Data Buku :
Judul Asli : Embroideries
Pengarang : Marjane Satrapi
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9792220070
Halaman : 138
Paperback
Terbit : Maret 2006
Di novel grafisnya ini, Marjane memfokuskan cerita pada neneknya dan kebiasaan beliau kumpul minum samovar (teh) di sore hari dengan teman-temannya sambil (apalagi kalau bukan) bergosip, baik gosip tentang diri sendiri atau pun orang lain.
Para wanita ini menceritakan pengalaman mereka (dan orang-orang yang mereka kenal) secara gamblang dan lucu. Dan topiknya pastilah tentang hal paling seru untuk diperbincangkan : pria dan sex!
Yap...pria dengan segala plus dan minusnya serta tradisi-tradisi Iran menyangkut perjodohan dan hal-hal konyol yang bisa terjadi karenanya.
Ada cerita tentang seorang wanita yang takut ketahuan calon suaminya kalo dia sudah nggak perawan lagi, dan untuk mengelabuinya dia membekali diri dengan silet di malam pertamanya. Niat awal sih untuk bikin luka sedikit di pahanya, tapi dia salah menggores dan malah kena ke private part suami barunya (ouch!).
Ada juga cerita lain tentang teman si nenek yang dijodohkan sewaktu berumur 13 tahun dengan pria berumur 69 tahun dan betapa dia sangat membenci suaminya sehingga dia berdoa siang malam semoga suaminya segera berpulang ke Tuhan YME. Bayangkan kebahagiaannya ketika doanya terkabul dan dia merasa memiliki dunia :))
Dan cerita yang paling lucu buat saya jelas cerita yang menyangkut teh dan sesuatu yang putih-putih. Gak seru kalo diceritain. Lebih asyik dibaca sendiri bagian yang ini.
Ada juga perdebatan kecil tentang keuntungan menjadi simpanan vs menjadi istri dan pentingnya sebuah keperawanan ato enggak. Dan hal ini membawa kita pada judul buku ini yaitu Bordir. Ternyata Bordir itu bukan membahas kain bordiran atau semacamnya toh. Tapi membahas tentang kegiatan bordir yang lain, yang melibatkan salah satu bagian tubuh wanita yang terkoyak. (PS : Nyambung gak? Hah...Enggak??? Oh well...sudahlah. Baca aja sendiri).
Membaca buku ini rasanya jadi orang ke-11 yang turut hadir dalam acara minum teh sore nenek Satrapi dan rekan-rekannya. Bacalah buku ini disertai segelas teh juga dan niscaya Anda akan merasa seperti ada dalam buku tersebut.
Swear, ini buku menarik banget. Lucu, witty humour (my favourite kind of humour), blak-blakan dan cepat pula dibaca. Gambarnya juga menarik dan bersih (dalam artian gak penuh dengan detail rumit). Dan sebenarnya saya pengen banget kasih lebih dari 3 bintang.
Sayangnya gak bisa, karena satu sebab remeh yaitu : Saya gak suka duduk ngumpul minum teh sambil ngegosipin orang yang saya gak kenal. Kalo saya punya waktu untuk minum teh di sore hari, percayalah teh itu akan saya habiskan sambil membaca buku, bukannya sambil ngalor ngidul gak jelas kayak gini.
Jangan salah, saya suka kok dengar cerita atau curhatan orang. But please, bukan tentang orang yang saya gak kenal. Dan please juga deh, jangan bahas aib orang dong.
So...though I enjoyed my tea time with The Satrapis, but I'm not sure I wannna do it again some other time.
Sunday, February 26, 2012
Saturday, February 25, 2012
The Vow
Data Film
Director: Michael Sucsy
Writers: Jason Katims, Abby Kohn, Stuart Sender, Marc Silverstein
Stars: Rachel McAdams, Channing Tatum and Sam Neill
Genres: Drama | Romance
Motion Picture Rating (MPAA) : Rated PG-13
Language: English
Release Date: 16 February 2012 (Indonesia)
Filming Locations: Chicago, Illinois, USA
Paige bukan hanya melupakan perseteruan dengan keluarganya selama 5 tahun terakhir dan perubahan karirnya dari seorang calon pengacara menjadi pemahat. Yang lebih parah, dia melupakan segala hal tentang Leo mulai dari pertemuan, pacaran hingga pernikahan mereka. Dan yang bikin makin pedih buat Leo, karena ingatan Paige justru terhenti di masa ketika Paige masih bertunangan dengan Jeremy (Scott Speedman).
