Judul : Sajak - Sajak Dan Renungan
Penulis : Sutan Takdir Alisjahbana
Penerbit : Dian Rakyat
Tahun Terbit : 1994
Halaman : 47
ISBN : 9789795232940
Bahasa : Indonesia dan Inggris
Rating : 5 out of 5 stars
Saya mengenal buku ini sejak SD dulu karena tugas Bahasa Indonesia untuk membandingkan antara sajak karya sastrawan angkatan Balai Pustaka vs Pujangga Baru. Saya yang malas ini pun lalu memilih buku tertipis yang ada di perpustakaan. >.<
Buku ini memang tipis. Sangat tipis malah. Hanya 47 halaman berisikan 7 sajak.
Tapi buku setipis ini telah membuat saya jatuh cinta pada larik-larik lugas gubahan Sutan Takdir Alisjahbana. Saking cintanya saya sampai bernegosiasi dengan pustakawan agar dia mengizinkan saya menyimpan buku ini dan menukarnya dengan buku lain. (Saya menukarnya dengan album Donal Bebek bye the way) :D
"Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat"
(Menuju Ke Laut)
Ketujuh sajak di buku ini memang sangat mencerminkan ciri khas sajak para Pujangga Baru. Dari mulai bentuknya yang terdiri dari terzina, quantrain dan soneta; isi sajak yang kebanyakan berupa epigram (puisi tentang ajaran hidup) dan satire; hingga ke bahasa yang menggunakan gaya ekspresi romantik. Keromantisan ini terlihat di cara Sutan Takdir melukiskan keindahan alam yang menimbulkan perasaan damai. Sebagai contohnya adalah potongan dari sajak berjudul "Menuju Ke Laut" yang saya kutip di atas.
"Sekali aku duduk dibawah pohon karet dan terkejut mendengar letusan nyaring diatas kepalaku: biji matang menghambur dari batangnya.
Ya, aku tahu, dimana-mana tumbuh menghendaki bebas dari ikatan!
Terdengarkah itu olehmu, wahai angkatan baru?
Putuskan, hancurkan segala yang mengikat!
Rebut gelanggang lapang disinar terang!
Tolak segala lindungan!
Engkau raja zamanmu!"
(Biji Karet)
Satu lagi ciri khas generasi Pujangga Baru yang tampak di jelas di buku ini adalah : gak ada metafora. X)
Berbeda dengan angkatan 45 yang memang suka banget pake metafora dan makna ganda di karya-karyanya, para Pujangga Baru memilih menulis karya mereka secara langsung. Jadi biji karet yang dimaksud Sutan Takdir di atas benar-benar biji karet, dan angkatan baru yang dia sebut sesungguhnyalah mengacu kepada rekan-rekannya. Gak heran beliau disebut sebagai pelopor Pujangga baru.
Secara pribadi sih saya lebih suka puisi yang "langsung" seperti ini. Sajak metafora itu memang asyik karena kita mesti menebak maksud sebenarnya sang penggubah. Namun kadang melelahkan juga. Ketika saya ingin bersantai dan memanjakan jiwa dengan kalimat puitis, saya lebih memilih membaca puisi "ringan" seperti ini, yang tidak membuat kening saya mengernyit memikirkan maknanya.
Tapi di luar bahasanya yang seperti itu, ada alasan lain kenapa saya suka banget sama buku ini.
Alasan itu ada dalam sebuah bait di sajak berjudul "Kerabat Kita". Sajak ini berkisah tentang seorang anak yang baru kembali dari perantauannya yang jauh dan lama. Setelah merantau ke berbagai tempat, kini disadarinya bahwa petuah sang bunda sebelum dia pergi itulah yang paling benar.
Di runtuhan Harapa dan Pompeii aku ziarah,Ya, itulah bait kesukaan saya.
Dari menara Eiffel dan Empire State Building
aku tafkur memandang semut manusia.
Di pembajaan Ruhr dan Nagasaki
aku bangga melihat kesanggupan ummat
berpikir, mengatur dan berbuat.
Kuhanyutkan diriku dalam lautan manusia
di Time Square di New York dan di Piccadily di London.
