Kali ini, saya bikin review yang beda dari biasanya. Saya gak bakal bahas plus dan minus-nya buku ini, gak bahas cover atau gaya penerjemahannya. Saya cuma akan memberi cuplikan buku ini, supaya anda bisa menilai sendiri apakah buku ini layak dibaca atau enggak :).
Alasan saya memberi cuplikan saja karena saya perhatikan entah di forum atau twitter, makin banyak aja yang mengeluhkan kondisi negara ini. Di satu sisi, mengeluh itu bagus sih. Itu tandanya kita belum puas, dan karenanya diharapkan berusaha untuk memperbaiki negara ini.
Tapi...kok saya melihatnya sepertinya kita terlalu banyak mengeluh, hingga lupa bersyukur ya?
Karena itu di bawah ini, saya memberi potongan dari novel karya Elizabeth Laird (saya selalu suka novel2 dia. Humanis banget ceritanya). Novel ini berjudul A Little Piece of Ground atau Bola Bola Mimpi dalam versi Indonesia.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Karim duduk di ujung tempat tidurnya. Kepalanya dikelilingi sekumpulan poster sepak bola yang menempel di dinding. Dahinya mengerut saat membaca selembar kertas di tangan.
Sepuluh hal terbaik yang aku inginkan dalam hidupku, tulisnya, oleh Karim Aboudi, Apartemen Jaffa 15, Ramallah, Palestina.
Di bawahnya, dengan tulisan tangan terbaik, Karim menulis:
1. Pemain sepak bola terbaik di dunia.
2. Keren, populer, ganteng, dengan tinggi minimal 1,90 meter (yang jelas lebih tinggi dari Jamal).
3. Pembebas Palestina dan pahlawan nasional.
4. Pembawa acara televisi dan aktor terkenal (yang penting terkenal).
5. Pencipta game komputer terbaik sepanjang masa.
6. Jadi diri sendiri, bebas melakukan semua yang aku suka tanpa diawasi terus-terusan oleh orangtua, kakak, dan guru-guruku.
7. Penemu formula asam (untuk menghancurkan baja yang digunakan dalam persenjataan, tank, dan helikopter milik Israel).
8. Lebih kuat dari Joni dan teman-temanku yang lain (ini tidak terlalu berlebihan).
Karim berhenti sambil menggigiti ujung bolpoinnya. Dari kejauhan, bunyi sirene ambulans meraung melintasi udara siang. Karim mendongakkan kepala, lalu memandang keluar jendela. Matanya yang besar dan hitam, menatap tajam dari bawah rambut hitam lurus yang membingkai wajahnya yang kurus kecoklatan.
Karim mulai menulis lagi.
9. Hidup. Kalaupun harus tertembak, hanya di bagian-bagian yang bisa disembuhkan, tidak di kepala atau tulang belakang, insya Allah.
10. …
Karim berhenti di nomor sepuluh. Dia memutuskan untuk membiarkannya kosong, siapa tahu ide bagus menclok di kepalanya nanti.
Karim membaca ulang tulisannya sambil duduk dan mengetok-ngetokkan ujung bolpoin ke kerah kemeja wol bergaris-garis, lalu mengambil selembar kertas baru. Kali ini, dengan lebih cepat, dia menulis:
Sepuluh hal yang tidak aku inginkan:
1. Tidak jadi pemilik toko seperti baba.
2. Tidak jadi dokter. Mama terus-terusan maksa aku jadi dokter. Padahal, mama tahu kalau aku benci darah.
3. Tidak pendek.
4. Tidak menikah dengan perempuan seperti Farah.
5. Tidak tertembak di punggung dan duduk di kursi roda seumur hidup seperti salah satu teman sekolahku.
6. Tidak jerawatan seperti Jamal.
7. Tidak dihancur-ratakan (maksudnya rumah kami) oleh tank Israel dan mengungsi ke tenda kumuh.
8. Tidak harus sekolah.
9. Tidak hidup dalam penjajahan. Tidak dicekal terus-terusan oleh tentara Israel. Tidak takut. Tidak terjebak di dalam rumah atau gedung.
10. Tidak mati.
Karim membaca ulang tulisannya. Seperti ada yang kurang. Dia yakin, ada yang terlupakan.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tokoh utama di buku ini adalah Karim Aboudi, seorang anak Palestina biasa yang tinggal di Ramallah, yang saat itu sedang dalam pendudukan Israel.