Segala cara dilakukan Leo, mulai dari membawa Paige ke tempat pertama kali mereka bertemu, mengingatkan Paige pada segala kebiasaan dan janji-janji mereka hingga berdamai dengan keluarga Paige walau pun sadar kalau keluarga gadis tersebut tidak menyukainya.
Dengan alasan itulah, Leo pun memutuskan keluar dari hidup Paige.
Apa keadaan membaik untuk Paige?
Ternyata tidak juga.
Paige menemukan rahasia besar yang dipendam orang tuanya sekaligus alasan dia meninggalkan keluarganya 5 tahun lalu.
And then she start questioning her memories, whether the ones she still remembers are the truth or not. She also realizes that her lost memories are part of her life too therefore she can't deny its existencies. That's why Paige's trying to regain her lost memories for the past 5 years or at least to start her life again right where she left off, including things regarding with Leo, her vow to him and their love.
Endingnya juga sudah terprediksi. Kalau pernah baca novel Harlequin jadul karangan Rebecca Winters yang berjudul Undercover Baby, nah you pretty much got the idea about The Vow's ending.
Malah khusus untuk film ini, saya kurang puas dengan endingnya atau lebih tepatnya dengan set up ending-nya. Terasa agak diburu-buru aja dari sejak Paige menemukan rekaman pernikahannya dengan Leo. Coba adegan penutupnya ditambah 5-10 menit lagi, pasti lebih berkesan.
Tapi saya suka chemistry Chaning Tatum dan McAdams, somehow bisa dipercaya kok kalo mereka memang couple. Dan anehnya saya jadi suka lho sama 2 aktor/aktris ini. Padahal sebelumnya, saya bukan fans mereka dan gak pernah tertarik nontonin film-film mereka.
Saya juga suka dengan latar belakang kota Chicago di musim saljunya yang cantik banget. Dan suka banget dengan music scoring dan soundtrack filmnya yang bagus dan kena banget.
So...to summarize, ini memang film yang cocok banget ditonton untuk Valentine. dengan sesama teman cewek (please jangan bawa cowok, kasihan mereka. Kecuali kalo cowok yang mau dibawa itu penggemar Rachel McAdams). Good movie though not great, but at least give you a good feeling when watch it. And also entertaining for both eyes and ears. Not my most favourite chick flick but definitely worth to see.
Rating tiga bintang untuk storyline, tapi naik jadi 3,5 bintang karena setting dan soundtracknya yang keren.
Sewaktu googling tentang pasangan Carpenter, saya ketemu link ini. Di situ diceritakan perekat bagi pasangan ini (setelah kecelakaan tragis itu) adalah kepercayaan mereka pada Tuhan dan sumpah setia yang mereka ucapkan satu sama lain.
Sumpah setia itu lah yang bikin saya penasaran.
Sumpah yang diucapkan Leo dan Paige versi The Vow sih manis dan romantis, tapi kira-kira seperti apa ya sumpah yang diucapkan pasangan Carpenter? Sehebat atau setulus apakah perasaan mereka ketika bersumpah hingga mampu bertahan melawan segala badai?
Apalagi...Leo dan Paige sih punya 4 tahun pernikahan bahagia sebelumnya. Wajar kalo Leo enggan melepas masa-masa itu. Tapi Kim dan Krickitt Carpenter hanya bersama selama 18 bulan sebelum Krickitt mengalami amnesia.
Saya menduga 18 bulan itu pastilah 18 bulan yang paling membahagiakan dalam hidup Kim hingga dia tak rela melepasnya.
Benarkah demikian?
Entahlah...saya musti membaca sendiri bukunya.
Ah saya benar-benar penasaran sama buku ini. Sebelnya saya sudah mencari ke beberapa toko buku import di Jakarta dan gak ketemu juga. Satu-satunya cara pesan lewat Amazon, which I don't want.
Mudah-mudahan saya sempat ke Bras Basah bulan depan dan ketemu buku ini di sana. Wish me luck yaaaa \(^__^)/
Paige : "I vow to help you love life, to always hold you with tenderness, and to have the patience that love demands. To speak when words are needed, and to share the silence when they're not. To agree or to disagree on red velvet cake, and to live within the warmth of your heart and always call it home."
