada piringan hitamnya Rhoma)
Dan Chiaki begitu bahagia sewaktu melihat koleksi idolanya bertengger manis di rak berdebu. Hampir dipeluknya si abang penjual sambil nangis terharu (emang lebay teman gw satu itu).

Dan melihat tawa Chiaki, saya membatalkan niat untuk berkunjung ke psikiater. Biarlah baut otaknya kendor. Biarlah otaknya mulai atrofi digerogoti virus. Yang penting dia bahagia dan punya impresi bagus tentang Indonesia. Dan semua itu karena dangdut. Bukaaannn....bukan karena Rhoma. Tapi karena dangdut. #InDenialMode

Sejak itu, saya respect banget sama dangdut. Dan berpikir mestinya dangdut dijadikan identitas bangsa. Dikemas dalam tampilan yang lebih artistik dan diubah imagenya supaya gak kampungan, pasti dangdut bisa bersaing dengan jazz untuk diputer di hotel berbintang. *Dan sepertinya saya ketularan lebay deh*.

Jadi buat saya sih, sayang banget ya kalo ada novelist ato filmmaker yang terjebak dalam stereotipe lama dan malah turut men-downgrade musik dangdut. Padahal mereka lah yang mampu menjangkau khayalak ramai dan mengubah paham kadaluwarsa itu.

Sungguh, saya prihatin.

Photobucket

*misuh misuh*
Lho?
Kenapa ya orang ini yang nongol? Mestinya kan Pak Presiden. Tapi yaaa...saya turut prihatin sih ngeliat rambutnya disitu.

Okeh Lanjut...
Sebaiknya saya gak berpanjang-panjang bahas cover (segini gak panjang, wi?) karena seorang penulis pernah bilang kalo mo review itu bahas hal teknis, jangan non teknis semacam cover.

Jadi mari kita bahas isi cerita...

Point kacrut nomor 2 adalah saat Yulia dan Petris memutuskan kabur dari polisi.
Ide untuk kabur dari polisi mungkin saja dimiliki semua orang yang tertangkap. Tapi hanya tawanan perang, tahanan politik atau penjahat profesional lah yang berani mengeksekusi rencana tersebut. Pastinya bukan cewek kinyis nan unyu macam Petris dan Yulia. Emangnya dipikir Polri belum belajar teknik ngejar buronan?

Kalo saya dan jutaan orang normal lain yang terjebak dalam situasi itu (amit-amit sih), saya lebih milih menghubungi pengacara sekaliber Elsa Syarief ato Hotman Paris. Kalo mereka bisa bikin Tommy kena hukuman ringan dan Cut Tari aman dari penjara padahal videp bokepnya beredar luas, maka semestinya saya yang "cuma" kebetulan ditemukan bersama heroin 5kg bisa dengan gampang dibebaskan.

Poin ketiga yang membuat cerita ini makin kacrut adalah ide jenius untuk bersembunyi dari kejaran polisi dengan cara...jadi penyanyi dangut! Yang bakal tampil depan puluhan bahkan ratusan penonton! :S
Dia mungkin mau nerapin strategi art of war-nya Tsun Zu ya. Strategi yang bilang : "tempat berbahaya adalah tempat paling aman."
Jadi kalo kapan-kapan Anda perlu menghindari sorotan polisi, cobalah muncul di bawah spotlight panggung yang lain. (Nyambungnya dimana? Mbuh...saya juga bingung :p)
Kenapa gak sekalian aja si Petris itu disuruh muncul jadi peserta di KDI? Ato jadi peserta Masterchef Indo gitu. Sama aja kan? Dua-duanya jauh banget dari genre MTV Pop.

Poin kacrut berikutnya adalah pemikiran bahwa masyarakat penggemar dangdut gak mengenali wajah salah satu artis ngetop.
Oke...di halaman 44, tokoh Yulia memang sudah memberi argumen dengan bilang : “Nggak semua orang di Indonesia nonton MTV”.

Dan itu emang benar.
Tapi hampir semua orang Indonesia nonton infotainment (yang frekuensi penayangan per harinya bahkan melebihi jumlah sholat wajib) atau baca tabloid gosip (Nova kek, Bintang kek, Lampu Merah kek, Enny Arrow kek...eh salah. Ya pokoknya itu lah. Koran - koran kuning itu).

Dan jadinya aneh aja kalo gak ada satu pun warga yang bisa mengenali seorang penyanyi ngetop ada di antara mereka. Saya yakin banget, di dunia nyata kalo Luna Maya ato Sophia Latjuba diceburin diantara fans dangdut, mereka pasti masih ngeh juga dengan keberadaan makhluk langka itu.

Fakta bahwa Petris bisa aman ngumpet selama berminggu-minggui menunjukkan bahwa kampung itu miskin dari tayangan infotainment dan juga tabloid gosip. Bahkan tabloid pun mungkin cuma dicetak terbatas ya. Soalnya setelah Petris borong semua tabloid di sebuah lapak, persembunyiannya aman sentosa.

Heu? Ini settingnya dimana sih? Mestinya masih di kampung yang dekat sama Jakarta kan? Yang pastinya ada banyak penjual tabloid?
Miris bacanya.
Miris pada logika penulisnya yang kok ya segitu ngesotnya gitu lhooooo...

Ide cerita sih sebenernya bagus. Tentang seorang yang bertransformasi jadi dewasa setelah keluar dari zona nyamannya. Juga tentang 2 saudara yang kembali menemukan arti sebenarnya dari kata "saudara". Sayang, set up yang dibangun terlalu absurd dan kacrut sehingga pesan moralnya terabaikan.

Kenapa gak bikin set up yang lain?
Misalnya Yulia taruhan kalo Petris gak bakal kuat hidup susah dan demi membuktikan itu salah, Petris nekat pergi ke tempat terpencil di ujung Indonesia sana, yang gak ada listrik apalagi tabloid gosip.

Ato bisa juga, pesawat yang ditumpangi Petris & Yulia jatuh dan mereka terdampar di sebuah pulau asing yang hobi penduduknya adalah dengerin dangdut. Dan demi bisa diterima di komunitas itu, Petris kudu rela jadi penyanyi dangdut.
Ide di atas absurd? Basi? Emang iya. Tapi seenggaknya lebih bisa dipercaya sih.

Ini perjumpaan kedua saya dengan buku kacrutnya Ninit, yang mana keduanya adalah adaptasi skenario.
Waktu di Heart sih saya masih berusaha cari pembelaan dengan bilang ide cerita yang kendor bukan salah dia karena cuma adaptasi dari skenario. Di sini saya udah kehabisan ide mo bilang apa.

Well saya sih masih berpikiran bukan salah Ninit kalo ceritanya kacrut. Ide ceritanya emang udah kendor, bahkan lebih kendor dari kolornya Donal Bebek.
(Percayalah, Donal Bebek itu awalnya pake kolor. Tapi karena kendor banget, jadi lebih sering keliatan gak pake) *sengaja banget dijelasin* =)

Kesalahan Ninit tetap karena dia khilaf nerima job ini.
Dan balik lagi ke pertanyaan saya di review sebelumnya : "Kenapa sih Ninit mau nerima job adaptasi film ke buku kayak gini?"

