Penulis : Leila S Chudori
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit : 2012
Bahasa : Indonesia
ISBN : 139789799105158
Paperback. 464 Halaman
Rating : 3,5 out of 5 stars
Kecuali masa sekolah wajib 12 tahun dulu, saya jarang tinggal lama di rumah. Bahkan sampai sekarang pun, kalo dihitung dalam setahun saya lebih banyak di luar daripada anteng di rumah. Apa yang membuat pergi begitu menarik?
Buat saya, kenikmatan terbesar pergi justru ada di saat pulang. Selalu ada perasaan 'diterima' setiap melihat kembali rumah tua yang kebanjiran itu. Dan ada rasa aman dan nyaman setiap bertemu kembali dengan kamar-bak-kapal-pecah yang selalu mampu memberikan inspirasi untuk menulis blogpost ^_^ .
Pulang adalah kegiatan yang mudah dan menenangkan bagi saya.
Bagi Dimas Suryo dan ketiga rekannya, Pulang merupakan hak eksklusif yang tak bisa didapatnya lagi. Walau pun menganut paham netral, namu bekerja di kantor surat kabar yang berhaluan kiri membuat Dimas jadi buronan pemerintah Orde Baru sejak tahun 1965. Kebetulan saja dia bisa selamat karena saat petugas pemerintah mengadakan 'pembersihan' di kantornya, Dimas sedang mengikuti konferensi wartawan beraliran kiri di Santiago bersama rekannya.
Lho? Kok bisa Dimas yang netral malah ikut konferensi aliran kiri?
Ya bisa saja. Soalnya saat itu Dimas ke Santiago demi menggantikan Hananto, sahabatnya. Hananto urung ikut konferensi karena ingin membereskan pernikahannya dengan Surti Anandari yang saat itu sedang bermasalah.
"Dia ditolak oleh pemerintah Indonesia, tetapi dia tidak ditolak oleh negerinya. Dia tidak ditolak oleh tanah airnya."(Hal 198)Setelah passportnya dicabut pemerintah Indonesia dan sempat terlunta di Peking, Dimas dan ketiga rekannya pun mendapatkan suaka di Paris. Perlahan, mereka membangun sarang di kota romantis itu. Dimas bahkan bertemu dengan Viviene, seorang gadis Perancis. Mereka menjalin kasih dan menikah hingga lahirlah Lintang Utara, putri semata wayang mereka.
Dimas dan ketiga rekan juga membuka restoran Indonesia di Paris yang mendulang sukses. Restoran itu mereka beri nama Restoran Tanah Air.
Namun Dimas tetap resah. Dalam hati dia tetap merindukan tanah airnya. Dia selalu resah ingin pulang walau tahu pintu untuknya sudah tertutup.
Tiga puluh tiga tahun kemudian, justru Lintang yang berkesempatan pulang ke Indonesia. Kepulangannya demi membuat film dokumenter tentang kesaksian mereka yang terlibas di tahun 1965. Tanpa sengaja, Lintang terseret gejolak reformasi yang saat itu sedang menggelora di negeri ini. Bersama Alam, putra Hananto, Lintang pun mencoba memetik Indonesia dari kata I.N.D.O.N.E.S.I.A, berusaha mengenal tempat pulang yang begitu dirindukan ayahnya dan mencoba memahami bagi seorang Lintang Utara kemanakah tempat pulang yang sesungguhnya.
Another winter day has come and gone awaySaya kecele.
In either Paris or Rome
And I wanna go home...Let me go home
(Michael Bubble - Home)
Saya pikir novel ini akan bergelegak dengan semangat perjuangan; akan mampu membuat emosi saya membuncah dan rasa nasionalisme saya meletup; akan mampu membuat saya berteriak "MERDEKA!" seperti yang biasa terjadi saat saya membaca sesuatu yang nasionalis (atau saat saya mendengar lagu Maju Tak Gentar). Ternyata...Pulang adalah novel roman yang mengambil setting peristiwa 1965 dan 1998.
Daripada dibilang historical fiction, saya lebih sreg bilang ini novel roman saking kuyupnya cinta di novel ini. Mulai dari kisah cinta bergelora antara Dimas dan Surti, persaingan cinta teman-teman Dimas demi memperebutkan kembang kampus, cinta pandangan pertama Vivienne pada Dimas bahkan sampai cinta menggelora Lintang dan Alam.