Leo : "I vow to love you. And no matter what challenges might carry us apart, we will always find a way back to each other. I vow to fiercely love you in all your forms now and forever. I promise to never forget that this is a once in a lifetime love."
Director: Michael Sucsy
Writers: Jason Katims, Abby Kohn, Stuart Sender, Marc Silverstein
Stars: Rachel McAdams, Channing Tatum and Sam Neill
Genres: Drama | Romance
Motion Picture Rating (MPAA) : Rated PG-13
Language: English
Release Date: 16 February 2012 (Indonesia)
Filming Locations: Chicago, Illinois, USA
"Life's all about moments of impact, and how they change our lives forever. But what if one day you could no longer remember any of them?"Itu pertanyaan yang harus dijawab pasangan Paige (Rachel McAdams) dan Leo (Channing Tatum) setelah dihadapkan pada suatu kecelakaan fatal yang merenggut ingatan Paige.
(Leo)
Paige bukan hanya melupakan perseteruan dengan keluarganya selama 5 tahun terakhir dan perubahan karirnya dari seorang calon pengacara menjadi pemahat. Yang lebih parah, dia melupakan segala hal tentang Leo mulai dari pertemuan, pacaran hingga pernikahan mereka. Dan yang bikin makin pedih buat Leo, karena ingatan Paige justru terhenti di masa ketika Paige masih bertunangan dengan Jeremy (Scott Speedman).
“Everything that I fell in love with is still there." "I need to make my wife fall in love with me again"Begitulah keyakinan Leo. Sumpah sucinya kepada Paige di hadapan Tuhan sewaktu pernikahan mereka dan keyakinan bahwa Paige yang dicintainya masih ada dalam diri gadis itu membuat Leo bertekad untuk membuat istrinya jatuh cinta sekali lagi dengannya.
-Leo-
Segala cara dilakukan Leo, mulai dari membawa Paige ke tempat pertama kali mereka bertemu, mengingatkan Paige pada segala kebiasaan dan janji-janji mereka hingga berdamai dengan keluarga Paige walau pun sadar kalau keluarga gadis tersebut tidak menyukainya.
“How do you look at the woman you love, and tell yourself that it's time to walk away?"Namun sampai kapan Leo mampu bertahan dalam suasana seperti ini? Apalagi keluarga Paige tidak merestui hubungan mereka dan malah berusaha mendekatkan Paige dan Jeremy. Di lain sisi ada Jeremy yang masih berharap pada Paige. And on top of that, fakta bahwa saat Paige terbangun, dia kembali ke fase saat dia (merasa) masih mencintai Jeremy. Leo sadar bagaimana perasaan Paige yang sebenarnya ke Jeremy. "I know you love him cause that's the way you used to look at me," kata Leo. Dia juga sadar bahwa sementara dia terus mencintai Paige, namun bagi Paige dia hanyalah orang asing. Dan karenanya, Paige berhak memulai hidup baru dengan cerita yang juga baru.
-Leo-
Dengan alasan itulah, Leo pun memutuskan keluar dari hidup Paige.
Apa keadaan membaik untuk Paige?
Ternyata tidak juga.
Paige menemukan rahasia besar yang dipendam orang tuanya sekaligus alasan dia meninggalkan keluarganya 5 tahun lalu.
And then she start questioning her memories, whether the ones she still remembers are the truth or not. She also realizes that her lost memories are part of her life too therefore she can't deny its existencies. That's why Paige's trying to regain her lost memories for the past 5 years or at least to start her life again right where she left off, including things regarding with Leo, her vow to him and their love.
“You can’t remember how we fell in love. You get to experience it all over again.”Ide cerita The Vow sebenarnya biasa saja, cenderung pasaran malah. Cerita orang amnesia bukan pertama kali ini ada. Dan malah, menyangkut amnesia, saya masih lebih suka 50 First Dates dibandingkan film ini (Iyaaa...saya sadar kok kalo saya gak adil membandingkan kedua film ini). Dialognya pun standar, dalam arti bukan yang baguuusss banget sampai patut dikenang tapi juga gak over cheesy.