Saya baca di sini sih karena Ninit merasa tertantang.  Buat dia, menulis "novel" adaptasi memiliki tingkat kesulitan dan keasyikan sendiri yang berbeda dengan menuliskan karya asli.
Yaaa kalo emang gitu, pilih dong naskah yang lebih berbobot. Soegija ato Lewat Djam Malam misalnya. Jangan yang kancut begini!

Baidewei...nyadar gak kalo saya ngasi tanda kutip tiap mengacu ke "novel" ini?
Yap...itu karena saya gak rela mengakui "novel" ini sebagai novel. Buku ini gak bisa dibilang novel. Ini hanyalah usaha sekelompok orang tertentu yang berusaha mengeruk duit dengan menginjak logika berpikir masyarakat Indonesia. (aih syedap pisan bahasa eyke).
Orang-orang yang melupakan tujuan dibentuknya negara ini yang telah dimaktubkan para founding fathers kita dalam pembukaan UUD '45 yang salah satunya adalah "mencerdaskan kehidupan bangsa". (Euh...makin lebay deh saya O_o)

Yah mungkin bisa saja "novel" ini dianggap sebagai novel. Tapi itu artinya, saya kudu mengakui upil itu makanan. Bisa aja toh dimakan? Kalo dimakan sekwintal, mungkin malah bikin kenyang.
But the question is, how desperate are we to eat that kind of thing?
How desperate are we to accept this kind of "novel" as a novel?
Don't we have something more decent to eat?
Don't we have a better work to be called as novel?
And...
How desperate am I actually to make this review? #lah
(Udeh...gak usah dijawab yang terakhir. Itu pertanyaan retoris). #LahSiapeJugaNyangMauJawabWoi

Udahan ah curhat pendeknya. (pendek versi jepang, wi?)
Saya mo balik ke PR dari Om tercinta dulu yaitu nerjemahin lagu Vetty Vera yang berjudul 5 Menit Lagi dalam bahasa Inggris, Hindi dan Tamil kalo bisa.

Salam Dangdut!

"5 Menit lagiii...ah...ah...ah...
5 menit lagiiii....
Dia mau datang menjemputkuuuu...."



PS : Oiya...kenapa ya Si Om gak pernah nyuruh saya nerjemahin sontrek film ini ke dalam bahasa inggris?
Pan enak...eyke bisa cela dia secara halus.
"Miss, come dangdutan with abang yuk."
"Ih...sonofabitch you."
Aih kerennyaaaa...
Ada yang mo bantu nyetanin lagu ini ke Om saya? Makasi lho sebelumnya.

Thursday, July 12, 2012

Memory & Destiny

Judul : Memory & Destiny
Penulis : Yunisa KD
Tahun Terbit : 2010
ISBN 13 : 9789792256581
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama

Review di bawah ini adalah review dari buku yang boring, garing dan berasa hawa narsisnya. Untuk menyesuaikan dengan nuansa buku, maka review ini juga bakal boring, garing dan penuh dengan ke-narsis-an reviewernya. *dikeplak sampai Timbuktu*

Heck! I lied. Ini bahkan bukan review. Karena banyak teman goodreads tercintah yang sudah memberikan review yang lebih komprehensif, maka saya mo nyinyir dan narsis aja. #bhihik
Oh dan curhatan ini meng-exclude yang sudah disebut dalam repiu-repiu sebelumnya.

Kalo anda ngerasa punya kerjaan yang lebih penting, ya silakan dilanjut.
Tapi kalo masih mo baca juga, yaaa...derita loe itu sih.

Kata Ibu saya sih, saya tuh mirip kucing. Bukan dari segi manja dan ndusel-nduselnya kucing, tapi dari segi kepo. Iya, Ibu saya emang mengacu pada kalimat femes ini : "Curiosity kills a cat", soalnya saya emang kepo banget. Saya gak tahu apa bener kepo bisa ngebunuh kucing. Yang saya tahu sih, rasa kepo memang beberapa kali hampir mencelakakan saya.

Semasa kecil, saya adalah anak yang selalu penasaran membuktikan omongan orang. So kalo dibilangin : "Jangan main piso, kalo kena tangan bisa berdarah, sakit."
Saya malah sengaja ngiris tuh piso ke tangan saya, penasaran aja apa bener bisa berdarah dan sakit. Eitss...ini bukan masokisss yaaa. Harap dibedakan! (*defense mechanism sebelum dituduh*).

Dan kekepoan itu udah bikin saya sengaja menyetrumkan diri, menabrakkan badan ke bemo kemudian angkot (karena pake bemo berasa kurang hardcore), ampe sengaja lompat dari atap rumah hanya untuk tahu apakah terjun dari atap tuh beneran bisa bikin patah kaki. Etapi waktu itu ada kasur sih di tanah. Ya saya kan cuma kepo dan bukan bego.
Untunglah makin gede makin berkurang kepo saya.

Kepo bahaya saya yang terakhir terjadi beberapa tahun yang lalu waktu baru lulus kuliah.
Saya dapat pasien percobaan bunuh diri dengan minum Baygon. Setelah si pasien stabil, saya ngobrol sama dia : "Bu, Baygon rasanya kayak apa?"
"Pait banget, dok."
"Oya? Lebih pait mana sama brotowali?"
(Yup, menurut saya brotowali itu substansi terpait di muka bumi ini. Yaa...tapi masih lebih pait waktu pacar ditikung sahabat sendiri sih. Itu mah paiiitt...pait...pait...paiitt, Jenderal! *Ups...mendadak curcol* #YaMaap)
"Jauh lebih pait Baygon, dok," jawab si ibu.

Rasa kepo saya pun terusik. Masak iya paitnya Baygon bisa ngalahin brotowali?
Jadi pas balik ke kamar jaga, saya ngambil kaleng Baygon, semprotin ke ujung jari saya dan langsung ngemut si jari imut #heyitsrhyme #sakarepmulah
Rasanya?
Beneran pait ternyata. Lebih pait dari brotowali. Dan lebih gak enak juga karena selain pait juga berasa kecut dan sepat. Walo yah...masih lebih pait waktu pacar ditikung sahabat sih. #TeteupCurcol Photobucket
Jadi yah teman-teman, buat yang patah hati dan berpikir minum Baygon, saran saya : JANGAN! Percuma soalnya. Paitnya gak ilang juga. Coba minum spiritus ato minyak tanah gitu. You're welcome, bye the way.

