Pengarang : Ajip Rosidi
ISBN 13 : 9789794193440
Penerbit : Pustaka Jaya
Tahun : 2008 (edisi kedua)
Saya dibesarkan dengan pemahaman PKI itu kejam. Lihat saja kelakuan mereka pada 7 pahlawan revolusi. Lihat saja bekas kekejaman mereka di Lubang Buaya. Tak banyak cerita yang saya ketahui tentang PKI selain prinsip "Sama Rata Sama Rasa"nya itu.
Karenanya saya tertarik membaca novel ini, yang menyinggung tentang partai yang pernah berjaya di dunia politik Indonesia tersebut.
Adalah Ardi yang dibesarkan di komunitas yang kental suasana Islamnya. Namun bahkan sejak kecil pun Ardi sudah melihat kejanggalan yang tak disetujuinya. Seperti bahwa Allah itu wujud, tapi seperti apa wujud Allah? Kenapa tak ada orang yang bisa menjawabnya?
Lalu guru mengajinya, Haji Raup, mengapa tiap lebaran mendapat sumbangan zakat yang paling besar? Bukankah dia seorang haji, hidup berkecukupan, kenapa pula masih harus disumbang? Dan uang sumbangan itu dipakai Pak Haji untuk membeli tanah pula. Kenapa Tuhan membiarkan ketakadilan seperti ini? Apa benar Tuhan itu ada?
Pemikiran seperti ini membuat Ardi kecil yang kritis mulai meragukan keberadaan-NYA.
Sewaktu SMU (atau Taman Siswa menurut novel ini), Ardi pindah ke ibu kota. Di tengah kesemrawutan situasi politik, Ardi menjalin persahabatan akrab dengan seniman-seniman di Taman Madya (setingkat universitas). Ardi menemukan passion-nya adalah melukis. Namun dia juga berhadapam dengan kenyataan, seniman itu hidupnya susah. Lihat saja Afandi yang sampai harus hidup menumpang. Belum lagi kenyataan bahwa tak semua orang menghargai bakatnya.
Di saat itu, Ardi bertemu dengan Lekra, organisasi seniman golongan komunis, yang justru sangat menghargai bakatnya bahkan bersedia menyelenggarakan pameran tunggal. Sedari awal, para sahabat sudah memperingatkan Ardi bahwa tak ada yang gratis di dunia ini. Apalagi Lekra sudah terkenal dengan sifatnya yang pamrih.
Ardi tak mengindahkan nasihat sahabat-sahabatnya dan tetap bersikeras mengikuti organisasi tersebut. Selain karena organisasi itu memberinya hidup yang lebih baik dan pekerjaan tetap, juga karena dia merasa ideologinya sepaham dengan organisasi tersebut.
Untuk sesaat, pilihan Ardi tampak benar walau pun dia mesti kehilangan rekan dan sahabatnya. Lekra (dengan dukungan PKI) berubah menjadi partai dengan kekuatan politik yang besar saat itu. Bahkan Presiden Sukarno pun mengandalkan partai tersebut.
Namun roda revolusi mulai bergulir. Masyarakat dan militer tak tinggal diam pada komunis yang menguasai negeri. Dan saat paham komunis diberantas dari negeri ini, bagaimanakah nasib Ardi?
"Keindahan itu tidak hanya terdapat pada hal-hal yang bagus saja. Tidak hanya terdapat pada hal yang menyenangkan saja. Keindahan itu terdapat pula pada hal sehari-hari yang biasanya tidak dianggap indah. Keindahan itu terdapat dalam kejujuran."Saat membaca beberapa halaman awal buku ini, saya langsung bersyukur gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa 70an walau pun buku ini bersetting tahun 1960an. Seandainya penulis menggunakan gaya bahasa 60an, kayaknya saya bakal butuh waktu lebih lama untuk menyelesaikan :D
-Ardi-
Berhubung saya bakal banyak membahas sisi menarik buku ini, maka biarlah saya katakan sekarang tentang rating.
Saya kasih rating 4 bintang saja, dikurangi 1 bintang karena bab-bab awal yang sungguh bertele-tele. Ajip Rosidi berlama-lama dengan masa lalu dan latar belakang Ardi juga masa-masa bersekolah Ardi di Taman Siswa yang sebenarnya bukan konflik utama.
Nah yang saya anggap menarik dari buku ini adalah gaya penceritaan yang terbagi dalam 3 bagian.
Bagian pertama saat Ardi datang ke Jakarta hingga akhir masa sekolahnya diceritakan dengan sudut pandang orang ketiga. Bagian kedua dimulai saat Ardi merintis karir sebagai pelukis hingga bergabungnya dia ke organisasi kiri, diceritakan dengan sudut pandang Ardi.
Namun bagian ketiga lah yang paling menarik. Bagian ketiga merupakan curahan hati Hasan (rekan seniman dan sahabat Ardi sejak sekolah) terhadap situasi politik Indonesia saat itu.
Setelah kita diberi tahu mengenai sisi positif Lekra (dan PKI) dari kacamata Ardi di buku kedua, maka catatan Hasan memberi kesan sebaliknya.
