Friday, September 13, 2013

Scene On Three #3


Happy Friday The 13th!

Jumat ini adalah waktunya Scene on Three. Sebelumnya saya postkan dulu ya rules meme ini :
  1. Tuliskan suatu adegan atau deskripsi pemandangan/manusia/situasi/kota dan sebagainya ke dalam suatu post.
  2. Jelaskan mengapa adegan atau deskripsi itu menarik, menurut versi kalian masing-masing.
  3. Jangan lupa cantumkan button Scene on Three di dalam post dengan link menuju blog Bacaan B.Zee.
  4. Masukkan link post kalian ke link tools yang ada di bawah post Bacaan B.Zee, sekalian saling mengunjungi sesama peserta Scene on Three.
  5. Meme ini diadakan setiap tanggal yang mengandung angka tiga, sesuai dengan ketersediaan tanggal di bulan tersebut (tanggal 3, 13, 23, 30, dan 31).
Di scene on three kali ini, saya pengen memasukkan potongan adegan dari novel Bola-Bola Mimpi (A Little Piece of Ground) karya Elizabeth Laird.
Laird adalah novelis yang (kebanyakan) menulis novel tentang kehidupan anak-anak yang tinggal di negara konflik atau anak jalanan. Yang saya suka dari tulisan Laird adalah para tokohnya yang masih tetap ceria walau pun tinggal di situasi yang berat. Para tokoh dalam novel Laird menyadari hidup mereka berat dan berbeda dengan anak-anak di negara bebas, namun toh mereka tidak kehilangan keriaan dan kepolosan khas anak-anak. I loovvee all her writing (at least the ones that I've read so far) because it's so touching and gave me a lot to think about.

Potongan adegan yang saya sertakan kali ini sebenarnya pernah saya tulis di review saya sebelumnya. Tapi tetap saya post lagi di sini, karena saya baru saja re-read buku ini. Boleh kan? ^_^

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Karim duduk di ujung tempat tidurnya. Kepalanya dikelilingi sekumpulan poster sepak bola yang menempel di dinding. Dahinya mengerut saat membaca selembar kertas di tangan.

Sepuluh hal terbaik yang aku inginkan dalam hidupku, tulisnya, oleh Karim Aboudi, Apartemen Jaffa 15, Ramallah, Palestina.

Di bawahnya, dengan tulisan tangan terbaik, Karim menulis:
1. Pemain sepak bola terbaik di dunia.
2. Keren, populer, ganteng, dengan tinggi minimal 1,90 meter (yang jelas lebih tinggi dari Jamal).
3. Pembebas Palestina dan pahlawan nasional.
4. Pembawa acara televisi dan aktor terkenal (yang penting terkenal).
5. Pencipta game komputer terbaik sepanjang masa.
6. Jadi diri sendiri, bebas melakukan semua yang aku suka tanpa diawasi terus-terusan oleh orangtua, kakak, dan guru-guruku.
7. Penemu formula asam (untuk menghancurkan baja yang digunakan dalam persenjataan, tank, dan helikopter milik Israel).
8. Lebih kuat dari Joni dan teman-temanku yang lain (ini tidak terlalu berlebihan).

Karim berhenti sambil menggigiti ujung bolpoinnya. Dari kejauhan, bunyi sirene ambulans meraung melintasi udara siang. Karim mendongakkan kepala, lalu memandang keluar jendela. Matanya yang besar dan hitam, menatap tajam dari bawah rambut hitam lurus yang membingkai wajahnya yang kurus kecoklatan.

Karim mulai menulis lagi.

9. Hidup. Kalaupun harus tertembak, hanya di bagian-bagian yang bisa disembuhkan, tidak di kepala atau tulang belakang, insya Allah.

10. …


Karim berhenti di nomor sepuluh. Dia memutuskan untuk membiarkannya kosong, siapa tahu ide bagus menclok di kepalanya nanti.

Karim membaca ulang tulisannya sambil duduk dan mengetok-ngetokkan ujung bolpoin ke kerah kemeja wol bergaris-garis, lalu mengambil selembar kertas baru. Kali ini, dengan lebih cepat, dia menulis:

Sepuluh hal yang tidak aku inginkan:
1. Tidak jadi pemilik toko seperti baba.
2. Tidak jadi dokter. Mama terus-terusan maksa aku jadi dokter. Padahal, mama tahu kalau aku benci darah.
3. Tidak pendek.
4. Tidak menikah dengan perempuan seperti Farah.
5. Tidak tertembak di punggung dan duduk di kursi roda seumur hidup seperti salah satu teman sekolahku.
6. Tidak jerawatan seperti Jamal.
7. Tidak dihancur-ratakan (maksudnya rumah kami) oleh tank Israel dan mengungsi ke tenda kumuh.
8. Tidak harus sekolah.
9. Tidak hidup dalam penjajahan. Tidak dicekal terus-terusan oleh tentara Israel. Tidak takut. Tidak terjebak di dalam rumah atau gedung.
10. Tidak mati.