Lalu apa hubungannya buku ini dengan cerita di atas? Gak ada sih.
Saya kan cuma pengen pamer aja kalo saya tahu rasanya Baygon dan kalian nggak. Hohohohoho..... #TertawaLaknatDiPinggirKawah #LaluDitendyang

Yah rasa kepo saya bangkit lagi kemaren gara-gara buku ini.
Kata penulisnya sih, baca buku ini kudu punya banyak syarat. Misalnya open minded yang mana gak masalah buat saya. Buka hati aja saya gak segan, apalagi cuma buka pikiran (iya...saya tahu ini garing).
Trus juga kudu suka Broadway. Bukan masalah juga sih, secara saya rajin ikutan Broadway aka Beronda With Style (iyaa...iyaaa..saya tahu ini maksa dan garing.)
Dan yang paling penting harus berotak prima. Uhm...yang ini agak susah. Saya sih dari kecil udah doyan nenggak minyak goreng cap Prima, tapi gak tau ya apa itu berpengaruh pada otak saya ato ndak. Let's see aja deh ya.

Novel ini dimulai dari Donald yang terbangun pada pagi pernikahannya di London. Sayang di tengah jalan mobil yang ditumpangi bersama tunangan dan sahabatnya mengalami kecelakaan. Sementara kedua orang lain meninggal, Donald koma dan jadi...eng...arwah gentayangan gitu?
Di hari yang sama, Donald bertemu Maroon kecil di Westminter Abbey. Destiny menentukan cuma Maroon yang bisa melihat Donald (Demyu Destiny!). Akhirnya Donald pun ngikutin Maroon ke Jakarta dan jadi teman belajar dan bermainnya.

Lalu Donald menghilang dan cerita berpindah 10 tahun ke depan. Maroon udah jadi dokter...trus diikuti adegan2 gak penting...hingga Maroon kuliah ke Singapur. Disana secara gak sengaja dia ketemu lagi sama Donald dan langsung ngerasa ada chemistry di antara mereka.
Baru kenalan bentar, destiny mengatur Maroon kecelakaan, kehilangan ayah dan jadi amnesia (bangke emang si destiny ini). Donaldnya sih tetap support Maroon, tapi Maroonnya gak mau. Digebahlah si Donald pergi.
Dan David pun memasuki hidup Maroon.
Cerita bergulir pada sejumlah adegan gak penting lainnya yang berkutat di PDKTnya David dan rese-nya Maroon di topik "kok-loe-suka-sama-cewe-amnesia-kayak-gw".
Sampe akhirnya Maroon bisa ingat lagi, tendang David (sukurin! Emang enak dijadiin back up! #SumpahBukanCurcol #BenerBenerBukanLho) lalu ngejar Donald ke Singapoh.

Selesaikah penderitaan pembaca?
Oho...TIDAK!
Penulis masih betah nyiksa pembacanya. Itu cerita diputer lagi. Untuk ditutup dengan ending yang ehm...garing.

Apa yang bikin saya mentahbiskan buku ini sebagai buku kacrut?
Banyak hal sih. Saya ampe bingung mo bahas yang mana dulu. Coba kita mulai dengan :

1. Gaya bahasa yang jadul buanget. Bahkan lebih jadul dari jaman Maria A Sardjono. Sejaman dengan angkatan Balai Pustaka kali. Bedanya kalo para sastrawan Balai Pustaka merangkai dengan indah, yang ini berasa...basi
Contohnya :
"Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan Tuhan lah yang terlaksana."
"Selalu saja ada berkat di balik kenestapaan kehidupan yang pekat."
"Meluncurkan panah asmara langsung ke jantung sasarannya."
"...terasa seperti ditusuk sembilu."


Dear Miss Yunisa, I suggest you to time travel to 70's and publish your book there when these words were last used. I'm so sure it's gonna be a big hit back then. And you could torment the milennium kids for having to read and review your book as one of the best literatur ever.
No need to thank me for this wonderful idea, bye the way.

2. Dialog yang keju banget. Keju bakar disiram saos keju dan dikasi taburan keju pun bahkan masih kalah keju dibanding ini. (Mungkin) Rencananya mau bikin bahasa yang niatnya romantis, tapi jatohnya jadi picisan.
Misalnya :
"Gadis yang di matanya bisa kulihat api kehidupanku."
 ===> Eciyeee...api kehidupan lhooo. #disemburNaga

"Dari matanya aku juga bisa melihat masa depan."
==> Coba dicek, situ lagi ngeliat mata orang ato liat bola kristal sebenernya?

"Maroon, kau lebih cantik daripada selusin mawar ini."
==> Aduh mas, rayuannya basi sekali! Pantes ditinggalin.

Seakan kekejuan itu belum cukup, penulis hobi banget masukin lirik lagu yang gak nyambung di tengah percakapan yang (harusnya) serius.
Seperti ini:
"Toh, kalau Donald memang jodohku, somehow, One way or another, I'm gonna see ya, I'm gonna meet ya, meet ya, meet ya seperti lagunya Blondie."
ato
"Mungkin sekarang Donald memang belum jodohku. Jadi buat apa susah? Buat apa susah? Susah itu tak ada gunanya..."

Yeah epribodih, it's #tepokjidat moment.
Photobucket

Masih ditambah pula kalimat yang gak nyambung di otak saya seperti :

"Tinggal sebulan sebelum hari ulang tahunku. Tapi mimpi burukku sudah dimulai hari ini."
===> Maksudnya si tokoh punya tradisi klo dia mimpi buruk tiap ultah dan khusus tahun ini mimpi buruk dimulai sebulan sebelumnya? Apa sih makna "Tapi" di kalimat itu?

Juga penggunaan istilah yang gak tepat seperti ini :
"Mirip George clooney saja, tua - tua kelapa, makin tua makin membuat cewek tergila-gila!"
====> Keladi kaliiiii, mbaaakkkk. Kelapa tua sih jatohnya jadi santan doang.
Dan menyangkut santan, jadi inget kejadian waktu masih di puskesmas.
Ada teman kerja umur 18 tahun yang bakal nikah dengan duda cerai 5x berumur 60an tahun.
Namanya juga desa. Kejadian kayak gini ya dibahas lah. Dan seorang perawat berkomentar : "Kenapa X mo kawin deng Pak Y ya? Barang su seng enak itu. Su terlalu sering diperas. Seng bisa lai jadi anak karna terlalu encer. Cuma bisa dipake jadi santan saja."
Yeah...DEYM HER! I could never see santan the same way again since that. Photobucket

Eh kok jadi ngelantur ke santan? Mbak Yunisa sih bawa-bawa kelapa.
Pokoknya masih banyak kalimat-kalimat ajaib lainnya yang kalo mo saya tulis disini sama aja dengan nulis ulang nih novel di gudrit. Saya persilakan anda baca sendiri aja ya. Good luck lho. Photobucket

3. Homofobia

I'm a faghag. Karenanya saya terganggu dengan sentimen dan prasangka negatif tentang gay yang ada di buku ini. Oke...saya tahu kalo penulis anti gay, itu hak dia.
Tapi gak perlu bikin prejudice yang malah nunjukkin dia kurang paham dunia itu.
Misalnya ketika tokoh Sharon keheranan kenapa sepupunya Wiro yang gay itu bisa disukai orang tua sahabatnya. Ih...gak nyadar ya gay itu likeable banget. Matt Bomer anyone? Neil Patrick Harris? Sir Ian McKellen? Dan...Albus Dumbledore! Yeah!!!