Oh tentu saja saya tahu isi novel ini bukan hanya itu. Tapi justru itulah kesan yang tertinggal di benak saya. Selain juga kisah cinta Dimas pada Indonesia dan seni kuliner.
Saya juga mengira novel ini akan sangat membahas kehidupan Dimas dan ketiga rekannya sebagai eksil politik. Bagaimana sulitnya menjadi orang tak bertanah air, bagaimana pahitnya berkali-kali ditolak permohonan visa untuk sekadar menengok keluarga tercinta di kampung. Bagaimana pedihnya setiap kali 17 Agustus datang dan hanya bisa merayakannya dari jauh.
Ternyata novel ini lebih membahas pergolakan dan keresahan hati seorang Lintang.
Kesaksian para saksi 1965 yang semestinya digarap Lintang pun tidak mengambil porsi yang cukup banyak di sini. Ato mungkin banyak, tapi tertutupi kesanya oleh kegalauan Lintang akan arti hadir seorang Alam di hatinya. Seenggaknya itu yang terasa buat saya.
Mungkin saya termakan propaganda cover ya. Gambar tangan mengepal berlatarkan warna kuning kunyit pada cover yang mengingatkan saya pada bungkus sebuah minuman berenergi dengan tagline "Pasti JOSS!" membuat saya mengira buku ini juga akan terasa "Joss!". Lagi-lagi...saya kena bualan cover :)).
Tapi di luar rasa kecele itu, Pulang sungguh sebuah novel yang apik. Gaya bahasa Leila begitu rapi dan renyah. Saya salut karena beliau mampu menyuguhkan sebuah novel dengan gaya bahasa sastra yang begitu mudah dikunyah. Tak perlu ada kening yang berkerut dalam mengartikan untaian kata yang ditulis Leila. Semuanya enak dibaca, semuanya terangkai dengan indah. Bagi saya, seharusnya sastra memang seperti ini. Indah, puitis namun tetap bisa dicerna oleh semua kalangan, pun bagi mereka yang bukan penggemar sastra.
Saya juga suka pada gaya penceritaan multiple POV 1 yang dipake Leila di Pulang. Yang keren, Leila bisa menulis perpindahan POVnya dengan lancar. Mulai dari Hananto sebagai narator, dilanjutkan oleh Dimas, Vivienne, Lintang hingga Alam, semuanya berpindah dengan lancar. Pembaca tak dibuat bingung siapakah yang sedang bercerita saat itu. Salut, Mbak Leila.
Akhir kata, Pulang mengajak kita melihat kehidupan para eksil politik dan keturunannya dari sisi lain. Bahwa tak selamanya kiri itu salah dan kanan selalu benar. Bahwa sungguh tak adil bila kita tetap mendiskriminasi para anak dan cucu mantan tapol. Yang 'melawan' pemerintah kan bapaknya, kenapa toh turunannya masih didiskriminasi? Dan Pulang juga mengajak kita untuk selalu buka mata dan telinga pada kebenaran yang ada di dua sisi.
Tiga setengah bintang untuk Pulang.
==============================================
Buku ini adalah pemberian Santa saya yang baik hati. Terima kasih ya untuk bukunya yang seru banget :).
Sekarang saatnya menebak identitas santa saya. Seperti riddle yang tertera di sini, ada 3 hal yang bisa saya simpulkan dari riddle :
1. Santa saya anggota Bajay Jabodetabek
2. Santa pernah saya kasi dan pinjemin buku
3. Santa knows me well
Hmm....saya kenal baik semua anggota Bajay Jabo. Udah 2 dari 3 riddle terjawab (heuh?). Untuk point ke-2, saya sebenarnya punya 4 suspect. Tapi dari hasil memecahkan riddle teman-teman lain, saya bisa mencoret 3 suspect tersebut.
Lagipula di antara teman-teman bajay jabo lain, cuma si 'terduga-santa' yang belum saya temukan siapa X-nya.
Ditambah si 'terduga-santa' pernah bilang di salah satu chat bajay Jabo bahwa riddle darinya sangat mudah. Cuma tinggal cocokkin tulisan tangan saja, jangan terpengaruh isinya. Daan....akhir bulan Desember lalu, kebetulan si 'terduga-santa' mengirimkan saya paket dan tulisannya mirip dengan yang di riddle.
Jadi dengan rasa percaya diri yang membuncah (tsah!) maka saya pun menebak bahwa santa saya adalah :
Bener gak, mbak Yuska? :)
Kalo salah, saya minta maaf sama santa saya ya. Tolong tunjukkan dirimu dong.