-Leo-
Endingnya juga sudah terprediksi. Kalau pernah baca novel Harlequin jadul karangan Rebecca Winters yang berjudul Undercover Baby, nah you pretty much got the idea about The Vow's ending.
Malah khusus untuk film ini, saya kurang puas dengan endingnya atau lebih tepatnya dengan set up ending-nya. Terasa agak diburu-buru aja dari sejak Paige menemukan rekaman pernikahannya dengan Leo. Coba adegan penutupnya ditambah 5-10 menit lagi, pasti lebih berkesan.
Tapi saya suka chemistry Chaning Tatum dan McAdams, somehow bisa dipercaya kok kalo mereka memang couple. Dan anehnya saya jadi suka lho sama 2 aktor/aktris ini. Padahal sebelumnya, saya bukan fans mereka dan gak pernah tertarik nontonin film-film mereka.
Saya juga suka dengan latar belakang kota Chicago di musim saljunya yang cantik banget. Dan suka banget dengan music scoring dan soundtrack filmnya yang bagus dan kena banget.
So...to summarize, ini memang film yang cocok banget ditonton untuk Valentine. dengan sesama teman cewek (please jangan bawa cowok, kasihan mereka. Kecuali kalo cowok yang mau dibawa itu penggemar Rachel McAdams). Good movie though not great, but at least give you a good feeling when watch it. And also entertaining for both eyes and ears. Not my most favourite chick flick but definitely worth to see.
Rating tiga bintang untuk storyline, tapi naik jadi 3,5 bintang karena setting dan soundtracknya yang keren.
“At a low point in my life, I didn’t think this marriage was going to work. I didn’t have the faith that we were going to make it. At the same time, I wasn’t going to leave her in the state she was in; I was vowing to stay with her.”Nah yang sebenarnya membuat saya tergerak menulis review adalah ketika saya tahu film ini terinspirasi dari kisah nyata pasangan Kim dan Krickitt Carpenter yang dituangkan dalam buku berjudul The Vow.
-Kim Carpenter-
Sewaktu googling tentang pasangan Carpenter, saya ketemu link ini. Di situ diceritakan perekat bagi pasangan ini (setelah kecelakaan tragis itu) adalah kepercayaan mereka pada Tuhan dan sumpah setia yang mereka ucapkan satu sama lain.
Sumpah setia itu lah yang bikin saya penasaran.
Sumpah yang diucapkan Leo dan Paige versi The Vow sih manis dan romantis, tapi kira-kira seperti apa ya sumpah yang diucapkan pasangan Carpenter? Sehebat atau setulus apakah perasaan mereka ketika bersumpah hingga mampu bertahan melawan segala badai?
Apalagi...Leo dan Paige sih punya 4 tahun pernikahan bahagia sebelumnya. Wajar kalo Leo enggan melepas masa-masa itu. Tapi Kim dan Krickitt Carpenter hanya bersama selama 18 bulan sebelum Krickitt mengalami amnesia.
Saya menduga 18 bulan itu pastilah 18 bulan yang paling membahagiakan dalam hidup Kim hingga dia tak rela melepasnya.
Benarkah demikian?
Entahlah...saya musti membaca sendiri bukunya.
Ah saya benar-benar penasaran sama buku ini. Sebelnya saya sudah mencari ke beberapa toko buku import di Jakarta dan gak ketemu juga. Satu-satunya cara pesan lewat Amazon, which I don't want.
Mudah-mudahan saya sempat ke Bras Basah bulan depan dan ketemu buku ini di sana. Wish me luck yaaaa \(^__^)/
The Vow :
Leo : "I vow to love you. And no matter what challenges might carry us apart, we will always find a way back to each other. I vow to fiercely love you in all your forms now and forever. I promise to never forget that this is a once in a lifetime love."
Friday, February 24, 2012
Anak Tanah Air
Data Buku :
Pengarang : Ajip Rosidi
ISBN 13 : 9789794193440
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 2008 (edisi kedua)
Saya dibesarkan dengan pemahaman PKI itu kejam. Lihat saja kelakuan mereka pada 7 pahlawan revolusi. Lihat saja bekas kekejaman mereka di Lubang Buaya. Tak banyak cerita yang saya ketahui tentang PKI selain prinsip "Sama Rata Sama Rasa"nya itu.
Karenanya saya tertarik membaca novel ini, yang menyinggung tentang partai yang pernah berjaya di dunia politik Indonesia tersebut.