Yang bikin gemes juga waktu secara tersirat dibilang kalo gay itu gak jantan.
Heh? Kata sapa? Siapa pun yang berpendapat gay itu gak jantan boleh coba adu tinju sama Mark Leduc (ya tapi waktu si Mark masih muda sih) ato adu dunk sama John Amaechi.
Hah? Apa? Gak tau Mark Leduc dan Amaechi? Ih kacian tekali. #MenatapIba
Intinya kalo ada yang bilang gay itu gak jantan, pasti pengetahuannya tentang gay mentok sampe ke Olga doang #ups #dicakarpensnyaOlga #runrunfast #kepelukanMattBomer
Photobucket

4.Too much information (yang gak penting)

Mungkin buat penulis, disinilah point plus novelnya. Buat saya sih fakta ini malah gengges. Ya walopun saya akuin membaca penjelasan penulis bikin saya mo ketawa dan bilang "pffttt".
Contohnya waktu penulis ngasi tahu kalo rambut palsu itu wig, ato waktu penulis dengan baik hati menjelaskan kepada pembaca (via Maroon tentunya) bahwa cara terbaik PDKT ke cewe dimulai dari keluarganya dulu (pffttt lagi).

Tapi dari semua penjelasan penulis, gak ada yang ngalahin epiknya penjelasan beliau (cieee....beliauuu) waktu ngejelasin tentang bride's maid dan best man. Demi untuk menjelaskan arti kedua kata itu serta siapa yang biasanya dapat peran kehormatan tersebut, penulis menghabiskan tak kurang dari -wait for it- 1 paragraf. #tepokjidat #ampejenong Photobucket

Ketika Yunisa dengan yakinnya berpendapat bahwa novelnya akan abadi sampai 100 tahun ke depan, dan bahwa orang di masa depan akan berpikir : "Astaga-naga, ternyata Yunisa, tahun 2006-dst udah memikirkan dan mengamati hal yang sama!", pasti yang dimaksud adalah bagian ini.

Saya bisa ngebayangin, tahun 2110 nanti, dalam sebuah kelas Literatur Fiksi, akan ada seorang guru yang berkata seperti ini :
"Jadi, yang menarik dari novel karangan Yunisa ini adalah pikirannya yang jauh ke depan. Sebagai contoh, istilah best man dan bride's maid yang baru diadopsi ke dalam bahasa Indonesia sekitar 30 tahun yang lalu, sudah digunakan olehnya pada novel yang terbit 100 tahun lalu.
Belum jelas apa istilah yang digunakan orang Indonesia pada jaman novel Yunisa ini terbit. Tapi banyak ahli yakin, di jaman itu orang menyebut bride's maid dan best man sebagai "orang-(berasa)-eksis-yang-berdiri-di-sebelah-pengantin-terus-terusan."
Ya memang orang jaman dulu nggak efektif. Kita harus berterima kasih pada Yunisa yang memperkenalkan istilah ini pertama kali kepada masyarakat Indonesia.
Walaupun ketika novelnya pertama terbit, informasi ini dikritik habis-habisan oleh pereview kurang kerjaan di Goodreads bernama asdewi." (Maap ya teman-teman, ternyata setelah 100 tahun, cuma nama saya yang masih eksis). #DirajamRameRame
(ps : jangan keplak saya, plis. Saya tahu kok ini garing. *muka memelas*)

5. Penggunaan kata "destiny" yang over dosis di novel ini.
Ketemu dan jadi sahabat itu destiny. Gak mau ngajak cewek lain kencan, karena si tokoh menunggu destiny-nya. Besok-besok kebelet ke WC ato laper doang dianggap destiny juga dah. #NyinyirDetected

Dan dari bertaburannya kata "destiny" yang ada di novel ini, 2 peristiwa ini sih yang ngasi momen "pffttt" :
Scene pertama:
"David, kenapa sih kita sering sekali bertemu walau kita tidak janjian?"
"Mungkin itu destiny?"

Bookkk...kalo emang ketemu gak sengaja di berbagai tempat bisa dianggap sebagai destiny, maka gw sama Stramaccioni pastilah destiny. Waktu dia datang ke Jakarta kemarin, kita sering ketemuan gak sengaja gitu. Dari ketemuan di lift ampe ketemuan di dekat toilet.
Jadi dia kah destiny saya? dear God, please make it come true. Mohon segera beri hidayah padanya agar sadar bahwa destiny-nya ada di Jakarta.

Eh bentar...
Waktu liburan ke Bali kemarin, saya juga sering ketemu sama Anang. Saking seringnya ketemu, teman saya ampe mikir kita kualat karena cabut kantor dengan alasan ikut pelatihan dan dikasi balasan berupa siksaan visual yaitu secara konstan ketemu pasangan (yang merasa diri) Kate & Will itu.
Jadi...apakah Anang (ato Ashanty?) akan menjadi destiny saya?
Dear God, I beg You please, dont! Jangan ampe se-mblegedes itu sih, pleaseee. Thank you, God. Amin. Photobucket

Anyhoo, peristiwa ke-2 adalah ketika David beranggapan Maroon destiny-nya karena si Maroon ngomong "Christmas is family time" yang mana adalah kalimat paporit David ke ibunya.

Cyiiiinnn...kalo nyebut ucapan yang sama bisa dianggap destiny, maka ada berapa milyar orang di dunia ini yang jadi destiny saya waktu saya bilang : "Gw lapeeerrr" ato waktu saya bilang : "Kayak ketek badak nih sinyal" ?
Jadi sebenernya destiny saya ada berapa sih? Kok gak ada satu pun yang nongol? Hah? Hah?? Hah??? *dilemparBTS*
(PS : Hei...kamu yang baca review ini, pasti juga pernah ngucapin kalimat di atas kan? Ih berarti kamu juga destiny saya. Hayo atuh buruan pinang saya dengan bismillah dan  sesendok berlian *kedipkedipcentil* Photobucket #LaluDitujesPakeSabretooth)

Masih soal "ucapan-yang-sama-adalah-destiny", di halaman 178 ada part dimana David dan Donald mengucapkan kalimat yang sama. Berarti mereka destiny dong?
Setelah ngantuk maksimal, saya langsung excited pas nyampe di bagian ini.
Huwooww...apa buku ini akan berubah ke gay lit? Photobucket
David dan Donald menyadari bahwa mereka destiny lalu naik kuda bersama menuju matahari terbenam sementara Maroon nangis suwe di belakang? (I also don't know why I had this lame vision).
Woww...Wowww.....Spekta sekali Yunisa ini. Twist yang kueren buanget. Sumpah saya meremehkan kemampuan dia.
Maka dengan semangat saya lanjut baca.
Dan kecewa karena ternyata tebakan saya salah.
Dia kembali ke plot cerita garing ala layar tancap, layar kaca, layar gelasnya dong :s
*pembaca kecewa* #YaMenurutLooooo

6. Karakter-karakternya yang unlikeable

Karakter David dan Donald itu dibikin terlalu sempurna ampe jatohnya malah jadi ilfil. Novel Harlequin aja, yang ceritanya manis banget ampe bikin semut kena diabetes, masih ngasi kekurangan di para tokoh cowoknya. Tokoh yang paling saya suka disini sih Olivia, adiknya Maroon.