Karim membaca ulang tulisannya. Seperti ada yang kurang. Dia yakin, ada yang terlupakan.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 Tokoh utama di buku ini adalah Karim Aboudi, seorang anak Palestina biasa yang tinggal di Ramallah, yang saat itu sedang dalam pendudukan Israel.

Nantinya, diceritakan tentara Israel memberlakukan jam malam.
Saat diberlakukan jam malam itu, Karim terjebak di dalam sebuah mobil tua yang berada di "a little piece of ground" yang biasa jadi tempat dia bermain bola. Saat dia berusaha melarikan diri dari situ untuk sampai ke rumahnya, dia tertembak. Seperti yang dia harapkan, dia gak tertembak di bagian vital. Dia tertembak di bagian kaki & kakaknya Jamal berhasil membawanya ke rumah sakit. Di bawah ini adalah kutipan lain dari buku yang sama (hal. 264-265)

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Pagi yang luar biasa panjang merangkak pelan. Terkadang, Karim berusaha tidur, tapi tidak pernah berhasil. Dia mencoba membuat permainan baru, merangkai cerita, dan melamun. Saat itu, dia teringat kembali pada daftar yang dibuatnya, pada segala hal yang ingin dia lakukan dalam hidupnya. Kapankah itu, beberapa minggu yang lalu? Tapi rasanya paling sedikit seperti setahun yang lalu. Karim coba mengingat-ingat apa saja yang telah ditulisnya.

Semua itu, pikirnya, semua yang pernah kuimpikan – membebaskan Palestina, menjadi pemain bola, menciptakan game computer, menjadi penemu – semuanya sampah.

Karim ingat, daftar itu belum selesai. Ada satu lagi yang perlu ditambahkan agar bisa lengkap jadi sepuluh. Sekarang dia tahu. Setelah mengalami semua kejadian ini, cuma ada satu hal yang paling dia inginkan.

Menjadi orang biasa, gumam Karim. Hidup sebagai orang biasa di negeri biasa. Di negeri Palestina yang merdeka. Tapi itu nggak bakal berhasil. Mereka nggak bakal memberikan apa yang menjadi hak kami.
________________________________________________________________________________

Dan tidakkah kamu bersyukur, tinggal di Indonesia yang merdeka? Dimana kamu bebas keluar malam, bebas merancang mimpimu setinggi langit dan bebas berpendapat?

Tidakkah kamu bersyukur hidup sebagai orang biasa di negeri biasa?

” Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS Ar-Rahmaan)


 

6 comments :

  1. aku pernah tulis puisi tentang hal2 apa saja yg harus aku syukuri mbak Dewi, salah satunya tetap bersyukur tinggal di Indo, meski pemerintahan kacrut tapi kami termasuk damai di sini :D

    yah itu buat ingetin aku kalau "bersungut-sungut"nya lagi kumat

    http://arynity.blogspot.com/2013/08/writing-challenge-day-7-write-short-poem.html

    ReplyDelete
  2. Iya, Mbak. Bersyukur banget tinggal di Indonesia. Kalau dibandingin sama di sana, kayanya hidup saya biasa aja gak ada apa2nya. Perjuangan di sana lebih berat :(

    ReplyDelete
  3. berasa 'nyess' banget baca Scene on Three-nya mbak Dewi, semoga mereka juga segera mendapat kemerdekaannya ya mbak aamiin

    ReplyDelete
  4. ya ampun... tambah ke belakang SoT nya tambah sedih :''')
    Terkadang, kita hanya perlu bersyukur atas hal2 kecil untuk bisa bahagia

    ReplyDelete
  5. Novel yang kedengerannya bagus banget. Daftar keinginan itu menunjukkan urutan keinginan manusia. Manusia selalu kepingin hal-hal yang paling wah, tapi ketika daftar itu semakin panjang, lama-lama keinginan itu mengerucut menjadi lebih sederhana.

    Enak banget ya jadi orang Indonesia..

    ReplyDelete