Adalah Ardi yang dibesarkan di komunitas yang kental suasana Islamnya. Namun bahkan sejak kecil pun Ardi sudah melihat kejanggalan yang tak disetujuinya. Seperti bahwa Allah itu wujud, tapi seperti apa wujud Allah? Kenapa tak ada orang yang bisa menjawabnya?
Lalu guru mengajinya, Haji Raup, mengapa tiap lebaran mendapat sumbangan zakat yang paling besar? Bukankah dia seorang haji, hidup berkecukupan, kenapa pula masih harus disumbang? Dan uang sumbangan itu dipakai Pak Haji untuk membeli tanah pula. Kenapa Tuhan membiarkan ketakadilan seperti ini? Apa benar Tuhan itu ada?
Pemikiran seperti ini membuat Ardi kecil yang kritis mulai meragukan keberadaan-NYA.
Sewaktu SMU (atau Taman Siswa menurut novel ini), Ardi pindah ke ibu kota. Di tengah kesemrawutan situasi politik, Ardi menjalin persahabatan akrab dengan seniman-seniman di Taman Madya (setingkat universitas). Ardi menemukan passion-nya adalah melukis. Namun dia juga berhadapam dengan kenyataan, seniman itu hidupnya susah. Lihat saja Afandi yang sampai harus hidup menumpang. Belum lagi kenyataan bahwa tak semua orang menghargai bakatnya.
Di saat itu, Ardi bertemu dengan Lekra, organisasi seniman golongan komunis, yang justru sangat menghargai bakatnya bahkan bersedia menyelenggarakan pameran tunggal. Sedari awal, para sahabat sudah memperingatkan Ardi bahwa tak ada yang gratis di dunia ini. Apalagi Lekra sudah terkenal dengan sifatnya yang pamrih.
Ardi tak mengindahkan nasihat sahabat-sahabatnya dan tetap bersikeras mengikuti organisasi tersebut. Selain karena organisasi itu memberinya hidup yang lebih baik dan pekerjaan tetap, juga karena dia merasa ideologinya sepaham dengan organisasi tersebut.
Untuk sesaat, pilihan Ardi tampak benar walau pun dia mesti kehilangan rekan dan sahabatnya. Lekra (dengan dukungan PKI) berubah menjadi partai dengan kekuatan politik yang besar saat itu. Bahkan Presiden Sukarno pun mengandalkan partai tersebut.
Namun roda revolusi mulai bergulir. Masyarakat dan militer tak tinggal diam pada komunis yang menguasai negeri. Dan saat paham komunis diberantas dari negeri ini, bagaimanakah nasib Ardi?
Berhubung saya bakal banyak membahas sisi menarik buku ini, maka biarlah saya katakan sekarang tentang rating.
Saya kasih rating 4 bintang saja, dikurangi 1 bintang karena bab-bab awal yang sungguh bertele-tele. Ajip Rosidi berlama-lama dengan masa lalu dan latar belakang Ardi juga masa-masa bersekolah Ardi di Taman Siswa yang sebenarnya bukan konflik utama.
Nah yang saya anggap menarik dari buku ini adalah gaya penceritaan yang terbagi dalam 3 bagian.
Bagian pertama saat Ardi datang ke Jakarta hingga akhir masa sekolahnya diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga. Bagian kedua dimulai saat Ardi merintis karir sebagai pelukis hingga bergabungnya dia ke organisasi kiri, diceritakan dengan sudut pandang Ardi.
Namun bagian ketiga lah yang paling menarik. Bagian ketiga merupakan curahan hati Hasan (rekan seniman dan sahabat Ardi sejak sekolah) terhadap situasi politik Indonesia saat itu.
Setelah kita diberi tahu mengenai sisi positif Lekra (dan PKI) dari kacamata Ardi di buku kedua, maka catatan Hasan memberi kesan sebaliknya.
Hasan bercerita bagaimana kebebasan seni dan berpendapat sangat dikekang saat itu. Semua yang mengancam keberlangsungan paham komunis dianggap sebagai pemberontakan. Pada catatannya, Hasan mencurahkan kegelisahan dan idealismenya untuk tidak terikat pada organisasi mana pun karena berpendapat seni haruslah bebas.