Dan tokoh paling nyebelin itu jelaslah : Maroon!
Saya udah mulai ilfil pada tokoh ini sejak halaman 16 ketika terjadi dialog seperti ini antara Maroon dan ibunya :
I : "Di sini sebenarnya kan kuburan."
M : "I know and I'm not scared."
I : "Why?"
M : "Karena aku mau jadi dokter! Dokter kan tidak boleh takut!"


Euh...ada yang salah dari pernyataan itu. Dokter juga manusia kok yang boleh takut. Lagian tuh gelar juga gak bakal ngaruh apa-apa buat kuntilanak.
Kebayang deh kalo waktu ketemu saya bilang : "Oi Kunti, gw gak takut sama loe. Kan gw dokter."
Palingan juga si Kunti jawab : "Ya terus? Masalah buat gw? Buat temen-temen gw? Pfft...please deh, bwok!"
Lalu dia pergi sambil kibas rambut dan geal geol patpat (Ini kunti ato Inem sebenernya?)

Apalagi kalo ketemu Pocong. Bisa ngakak kejang dia kalo saya bilang saya dokter. Si Pocong bakal bilang : "Jadi loe dokter? Huahahaha...kesian banget ya loe. Gw cuma dibungkus kayak lontong gini udah punya puluhan film hits di bioskop. Lah loe, pake jas putih keren gitu, bawa stetoskop mahal-mahal, peran loe paling mentok cuma ngomong : "Maaf kami sudah berusaha maksimal...". Suster malah lebih canggih dari loe. Dia cuma ngesot doang udah bisa nge-hits gitu pelemnya. Huahaha...kasian loe, cuy!"
(PS : Dan sumpah ini bukan curcol. Bener-bener bukan kok! #YaAdaCurcolDikitSih)

Anehnya karakter si Maroon ini, dia gak takut sama kuburan di Westminster Abbey. Tapi takut sama kuburan Cina dan kuburan lokal.
Alasannya?
Karena yang dikuburin di Westminster itu pake pakaian rapi sementara di Indo dibungkus kayak lontong ato pake daster putih.
Bah!!! Dia lupa kalo Count Dracula dan Bloody Mary juga bajunya rapi. Tapi coba aja situ liat, mempan kagak gelar dokter situ kalo ngadepin si Tante Mary yang bedarah-darah itu. #KenapeGwYangSewot

7. Logic check

Sebenernya sih mbak Iyut udah ngebahas tentang logic check-nya. Tapi di blognya penulis menyarankan reviewer untuk logic check dan kasi kontribusi positif ke penulisnya, maka saya berusaha kasi kontribusi ke penulisnya. Mengenai apakah kontribusinya positif ato nggak, biar penulis saja yang menilai.

Ini mengenai 1 part yang belum (ato mungkin gak tega) ditulis sama mbak Iyut.
Part yang dimaksud ada di halaman 39, scene waktu Donald tersadar dari koma. Dan ini petikannya :

"Dokter, dokter, denyut jantung pasien mulai melemah!" perawat berteriak. Dua orang perawat dengan cekatan menyiapkan alat kejut listrik defibrillator...
===> Oh jadi denyut jantung melemah itu didefib ya, mbak? Gak liat dulu pola irama jantungnya gimana?

"...Dokter menempelkan defibrillator di atas dada pasien. Tidak ada reaksi. "Kita ulangi,"..."
===> Bookkk! Di-CPR dulu baru defib lagi. Itu mesin defibnya butuh waktu buat recharge dan sembari nunggu ya di-CPR dong ah.

"Bunyi detak jantung masih rata."
===> Haapppaaahhhh??? Rata anda bilang? Jadi dari tadi pasiennya udah rata alias garis lurus alias asystole? Ya terus kenapa didefib? CPR buruan!
Hiihh...!!! Minta didefib juga nih penulisnya. Photobucket

"Kita coba sekali lagi! Naikkan tegangan!"
===> *tarik napas dalam* Mbak Yunisaaaa, defib itu tegangannya gak dinaikkan. Tentukan aja mo pake defibrillator yang monophasic ato biphasic. Yang bisa dinaikin itu cardioversi. Logic check dong, mbak! Logic check!
*kemudian bengek* *lupa buang napas* *sengaja dijelasin* :p

"...pasien tersentak dan sesaat kemudian detak jantung si pasien perlahan kembali normal...pasien lelaki berwajah tampan itu bangun dari komanya yang panjang."
...
Saya speechless Photobucket.
Saran aja nih mbak penulis, kalo lain kali nekat mo nulis novel yang ada scene emergency-nya, coba kurangi nonton Grey's Anatomy dan Scrubs lalu perbanyak nonton ER ato House.

Sebenarnya ide dasar novel ini lumayan kok. Tapi kenapa eksekusinya bisa begini kacrut adalah misteri yang belum berhasil saya pecahkan.
Untuk nemuin jawabannya, saya mengikuti saran penulis untuk membaca ulang bukunya, karena "semakin dibaca ulang, kesannya jadi beda".

Bener sih apa yang dibilang itu.
Soalnya baca pertama kali bikin saya kasi 1 bintang, nah baca yang kedua malah turun jadi setengah bintang. Kesannya emang beda kok pas dibaca ulang. Semacam jadi makin keliatan garingnya gitu deh.

Sebenernya saya sih mau aja baca ulang untuk yang ketiga, keempat bahkan ampe 10x juga. Masalahnya, itu jatah bintang tinggal dikit. Khawatirnya kalo saya baca ulang tuh bintang malah jadi habis dan saya kudu bikin sistem rating baru.

Ya sebenernya gak papa juga sih bikin sistem rating baru, toh gak ribet juga. Tinggal nambah 1 shelf doang kok. Cuma saya masih bingung nentuin pake rating yang mana, apakah "
Kancut Rating System (pinjem istilahnya SinemaIndonesia)


ato

Eneg Rating System
Photobucket

(btw gambar diambil dari sini. Gak sempet putu sendiri soalnya)

Daripada kelamaan bingung, saya memutuskan menyudahi percobaan baca-ulang ini dan berhenti di 1/2 bintang saja.
Besides, this book worth its half star anyway.
Beneran kok! Coba deh baca blog penulisnya di post berjudul yang kena sensor. Saya sih bersyukur akan keberadaan editor di buku ini. Kalo nggak, entah bakal sepanjang apa review ini.
Jadi setengah bintang itu untuk para editor novel ini.

Bye the way, ampe akhir saya masih gak tau apakah kepo beneran bisa bunuh kucing #MasihNgototBahasKucing. Yang saya tahu, di akhir baca buku ini saya menemukan satu lagi persamaan saya dengan kucing yaitu : Gak ada kapoknya!

