Judul : I Too Had A Love Story
Penulis : Ravinder Singh
Penerbit : Penguin Metro Reads
Tahun Terbit : 2012
ISBN : 9780143418764
Bahasa : Inggris
Paperback, 206 pages
Rating : 2 stars out of 5
Selama trip ke India kemarin, ada 2 buku lokal yang paling sering saya lihat penampakannya dan selalu masuk di daftar best seller tiap toko buku yang saya datangi. Buku itu adalah shiva trilogi dari Amis dan dwilogi Love Story dari Ravinder Singh ini.
Awalnya sih saya gak tertarik sama buku ini (abis covernya jelek banget #eaa), tapi setelah berkali-kali ditawarkan di tiap toko yang saya masuki (ampe lapak buku bekas pinggir jalan juga nawarin lho), dan karena dapat harga diskon (IDR 30K untuk 2 buku) akhirnya iman saya luluh juga #halah.
Baru saat baca buku ini saya ngeh kalo ini adalah kisah nyata (makanya baca blurb, wi!). Berkisah tentang Ravi (penulis buku ini), seorang pekerja IT yang mapan dan berasal dari keluarga baik-baik. Apa yang kurang dari hidup dia? Apalagi kalo bukan istri. Di India sana (sama kayak di Indonesia sih) adalah perkara besar bila seorang sudah mapan tapi masih single. Masalah Ravi bukan karena standarnya ketinggian (beneran, syarat dia hanyalah calon istrinya harus orang Punjab juga), tapi karena kerjaan yang sibuk gak memungkinkan dia bersosialisasi. Gimana mo dapat pacar kalo kayak gitu?
Seorang sahabat menyarankan Ravi untuk mencoba situs matrimony. Setelah beberapa kali mencoba dan gagal, bertemulah dia dengan Kushi.
Kushi tampak seperti jawaban semua doa Ravi. Dia cantik, berwawasan luas, dari keluarga baik-baik, bisa mengerti kesibukan Ravi, orang Punjab pula. Dan yang paling penting, Kushi bisa nyambung dengan apapun topik pembicaraan Ravi. They really were a match made in heaven.
Perkenalan itu dilanjutkan masa pacaran yang singkat. Ravi dan Kushi mantap untuk menikah, kedua keluarga pun merestui. Lamaran resmi sudah dilakukan, jumlah mahar disetujui, tanggal pernikahan ditetapkan, gedung sudah dipesan, undangan sudah disebar.
Namun sayangnya....semua persiapan itu tak bisa dieksekusi. Kecelakaan yang dialami Kushi membuyarkan semua rencana dan meninggalkan Ravin terpuruk dalam kenangan (bahasa gw sok mellow banget ya? Iya emang). Dan pada akhirnya, kenangan itulah yang menggerakkan Ravin menulis buku ini.
“NOT everyone in this world has the fate to cherish the fullest form of love. Some are born ,just to experience the abbreviation of it.”Dilihat dari judulnya aja udah ketebak sih ya gimana ending buku ini. Jadi dari sejak awal memang fokus saya bukan gimana ending buku ini, tapi gimana jalan cerita yang terbentuk juga gaya bertutur penulisnya.
Dan tentang kedua hal itu, yah.....#garukpala
Soal jalan ceritanya sih...emang bener yang dibilang kebanyakan reviewer di Goodreads. Membaca interaksi Ravin dan 3 sahabatnya di awal buku rasanya kayak baca buku Five Point Someone ato One Night @ the Call Center -nya Chetan Bhagat. Itu lhoo...cerita tentang 3-4 orang anak teknik (techie) yang bersahabat, yang juga jadi inspirasi untuk film India nan femes 3 Idiots.
Dan setelah fokus cerita berpindah ke hubungan Ravin dan Kushi...yaelaahh....rasanya kayak "baca" film Bollywood banget.
Ravin dan Kushi tuh tipikal pasangan ideal ala film Bollywood deh. Keduanya sukses, dari keluarga yang sederajat dan selama pacaran juga bisa dibilang hubungannya mulus-mulus aja. Kesalahpahaman yang umum timbul pada pasangan LDR? Oho...gak ada di sini.
Belum lagi instalove yang kerasa banget. Saya bukan orang India, jadi saya gak tahu apakah di sana emang umum jatuh cinta sama orang yang cuma dikenal lewat korespondensi selama 3-4 bulan. Dan rasanya gak wajar deh bagi sebuah keluarga untuk menyetujui pilihan putra/putri mereka sebelum ketemu langsung.
Hubungan Ravin dan Kushi yang tanpa konflik ini rasanya seperti utopia buat saya.
But hey....ini kan memoar ya. Kisah nyata hidup seseorang. Dan saya pernah janji gak bakal mempertanyakan kesahihan sebuah memoar, gak peduli seabsurd apapun ceritanya.
Mengenai gaya bahasa....aduhhh....gaya bahasanya mentaah banget. Kayak baca diary remaja yang baru jatuh cinta. Belum lagi penggunaan kata yang repetitif. Entah berapa puluh kali saya baca kalo Kushi itu "beautiful", "stunning" dan Ravin "loves her so much". Juga bahwa Kushi itu "love of his life". Ampe rasanya pengen bilang : "Iyaaa...udah tahu. Loe udah ngomong gitu berkali-kali."
Ato memang buku ini bermula dari diary Ravin yang kemudian dipublish jadi buku? Sangat mungkin sih. Dan somehow saya curiga di versi diary-nya itu penulisan nama Kushi selalu disertai dengan symbol love macam diary ABG alay #ups #nyinyirdetected.
"And I'll tell you what this loneliness feels like, what it feels like to live a life without the person you loved more anyhing in the world :But hey, I've been in Ravin's shoes once. I do know how it feels to lose someone; and how all your dreams and hopes were gone with that said loved one in a blink of an eye.
Recalling something about her, you happen to laugh and in no time, sometimes even as you laugh, you taste your own tears." (page 192)
So I could understand his mushiness and grievings. Yep I know what some people think about that. To them, it looks like he was exaggerating since he's not the only one who loose his loved one, and none of them as sentimental as he was.
Well actually almost (if not all) people who lost someone the way Ravin did got it as bad as he was. We need a space and time to pity ourselves. To grieve for what we've lost, the space to vent all our sadness, frustation and longing. That said space also can be used to put down our happy memories about that lost one, so that we can always cherish and reminisce it when the going gets tough. Many people got that space by writing diary or talking to a bestfriend. Apparently Ravin chose to write a book about that and share it to the world.
"The day passes in an effort to laugh and to be happy by any means." "I have learnt to wear a fake smile. It's very difficult, but it makes my family feel that I am getting better." (page 195-196)Kalo anda penyuka berat novel romance yang mellow, saya rasa anda bisa mencoba baca buku ini. Walo jelas, jangan ngarepin cerita yang "deep" ato "life changing". Nikmati aja sebagai bacaan ringan yang membawa memori hangat cinta remaja (???) dan sedikit menggugah emosi. Yep...buat saya level buku ini emang cuma menggugah, belum sampai mengharu biru apalagi mengaduk-aduk perasaan.
In short, for me "I Too Had A Love Story" isn't a bad book. It's just an okay read for me. Thus came those 2 stars as the rating.