Bab ketiga juga memberitahukan nasib para pendukung Lekra (dan PKI) juga Ardi secara tersirat. Dan ini yang menarik, karena nasib Ardi tak pernah jelas dan membuat saya penasaran.
Tapi yang jauh lebih menarik buat saya, di luar segala cerita buku ini, adalah penggambaran situasi jaman dulu.
Ternyata Jakarta itu sudah semrawut sejak dulu, dan ternyata mental bangsa ini yang mau gampangnya saja (seperti keberadaan calo di terminal atau stasiun) juga merupakan penyakit kronis.
Situasi pemilu jaman dulu dan sekarang pun sama, contohnya : di waktu dulu para partai saling menjatuhkan lawan politiknya dengan segala cara termasuk fitnah. Sounds familiar, isn't it? ;)
Dari segi seni pun tak berubah. Simak keluhan seniman-seniman dahulu tentang bangsa kita yang belum bisa menghargai seni teater secara khusus dan seni lain secara umum. Contohnya dari penonton yang masih merokok atau ngobrol bahkan berteriak-teriak saat pertunjukan sedang berlangsung. Betapa masih relevannya keluhan tersebut dengan suasana sekarang.
Simak pula pendapat Hasan tentang kelemahan pimpinan Presiden Sukarno kala itu dan betapa miripnya dengan situasi kepemimpinan di Indonesia belakang ini :
Buat saya ini menyedihkan. Karena bahkan 40 tahun setelah peristiwa di buku ini pun, (mental) bangsa ini belum banyak berubah dan kita belum banyak belajar.
Dan pertanyaan Hasan tentang Indonesia yang tertulis di akhir buku ini pun :
--"Dapatkah negaraku mencapai keadaan demikian? Keadaan yang disebut murah sandang murah pangan, aman tentram kerta raharja, gemah ripah loh jinawi."--
terasa sebagai satu pertanyaan yang absurd.
Buku ini merupakan pemberian dari Oky Septya karena saya menang lomba review nya yang diadakan tahun lalu. Seharusnya review ini tayang tanggal 10 februari kemarin, tapi malah mulur jauh banget. Maaf ya, ki >.<
Pengarang : Ajip Rosidi
ISBN 13 : 9789794193440
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 2008 (edisi kedua)
Saya dibesarkan dengan pemahaman PKI itu kejam. Lihat saja kelakuan mereka pada 7 pahlawan revolusi. Lihat saja bekas kekejaman mereka di Lubang Buaya. Tak banyak cerita yang saya ketahui tentang PKI selain prinsip "Sama Rata Sama Rasa"nya itu.
Karenanya saya tertarik membaca novel ini, yang menyinggung tentang partai yang pernah berjaya di dunia politik Indonesia tersebut.
Adalah Ardi yang dibesarkan di komunitas yang kental suasana Islamnya. Namun bahkan sejak kecil pun Ardi sudah melihat kejanggalan yang tak disetujuinya. Seperti bahwa Allah itu wujud, tapi seperti apa wujud Allah? Kenapa tak ada orang yang bisa menjawabnya?
Lalu guru mengajinya, Haji Raup, mengapa tiap lebaran mendapat sumbangan zakat yang paling besar? Bukankah dia seorang haji, hidup berkecukupan, kenapa pula masih harus disumbang? Dan uang sumbangan itu dipakai Pak Haji untuk membeli tanah pula. Kenapa Tuhan membiarkan ketakadilan seperti ini? Apa benar Tuhan itu ada?
Pemikiran seperti ini membuat Ardi kecil yang kritis mulai meragukan keberadaan-NYA.
Sewaktu SMU (atau Taman Siswa menurut novel ini), Ardi pindah ke ibu kota. Di tengah kesemrawutan situasi politik, Ardi menjalin persahabatan akrab dengan seniman-seniman di Taman Madya (setingkat universitas). Ardi menemukan passion-nya adalah melukis. Namun dia juga berhadapam dengan kenyataan, seniman itu hidupnya susah. Lihat saja Afandi yang sampai harus hidup menumpang. Belum lagi kenyataan bahwa tak semua orang menghargai bakatnya.
Di saat itu, Ardi bertemu dengan Lekra, organisasi seniman golongan komunis, yang justru sangat menghargai bakatnya bahkan bersedia menyelenggarakan pameran tunggal. Sedari awal, para sahabat sudah memperingatkan Ardi bahwa tak ada yang gratis di dunia ini. Apalagi Lekra sudah terkenal dengan sifatnya yang pamrih.