Saya juga gitu. Walopun keprimaan otak saya terancam tiap kali baca buku kacrut, tapi saya gak kapok untuk membaca buku kacrut. Karena menulis repiu kacrut sesungguhnya masturbasi otak.
Jadi sampai jumpa di repiu kacrut berikutnya (yang entah kapan).
Salam buku kacrut!

PS :
Terima kasih untuk siapa pun yang sudi membaca curhatan ini ampe akhir.
Maap kalo panjang banget. Saya emang gak jago nulis yang singkat, padat dan jelas. Saya jagonya emang ngoceh kayak gini.
Jadi makasi buat yang tahan baca ampe akhir.
Tapi saya punya pertanyaan buat anda/kalian :

"Anda gak ada kerjaan ya? Ngapain juga buang waktu baca ginian? Mending juga pacaran!
Eh apa anda jomblo? Aduh kacian. Ngenes ya hidupnya, blo?"
Photobucket

#BerlaluDenganSongong
#SambilGandengPacar
#YangAdalahBantal
.....
....
...
..
.


IYAAA...IYAAA...SAYA JUGA JOMBLO! SAYA JUGA NGENES!
PUASSS??? HAH? HAH?? HAH???

BUBAAARRR!!! WHOOSAAAHHHH....

Photobucket

Thursday, June 21, 2012

Heart

Judul buku : Heart
Penulis : Ninit Yunita
Skenario : Armantono
Desain sampul : StarVision dan Jeffri Fernando
Penerbit : Gagas Media
Tebal buku : 168 halaman
Cetakan pertama, April 2006

Bahkan ampe saya nulis review ini, saya masih gak tahu apa sih yang bikin saya sanggup ngabisin novel ini? Padahal novel sebagus Clara's Medal aja masih ke-pending ampe sekarang.

(Mungkin) jawabannya seperti kata Bertrand Russel ini :
“There are two motives for reading a book; one, that you enjoy it; the other, that you can boast about it [on Goodreads].”

Pastinya, kalo menyangkut buku ini saya masuk kategori kedua. #ngunyahsemurhati

Jalan ceritanya singkat aja ya karena saya yakin udah banyak yang tahu juga.
Rachel (di film diperankan Nirina Zubir) dan Farrel (Irwansyah) bersahabat sejak kecil. Rachel naksir Farrel tapi gak berani bilang. Dia cuma curhat ke sebatang pohon dengan cara menuliskan pesannya di pohon itu.
(dia gak punya temen lain selain Farrel apa? Ngapain juga curhat ke pohon? Bahkan curhat ke kucing gang sebelah pun masih lebih mending daripada curhat ke pohon. Minimal kan si kucing bisa bahas curhatan anda dengan kucing tetangga lainnya dan siapa tahu nemu solusi. Lah kalo pohon? Apa sih yang diharapkan dari curhat ke pohon? Apa Rachel berharap angin akan menyampaikan curhatannya ke pohon tetangga? Kalo iya, berarti Rachel lupa akan sinetron fenomenal jaman dulu yang sekaligus memberikan informasi berharga untuk kita yaitu : ANGIN TAK DAPAT MEMBACA). *Buat yang gak ngerti silakan google* *dan saya baru sadar betapa penyebutan judul sinetron itu membuka rahasia umur saya* #dem!

Baiklah...kita balik ke topik sebelum saya mempermalukan diri lebih jauh. Anywaaaayyyy, Farrel naksir sama Luna (acha) dan belakangan baru ketahuan si Luna ini sakit sirosis hepatis yang udah parah banget ampe cuma bisa disembuhin dengan transplantasi hati.
Di sisi lain, Rachel yang patah hati ngeliat kemesraan Farrel-Luna, lari sambil stress ke arah hutan (ato bukit?) sampe akhirnya jatuh terperosok di jurang. Bikin dia harus masuk RS, sampai diamputasi kakinya.
In the end, Rachel memberikan hatinya pada Luna.

Nah sekarang waktunya saya list kejanggalan-kejanggalan di buku ini menurut saya :

1. Luna itu sakit sirosis kan? Gak dibilang sih sirosis kelas apa, tapi kalo dibilang ampe cuma bisa diselamatkan dengan transplantasi hepar, logikanya sih udah masuk ke kelas Child C dong ya. Nah masalahnya, emang penderita sirosis hepatis child C masih "sebagus" itu tampilan fisiknya? Mestinya sih udah ada asites (cairan di perut itu lho), spider nevi, kurus, matanya cekung kayak tengkorak, lemah. Pokoknya gak terlihat sebagus itu ampe si Farrel (cowoknya) gak bisa nyadar kalo si cewe ini gak sehat. Dan pastinya gak bisa diajak makan-makan cantik di pinggir kawah ato dayung-dayung perahu di danau!

2. Adegan makan di pinggir kawah diiringi pemusik itu emang romantis sih. Tapi gak logis, jenderal. Sekurang kerjaan apa sih jasa ekspedisi itu ampe mau-maunya angkat-angkat meja, kursi, makanan2 beserta pemusiknya ke samping kawah? Ini kawaaaahhhh lho yaaaa. Bukan sekedar kaki gunung. Coba bayangkan ada 4 petugas jasa ekspedisi ngangkut2 meja ke pinggir kawah, lalu cengo somewhere nunggu si client kelar makan dan bawa turun lagi itu meja dan kursi-kursi. Dan semua itu cuma karena ada 1 orang cowo kesambet yang entah kenapa mikir makan di pinggir kawah itu jenius! (jenius sih kalo dipikir. Kalo ceweknya ngeselin kan tinggal dilempar ke kawah). Untung saya gak pernah kepikir buka jasa ekspedisi.

3. Si Rachel meninggalnya kenapa sih? Kan kakinya infeksi ya sampe harus diamputasi. Trus udah gitu setelah dirawat beberapa hari, kondisinya makin parah. Kemungkinannya sih sepsis ya.
Nah pertanyaan saya : emang orang sepsis boleh jadi donor? Ampe donor hati lagi. Woy....kalo sebadan2nya aja udah terinfeksi kuman ampe sepsis, hatinya pasti juga kena lah. Dan sejak kapan hati penuh kuman gitu boleh didonorin?

4. Kalo pun orang sepsis boleh jadi donor, emang dikira ngedonor organ itu segampang orang tuker baju?
Banyaaaakkkk tes yang musti dilakukan untuk memastikan hati donor dan resipien bakal compatible. Gak cukup cuma sekedar tes darah aja (itu pun kalo emang bener dilakukan tes darah).
It's like :
"Cuy...hati gw rusak nih. Kudu ditransplan ama yang baru."
"Nyante ma pren. Loe pake hati gw aja. Pasti cocok dah. Wong kita suka ama cowo yang sama. Itu aja artinya kita sehati kan?"
"Cerdas abis loe, cuy."