Kuresapkan lagu kesepian pengendara unta
di gurun pasir dan batu Anatolia,
sega Islandia yang megah di padang salju yang putih. (Kerabat Kita)
See....waktu itu saya masih anak kecil yang menganggap Pompeii dan Nagasaki sebatas nama tempat di luar negeri yang tidak menarik. Saya bahkan baru kali itu mengetahui ada daerah bernama Harapa dan Ruhr.
Mungkin saya yang melebihkannya, tapi cara Sutan Takdir melukiskan berbagai daerah di atas membuat saya tertarik. Saya jadi penasaran pengen ziarah ke Harapa dan Pompeii, juga berkontemplasi di Eiffel dan Empire State Building (karena bertafakur terasa terlalu religius buat saya #hush). Saya juga kepengen menghanyutkan diri di Time Square dan Piccadily atau mengunjungi padang salju Islandia dan gurun pasir Anatolia.
(Yah...walau tentu saja saya bakal melakukan semua itu setelah beres motret. Hehehe...)
Dan sejak hari saya membaca sajak itu, saya menetapkan cita-cita untuk melihat langsung keindahan yang disebut-sebut Bapak Sutan Takdir. Hari itu juga, bucket list pertama saya lahir. Dan sepuluh tempat yang ada di paragraf tersebut ada dalam Top 10 bucket list saya.
Semoga diberikan umur dan kesempatan oleh Allah SWT untuk mewujudkan semuanya. Bisa tolong di-amin-kan? Terima kasih sebelumnya. ^_^
Buku ini memang tipis. Sangat tipis malah. Hanya 47 halaman berisikan 7 sajak.
Tapi buku setipis ini telah memberi saya mimpi baru dan menginspirasi saya untuk berkelana.
Jadi gak salah kan kalau saya hargai 5 bintang? Terima kasih untuk sajak-sajaknya, bapak Sutan Takdir Alisjahbana.
Biografi Singkat :
Sutan Takdir Alisjahbana lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun. Beliau merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal. Berkat pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, beliau sempat berpolemik dengan cendekiawan Indonesia lainnya.
Beberapa karyanya yang paling terkenal adalah Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936) dan Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940).
Sampai akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, yakni menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara.Ia kecewa, Bahasa Indonesia semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara.
(Untung beliau tak melihat bagaimana generasi 4l4y menuliskan bahasa Indonesia). Lebih lanjut tentang beliau bisa dibaca di wikipedia atau di link ini.
Serius waktu SD? Sudah punya mental bisnis, swap buku puisi sama donal bebek?? *salahfokus
ReplyDeleteHohoho....waktu SD saya malah jualan kacang goreng (komen yang gak nyambung tapi berarura narsis #eh)
DeleteGw nggak percaya pustakawan SD lu nukar buku ini dengan Donal Bebek. Entah pustakawan itu kapitalis, atau dia memang nggak ngerti nilai sastra. Lu sekolah di SD mana..?
DeleteDia gak ngerti nilai sastra kayaknya, Vic. Gw sih curiga beliau bukan pustakawan (mksdnya yang kuliahnya khusus jadi pustakawan kayak Luckty). Kayaknya beliau staf yg ditugaskan jaga perpustakaan.
DeleteGw sekolah di SD Marsudirini
ia membaca puisi bermetafora perlu keakhlian sendiri untuk dapat menikmatinya :)
ReplyDeletewaah hebat nih reviewnya mbak Dewi.
ReplyDeleteAnalisisnya pakai teori euy :)
dewiii... jadi mengenang pelajaran BI jaman sekolah euy baca istilah2nya, keren :) suka juga sama puisi yang tentang berkelana ke tempat2 itu..pujangga baru emang top :) kapan2 nyari ah buku ini (buku yg kamu baca bukan yg dulu hasil swap dengan donal bebek kan?)
ReplyDeletengakak baca tulisan "album donal bebek" XD
ReplyDeleteGak pernah ngertiii baca puisiiii... etapi metafora itu yang contohnya matahari=raja siang itu kan ya??? *ketauan suka bolos pelajaran bahasa Indonesia*
ReplyDelete