Ardi tak mengindahkan nasihat sahabat-sahabatnya dan tetap bersikeras mengikuti organisasi tersebut. Selain karena organisasi itu memberinya hidup yang lebih baik dan pekerjaan tetap, juga karena dia merasa ideologinya sepaham dengan organisasi tersebut.
Untuk sesaat, pilihan Ardi tampak benar walau pun dia mesti kehilangan rekan dan sahabatnya. Lekra (dengan dukungan PKI) berubah menjadi partai dengan kekuatan politik yang besar saat itu. Bahkan Presiden Sukarno pun mengandalkan partai tersebut.
Namun roda revolusi mulai bergulir. Masyarakat dan militer tak tinggal diam pada komunis yang menguasai negeri. Dan saat paham komunis diberantas dari negeri ini, bagaimanakah nasib Ardi?
"Keindahan itu tidak hanya terdapat pada hal-hal yang bagus saja. Tidak hanya terdapat pada hal yang menyenangkan saja. Keindahan itu terdapat pula pada hal sehari-hari yang biasanya tidak dianggap indah. Keindahan itu terdapat dalam kejujuran."Saat membaca beberapa halaman awal buku ini, saya langsung bersyukur gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa 70an walau pun buku ini bersetting tahun 1960an. Seandainya penulis menggunakan gaya bahasa 60an, kayaknya saya bakal butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan :D
-Ardi-
Berhubung saya bakal banyak membahas sisi menarik buku ini, maka biarlah saya katakan sekarang tentang rating.
Saya kasih rating 4 bintang saja, dikurangi 1 bintang karena bab-bab awal yang sungguh bertele-tele. Ajip Rosidi berlama-lama dengan masa lalu dan latar belakang Ardi juga masa-masa bersekolah Ardi di Taman Siswa yang sebenarnya bukan konflik utama.
Nah yang saya anggap menarik dari buku ini adalah gaya penceritaan yang terbagi dalam 3 bagian.
Bagian pertama saat Ardi datang ke Jakarta hingga akhir masa sekolahnya diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga. Bagian kedua dimulai saat Ardi merintis karir sebagai pelukis hingga bergabungnya dia ke organisasi kiri, diceritakan dengan sudut pandang Ardi.
Namun bagian ketiga lah yang paling menarik. Bagian ketiga merupakan curahan hati Hasan (rekan seniman dan sahabat Ardi sejak sekolah) terhadap situasi politik Indonesia saat itu.
Setelah kita diberi tahu mengenai sisi positif Lekra (dan PKI) dari kacamata Ardi di buku kedua, maka catatan Hasan memberi kesan sebaliknya.
Hasan bercerita bagaimana kebebasan seni dan berpendapat sangat dikekang saat itu. Semua yang mengancam keberlangsungan paham komunis dianggap sebagai pemberontakan. Pada catatannya, Hasan mencurahkan kegelisahan dan idealismenya untuk tidak terikat pada organisasi mana pun karena berpendapat seni haruslah bebas.
Bab ketiga juga memberitahukan nasib para pendukung Lekra (dan PKI) juga Ardi secara tersirat. Dan ini yang menarik, karena nasib Ardi tak pernah jelas dan membuat saya penasaran.
Tapi yang jauh lebih menarik buat saya, di luar segala cerita buku ini, adalah penggambaran situasi jaman dulu.
Ternyata Jakarta itu sudah semrawut sejak dulu, dan ternyata mental bangsa ini yang mau gampangnya saja (seperti keberadaan calo di terminal atau stasiun) juga merupakan penyakit kronis.
Situasi pemilu jaman dulu dan sekarang pun sama, contohnya : di waktu dulu para partai saling menjatuhkan lawan politiknya dengan segala cara termasuk fitnah. Sounds familiar, isn't it? ;)
Dari segi seni pun tak berubah. Simak keluhan seniman-seniman dahulu tentang bangsa kita yang belum bisa menghargai seni teater secara khusus dan seni lain secara umum. Contohnya dari penonton yang masih merokok atau ngobrol bahkan berteriak-teriak saat pertunjukan sedang berlangsung. Betapa masih relevannya keluhan tersebut dengan suasana sekarang.