Itu. Emang. Ide. Tercerdas. Sih. :/

5. Dan anggaplah Rachel dan Luna memang compatible dalam segala hal ampe bisa donor hati, kenapa juga si Rachel mesti meninggal? Transplantasi hati itu gak mesti dari orang meninggal kok. Kalo si Rachel emang niat ngedonorin, dia bisa aja langsung donorin tanpa perlu nunggu ampe jadi sepsis dan hati-nya penuh kuman dooonngg (tetep keukeuh degan teori si Rachel sepsis)

6. Yang paling mengganggu itu : JUDULnyaaaa.....JUDULnyaaaaaaaa. #keselektoa
Itu judul aja udah "Heart" gitu lho. Kenapa pula yang ribet dibahas tentang transplantasi hati? Ini semua orang yang terlibat dalam novel ini (dan juga filmnya) nyadar gak sih kalo heart itu jantung?

Apa?

Heart itu cuma metafora? (eh bener gak istilahnya metafora?)

Tadinya saya juga mikir gitu kok.

Sampe saya ngebaca surat terakhir dari Rachel ke Farrel yang menjelaskan bahwa dia sangat mencintai Farrel dan dia mendonorkan hati-nya ke Luna sebagai bukti kebesaran cintanya. Surat itu pun ditutup dengan kalimat : dengan cara ini "my heart will always be with you".
Dan sampe disitu, saya buru-buru cari kamus. Cuma buat mastiin apakah arti Heart sudah berubah sekarang ini.
Dan ternyata belum sih.
Yang bikin saya mikir, kapan si Rachel ngasi jantungnya ke Farrel?
#riweuh ya saya#

But anyway, saya seriusan berpendapat mestinya keseluruhan cerita diganti aja jadi sakit jantung dan transplantasi jantung. Seenggaknya point 1 dan 5 bisa jadi masuk akal. Dan point 6 ini bahkan gak perlu ada sama sekali.

Mungkin emang awalnya tentang jantung ya. Tapi karena dianggap pasaran, ya diganti hati.

Eaaaa....ngapain juga saya ribet gini masalah judul?
Ya maklum. Namanya juga orang bawel :p

Ninit Yunita bukan penulis jelek kok. Jauh dari itu malah.
Segala kekacrutan yang ada di novel ini gak bisa disalahkan kepada Ninit seorang. Manajer sejenius Jose Mourinho pun bakal nyerah kalo disuruh ngelatih sekumpulan tukang gorengan buat main bola dan memenangkan UCL.
Sama kayak Ninit. Sejenius apapun dia, gak bisa diharapkan novelnya ini bisa jadi spektakuler kalo materi dasarnya aja udah kendor, sekendor celana donal bebek.
Oh wait....donal bebek gak pernah pake celana.
*well now you know why he never wear any pants, rite?*

Kesalahan Ninit adalah mau-maunya menerima job ini. Apa dia menganggapnya sebagai tantangan? Ato karena honornya menggiurkan?
Gak tau dan gak mau tau juga.




Saya masih memberi buku ini rating setengah bintang juga karena menghargai jalinan kalimat dan diksi nya Ninit. Selamat ya, mbak. Seenggaknya dalam hal rating versi saya, novel anda sukses menyamai Breaking Dawn. Tentu saja itu prestasi, karena baru 2 novel yang dapat rating setengah bintang dari saya.

Mbak Ninit, please lain kali lebih selektif lagi dalam menerima tawaran job.
Buku itu seharusnya mencerdaskan bangsa, bukannya ikut menjerumuskan seperti yang sukses dilakukan oleh (kebanyakan) sinetron dan film kita. Apalagi anda termasuk novelis smart yang bisa menggabungkan The art of war dan resep tiramisu dalam 1 novel.

Dan sungguh, dari novel cerdas seperti itu ke novel kancut seperti ini adalah sebuah downgrade yang menyedihkan :'(

Wednesday, October 26, 2011

Breaking Dawn


Uhm....udah lama ya saya gak bikin review yang penuh celaan?
Let's start now ;) *merentangkan lengan kiri - rentangkan lengan kanan - lemaskan kedua jari - kretek - kretek - ah..feel good ^_^*

For Twilight Saga fans, back off please.
If you still insist to read, well..you've been warned
Oh and alsooo...FULL SPOILER!!! (tapi hari gini masak iya masih belum baca nih buku?)

SINOPSIS :

Bila kau mencintai orang yang membunuhmu, kau tak punya pilihan. Bila nyawamu satu-satunya yang harus kauberikan untuk orang yang kaucintai, bagaimana mungkin kau tidak memberikannya? Bagi Bella Swan, mencintai dan dicintai vampir bernama Edward adalah bagaikan khayalan dan mimpi buruk yang dirajut jadi satu ke dalam kenyataan. Bukan itu saja, hubungannya yang sangat istimewa dengan Jacob Black sang werewolf, ternyata menyeret Bella ke pilihan-pilihan pelik yang membuat hati keduanya tercabik-cabik. Tapi konon cinta harus memilih, dan karenanya Bella harus memutuskan. Dan sebagai orang yang sangat mengenal Bella, Jacob tahu persis apa keputusan gadis itu. Lalu sanggupkah Jacob meninggalkan Bella selamanya untuk menyembuhkan luka-luka hatinya sendiri? Dan ketika Bella mencarinya, sanggupkah Jacob mengatakan tidak?

COMMENT :

Selama baca buku ini saya curiga, jangan - jangan saya masochist? Soalnya saya tetap menuntaskan baca buku ini walaupun sebenarnya saya udah eneg, bete dan pengen buanget ngerobeknya.

Tapi saya lebih curiga lagi klo Stephanie Meyer itu sadistis!
Soalnya, saya gak ngerti kenapa Meyer tega ngehancurin masterpiece nya (Twilight) menjadi Breaking Dawn.

Ayo kita mulai dari :
1. karakter paling menyebalkan di buku ini : BELLA!
Halaman - halaman awal buku ini udah bikin saya bete sama Bella. Dia mengeluh tentang mobil sport canggihnya yang diberikan Edward. Dia mengeluh tentang persiapan nikahnya, tentang gaun pengantin dan cincinnya. Dan semuanya cuma karena dia khawatir dengan anggapan negatif orang - orang asing yang (bahkan) dia gak kenal karena dia nikah muda.
Saya jadi kasihan sama Bella karena dia musti menikah dengan orang-yang-dia-cintai-lebih-besar-daripada-hidupnya.

Belum lagi egoisnya Bella yang udah dimulai di buku sebelumnya dan ditonjolkan banget di sini. Dimulai dari perlakuannya ke Jacob.
Di Eclipse, Bella nyadar kalo dia mencintai Jacob tapi gak bisa hidup tanpa Edward. Jadi, dia memilih Edward.
Fine! Gak ada yang salah dengan itu.
Tapi ternyata, Bella gak bisa ngelepasin Jacob, sodara - sodara! Di pernikahannya aja, Bella udah flirting dengan Jacob. Selama kehamilannya, dia merasa gak bisa pisah dengan Jacob, pengen selalu bareng sama dia. Dan keegoisan Bella mencapai puncak waktu dia menamakan bayinya yang belum lahir dengan Edward Jacob.