Hasan bercerita bagaimana kebebasan seni dan berpendapat sangat dikekang saat itu. Semua yang mengancam keberlangsungan paham komunis dianggap sebagai pemberontakan. Pada catatannya, Hasan mencurahkan kegelisahan dan idealismenya untuk tidak terikat pada organisasi mana pun karena berpendapat seni haruslah bebas.
Bab ketiga juga memberitahukan nasib para pendukung Lekra (dan PKI) juga Ardi secara tersirat. Dan ini yang menarik, karena nasib Ardi tak pernah jelas dan membuat saya penasaran.
Tapi yang jauh lebih menarik buat saya, di luar segala cerita buku ini, adalah penggambaran situasi jaman dulu.
Ternyata Jakarta itu sudah semrawut sejak dulu, dan ternyata mental bangsa ini yang mau gampangnya saja (seperti keberadaan calo di terminal atau stasiun) juga merupakan penyakit kronis.
Situasi pemilu jaman dulu dan sekarang pun sama, contohnya : di waktu dulu para partai saling menjatuhkan lawan politiknya dengan segala cara termasuk fitnah. Sounds familiar, isn't it? ;)
Dari segi seni pun tak berubah. Simak keluhan seniman-seniman dahulu tentang bangsa kita yang belum bisa menghargai seni teater secara khusus dan seni lain secara umum. Contohnya dari penonton yang masih merokok atau ngobrol bahkan berteriak-teriak saat pertunjukan sedang berlangsung. Betapa masih relevannya keluhan tersebut dengan suasana sekarang.
Simak pula pendapat Hasan tentang kelemahan pimpinan Presiden Sukarno kala itu dan betapa miripnya dengan situasi kepemimpinan di Indonesia belakang ini :
"Dia tak mau mengakui kenyataan yang berkembang di depan matanya. Dia tetap tak mau menerima tuntutan masyarakat yang meminta keadilan. Dia tetap ingin hidup dalam mimpi-mimpinya yang penuh gemerlapan, tanpa menyadari realitas yang ada. Dia ingin membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, yang dimalui bangsa-bangsa lain, tetapi yang ditumbuhkannya adalah manusia-manusia kerdil yang hanya boleh membebek kepadanya saja."(Note : Dia mengacu kepada Presiden Sukarno. Tapi boleh coba ganti dengan nama Presiden mana pun dan hasilnya kurang lebih sama)
Buat saya ini menyedihkan. Karena bahkan 40 tahun setelah peristiwa di buku ini pun, (mental) bangsa ini belum banyak berubah dan kita belum banyak belajar.
Dan pertanyaan Hasan tentang Indonesia yang tertulis di akhir buku ini pun :
--"Dapatkah negaraku mencapai keadaan demikian? Keadaan yang disebut murah sandang murah pangan, aman tentram kerta raharja, gemah ripah loh jinawi."--
terasa sebagai satu pertanyaan yang absurd.
Buku ini merupakan pemberian dari Oky Septya karena saya menang lomba review nya yang diadakan tahun lalu. Seharusnya review ini tayang tanggal 10 februari kemarin, tapi malah mulur jauh banget. Maaf ya, ki >.<
sejarah PKI emang semrawut seperti kondisi indonesia, tapi tetep membuat bertanya2 apa yg sebenernya terjadi pada tahun 60-an.
ReplyDeleteMenurut saya sih, sejarah PKI ga jelas. Dikatakan jahat juga saya ga percaya, itu kan kata media. Aslinya? Sejarah banyak yg ditutup-tutupi sih, sayangnya...
ReplyDelete@ Mbak Shinta dan Sabrina : iya. sejarah PKI itu gak jelas. Buku ini juga berusaha netral dengan menunjukkan PKI dari 2 sisi.
ReplyDeleteJadi pada dasarnya tetap bingung. Tapi yah...sepertinya PKI memang bakal selalu jadi misteri
@mba Dewi
ReplyDeleteWaw, thanks ya mba sudah di review *hug* XD
image yg aku tangkep tentang PKI itu jahat, kejam, hehe. nggak tahu kenyataannya seperti apa, yang jelas banyak keturunan PKI yg merasa tersisih, padahal bukan mereka yg berbuat
ReplyDeleteaku penasaran sama buku ini...
ReplyDeletemasih inget soalnya jaman dulu betapa hebohnya buku Putih yang bercerita tentang PKI, penasaran membaca tentang PKI dari sisi yang lain...
@okeyzz : hehehe...maap ya lama *meringis*
ReplyDelete@peri hutan : iyaaa. aku juga ngerasa gak adil diskriminasi yang diterima para keturunan PKI itu. Padahal mrk gak ada sangkut pautnya. Dan mungkin aja dulu kakek/nenek terlibat PKI krn gak ngerti (sama kayak Ardi ini)
@Putri : Buku ini seru kok , put. Asal sabar aja baca awalnya yg lambat pisan itu.
saya berusaha menjelaskan ke teman bahwa presiden pertama kita itu idealisnya luar biasa *nada buruk* tapi ya tetap saja seakan dia melihat beliau sebagai presiden sempurna....
ReplyDelete