Simak pula pendapat Hasan tentang kelemahan pimpinan Presiden Sukarno kala itu dan betapa miripnya dengan situasi kepemimpinan di Indonesia belakang ini :
"Dia tak mau mengakui kenyataan yang berkembang di depan matanya. Dia tetap tak mau menerima tuntutan masyarakat yang meminta keadilan. Dia tetap ingin hidup dalam mimpi-mimpinya yang penuh gemerlapan, tanpa menyadari realitas yang ada. Dia ingin membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, yang dimalui bangsa-bangsa lain, tetapi yang ditumbuhkannya adalah manusia-manusia kerdil yang hanya boleh membebek kepadanya saja."(Note : Dia mengacu kepada Presiden Sukarno. Tapi boleh coba ganti dengan nama Presiden mana pun dan hasilnya kurang lebih sama)
Buat saya ini menyedihkan. Karena bahkan 40 tahun setelah peristiwa di buku ini pun, (mental) bangsa ini belum banyak berubah dan kita belum banyak belajar.
Dan pertanyaan Hasan tentang Indonesia yang tertulis di akhir buku ini pun :
--"Dapatkah negaraku mencapai keadaan demikian? Keadaan yang disebut murah sandang murah pangan, aman tentram kerta raharja, gemah ripah loh jinawi."--
terasa sebagai satu pertanyaan yang absurd.
Buku ini merupakan pemberian dari Oky Septya karena saya menang lomba review nya yang diadakan tahun lalu. Seharusnya review ini tayang tanggal 10 februari kemarin, tapi malah mulur jauh banget. Maaf ya, ki >.<
Books In English Reading Challenge
Huaahh....saking padatnya agenda bulan ini, saya belum membuat satu review pun.
Haduh...mesti belajar manajemen waktu dengan lebih baik nih.
Walau begitu, saya memberanikan diri untuk mengikuti sebuah challenge lagi, yaitu Books in English yang dimotori oleh surgabukuku kepunyaan @melmarian. Aturannya simple saja, hanya membaca minimal sebuah buku berbahasa inggris setiap bulannya.
Saya sih belum punya rencana akan membaca apa dalam 10 bulan ke depan. Tapi beberapa judul yang masuk dalam list to-read saya adalah :
- Ringolevio : A Life Played For Keeps (biografi tentang Emmet Grogan)
- Spirit House by Mark Dapin (drama keluarga sih, tapi ratingnya di Goodreads bagus bikin saya penasaran)
- Katherine the Queen: The Remarkable Life of Katherine Parr by Linda Porter (biografi tentang Ratu Katherine). Rencananya novel ini juga mau saya ikutkan dalam baca bareng BBI untuk bulan Maret dengan tema wanita. (PS : iyaaaa....saya sadar kalo saya ambisius)
- What Katy Did At School & What Kathy Did Next (classic children story from Susan Coolidge)
- The Magic Faraway Tree by Enid Blython
Yah mudah-mudahan bisa tercapai rencana saya membaca buku-buku ini.
Haduh...mesti belajar manajemen waktu dengan lebih baik nih.
Walau begitu, saya memberanikan diri untuk mengikuti sebuah challenge lagi, yaitu Books in English yang dimotori oleh surgabukuku kepunyaan @melmarian. Aturannya simple saja, hanya membaca minimal sebuah buku berbahasa inggris setiap bulannya.
Saya sih belum punya rencana akan membaca apa dalam 10 bulan ke depan. Tapi beberapa judul yang masuk dalam list to-read saya adalah :
- Ringolevio : A Life Played For Keeps (biografi tentang Emmet Grogan)
- Spirit House by Mark Dapin (drama keluarga sih, tapi ratingnya di Goodreads bagus bikin saya penasaran)
- Katherine the Queen: The Remarkable Life of Katherine Parr by Linda Porter (biografi tentang Ratu Katherine). Rencananya novel ini juga mau saya ikutkan dalam baca bareng BBI untuk bulan Maret dengan tema wanita. (PS : iyaaaa....saya sadar kalo saya ambisius)
- What Katy Did At School & What Kathy Did Next (classic children story from Susan Coolidge)
- The Magic Faraway Tree by Enid Blython
Yah mudah-mudahan bisa tercapai rencana saya membaca buku-buku ini.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)