Edward Jacob??? Seriously... Edward JACOB???
Dan langsung memberi nama seperti itu bahkan tanpa konsultasi dengan Edward? Tidak terpikirkah kalo Edward (mungkin) gak suka dengan nama itu? Is that your child with Edward or your child alone?
I fail to see why Edward and Jacob love this girl so much.

2. Edward..
Siapa pun kamu, anggota team Jacob ato pun team Edward, saya yakin alasan pertama kamu mengikuti Twilight (pada awalnya) adalah Edward.
Edward adalah gambaran paling ideal dari seorang hero di novel romance. Tapi pada akhir saga ini, saya berpendapat Edward bukanlah sosok ideal. Dia seorang masokis yang terobsesi pada Bella. Begitu terobsesinya sampai buta. Dan yang tadinya rada iri sama Bella, saya malah jadi kasihan sama Edward. Bayangin aja, kalimat favorit Edward adalah : "Kalau itu membuatnya bahagia, maka aku akan melakukannya."
*rolleyes* *rolleyeslagi* *ehcopot* ;p

Melalui karakter Edward, saya mendapat pesan : kalo kamu mencintai seseorang, lakukan apa pun yang membuatnya bahagia. Apa? Perasaanmu tersakiti dan harga dirimu terinjak? Gak papa!!! Karena yang terpenting adalah, dia bahagia. Ayo ulangi lagiiii....Yap betuuulll.... Dia bahagiaaaaaaaaa (ini semacam metode brain wash baru versi Meyer) :p

Oh Tante Meyer, kalo kayak gini pendapat Anda tentang cinta, maka saya prihatin dengan Anda.

3. Jacob..
Ini satu lagi karakter masokis dalam saga ini. Kalo saya ketemu Jacob, saya bakal bilang :"Dude, get a life. There're still many girls out there." Trus udah gitu saya mo keplak Jacob bolak balik. Maksudnya biar otaknya kembali ke tengah gitu dan nyadar klo sebenernya si Meyer ini benci banget banget sama Jacob

Yup...pasti Meyer benci banget banget sama tokoh rekaannya ini. Soalnya selain benci banget banget, saya gak menemukan alasan kenapa kok ya ada pengarang yang tega kasi nasib setragis itu ke ciptaannya sendiri.

Oke lah kalo Jacob cinta banget sama Bella, tapi setelah jelas Bella memilih Edward, mestinya Jacob dibiarkan saja menyingkir untuk mengobati sakit hatinya kan? Bukannya disuruh datang lagi dalam hidup Bella dan (kembali) sakit hati melihat kenyataan Bella gak bisa ngelepasin dia tapi juga milih Edward.
Belum lagi soal imprint nya Jacob.
Waktu pertama kali Meyer memperkenalkan konsep imprint, saya sudah excited aja, menduga-duga siapa yang jadi imprint-nya Jacob nanti. Leah mungkin. Ato salah satu temannya Bella. Ato Jane yg di kelompok Aro itu. Ato cewek pemadat. Ato ibu beranak 7. Ato... oke...you get the point.

Tapi kesenangan itu hilang begitu saya tahu dia imprint dengan putri Edward dan Bella.
Oh My God!!! *tepokjidat* *jidatnyaMeyer*
Tepat pada saat saya mikir cerita ini gak bisa lebih kacau lagi, it did.

Maksud saya, kenapa siiihh harus seseorang yang berhubungan dengan Bella? Gak bisakah Jacob mendapat kebahagiaannya tanpa dekat - dekat dengan Bella? Kenapa gak kasi Jacob cewek lain yang hidupnya sungguh sangat menderita? Jadi Jacob bisa berperan sebagai prince charming yang menyelamatkan seorang damsel in distress.

4. The storyline
Di antara semua hal tentang Breaking Dawn, point ke 4 ini yang paling bikin saya kecewa.
Dari sejak awal, kita sudah diberi tahu betapa menderitanya jadi vampire. Bahwa keluarga Cullen, seandainya mereka bisa kembali ke masa lalu, tak akan memilih untuk jadi vampire.

Ini cara hidup yang dikutuk Tuhan. Banyak kekurangan dan derita pada kehidupan vampire apalagi vegetarian vampire kayak keluarga Cullen. Seperti merasa haus dan mesti menahan godaan untuk gak menyerang manusia bahkan saat sedang lapar, Bella musti rela putus hubungan dari keluarganya, dan Bella gak bakal bisa punya anak.

Dan di Breaking Dawn, semua alasan itu dihancurkan dengan sempurna!

Begitu Bella membuka matanya di hari pertama dia jadi vampir, semua lebih indah, lebih berkilau, bahkan Bella pun lebih cantik.

Lalu...secara ajaib, Bella gak merasakan "haus" yang dialami para vampire. Kemampuan untuk mengontrol naluri menyerang manusia yang umumnya dipelajari bertahun - tahun, didapat Bella dengan mudah.

Bella juga gak kehilangan keluarganya. Orang tuanya bisa mengerti perubahannya walau pun gak tahu alasannya. Gak ngerti deh orang tua Bella ini terlalu sayang anak ato malah cuek. Normalnya kan orang tua pasti penasaran kalo ada yang aneh dengan anaknya. Apalagi anak yang segitu disayang kayak Bella.

Dan di atas semua itu, Bella punya anak! Salah satu faktor yang membuat Edward berusaha mencegah Bella jadi vampire dihancurkan di novel ini.

Oh ada 1 lagi.
Ada yang masih ingat kenapa Bella bisa punya anak?
Karena dia ngotot mau berhubungan dengan Edward sebelum dia jadi vampire. Dia takut "human emotion"nya bakal hilang. Ternyata, setelah dia berubah jadi vampire, semua "emotion" itu masih ada, dan bahkan bertambah berkali - kali lipat. Dan semua kenikmatan itu....abadi. Wow... -___-

Di akhir saga ini, saya jadi berpikir : kenapa kita gak jadi vampire aja sih? Hidup tampak lebih indah dan lebih mudah setelah Bella jadi vampire, so kenapa kita (para pembaca) gak bisa mengalami hal yang sama?

Judul Breaking Dawn menggambarkan awal hari yang baru untuk Bella. Dan dalam penjelasannya mengenai cover Breaking Dawn, Meyer menjelaskan klo cover itu menggambarkan transformasi Bella yang awalnya cewek lemah (pion catur) jadi yang paling kuat (ratu).

Saya pribadi berpendapat, cover itu menggambarkan Bella sebagai ratu yang mendapatkan semua yang diinginkannya, dan para pembaca (well...saya sih tepatnya) sebagai pion, yang mukanya merah karena emosi sehabis membaca novel ini.

Rating?
Oh...haruskah ada rating?
Sebenarnya gak pengen. Tapi saya menghargai usaha Meyer untuk menulisnya, lalu usaha penerbitnya. Jadi setengah bintang saja boleh lah ;p

Setengah bintang karena sampai akhir, saya masih gak ngerti apa sih pesan moral yang ingin diberikan Meyer dengan saganya ini?
Ada yang bisa kasih tahu saya?