Nantinya, diceritakan tentara Israel memberlakukan jam malam. Saat diberlakukan jam malam itu, Karim terjebak di dalam sebuah mobil tua yang berada di "a little piece of ground" yang biasa jadi tempat dia bermain bola. Saat dia berusaha melarikan diri dari situ untuk sampai ke rumahnya, dia tertembak. Seperti yang dia harapkan, dia gak tertembak di bagian vital. Dia tertembak di bagian kaki & kakaknya Jamal berhasil membawanya ke rumah sakit. Di bawah ini adalah kutipan lain dari buku yg sama (hal. 264-265)
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Pagi yang luar biasa panjang merangkak pelan. Terkadang, Karim berusaha tidur, tapi tidak pernah berhasil. Dia mencoba membuat permainan baru, merangkai cerita, dan melamun. Saat itu, dia teringat kembali pada daftar yang dibuatnya, pada segala hal yang ingin dia lakukan dalam hidupnya. Kapankah itu, beberapa minggu yang lalu? Tapi rasanya paling sedikit seperti setahun yang lalu. Karim coba mengingat-ingat apa saja yang telah ditulisnya.
Semua itu, pikirnya, semua yang pernah kuimpikan – membebaskan Palestina, menjadi pemain bola, menciptakan game computer, menjadi penemu – semuanya sampah.
Karim ingat, daftar itu belum selesai. Ada satu lagi yang perlu ditambahkan agar bisa lengkap jadi sepuluh. Sekarang dia tahu. Setelah mengalami semua kejadian ini, cuma ada satu hal yang paling dia inginkan.
Menjadi orang biasa, gumam Karim. Hidup sebagai orang biasa di negeri biasa. Di negeri Palestina yang merdeka. Tapi itu nggak bakal berhasil. Mereka nggak bakal memberikan apa yang menjadi hak kami.
________________________________________________________________________________
Dan tidakkah kamu bersyukur, tinggal di Indonesia yang merdeka? Dimana kamu bebas keluar malam, bebas merancang mimpimu setinggi langit dan bebas berpendapat?
Tidakkah kamu bersyukur hidup sebagai orang biasa di negeri biasa?
” Dan nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS Ar-Rahmaan)
Data buku:
Judul Asli : A Little Piece of Ground
Penulis : Elizabeth Laird
Jumlah Halaman : 324
Penerbit : PT Mizan Pustaka
ISBN : 979-3828-01-3
Sunday, October 30, 2011
Setelah Dia Pergi
Judul Asli : Where She Went
Pengarang : Gayle Forman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa : Poppy D. Chusfani
Editor : Dini Pandia
Publish : 27 Oktober 2011
ISBN / EAN : 9789792276503 / 9789792276503
240 hlm; 20 cm
Buku ini merupakan lanjutan If I Stay yang juga karangan Gayle Forman. Jadi...kalau anda memang belum membaca If I Stay, please jangan baca review ini. Karena, tanpa bisa dihindari, review ini akan memberi spoiler pada ending If I Stay dan akan mengurangi keasyikan membaca If I Stay nantinya.
Dalam tiga tahun ini, Mia berjuang menyembuhkan luka fisik dan jiwa yang dialaminya karena kecelakaan. Sekarang, dia adalah cellist muda berbakat dari Juilliard yang akan memulai karier profesionalnya.
Dalam tiga tahun ini juga, Adam berusaha keras melupakan Mia. Sekarang ini, Adam sudah menjadi bintang rock terkenal, diganjar berbagai platinum dan award, pengidap anxiety disorder dan berubah jadi sosok yang pahit. Adam sadar dia berjalan menuju kehancuran walau tak tahu bagaimana menghentikan dirinya.
Suatu hari yang panas di New York, takdir mempertemukan mereka lagi. Tersedia waktu 24 jam untuk bersama sebelum masing - masing pergi ke benua yang berbeda. Maka Mia mengajak Adam untuk menjelajahi kota yang sekarang menjadi rumahnya sambil mengunjungi masa lalu, untuk membuat sebuah 'closure' atau penutup pada hubungan mereka yang mengambang. Dan juga untuk menjawab pertanyaan terbesar Adam selama 3 tahun ini : "KENAPA??!!" Kenapa Mia pergi dan kenapa dia melakukan ini pada Adam?
Saya pernah bilang yang saya suka dari If I Stay adalah karakter Mia dan Adam yang realistis. Di buku ini, sisi realistis itu masih terjaga, walau tentu saja mereka sudah berubah.
Mia jelas berubah. Gak ada yang bisa tetap sama setelah melewati peristiwa tragis itu. Perubahan Mia lebih menarik dibaca langsung di bukunya, karena itu gak saya spoil disini ^-^
Adam...yah dia jelas berubah juga. Sayang perubahannya ke arah yang lebih buruk. Tapi disinilah hebatnya Forman, walau tak setuju dengan perubahan Adam, namun saya bisa mengerti. Forman bisa meyakinkan saya bahwa perubahan Adam wajar saja. Dia membuat Adam jadi karakter yang emo tapi gak menye dan mellow. Sehingga bukannya kesal sama Adam (saya suka kesal sama tokoh cowok yang terlalu emo), saya malah bersimpati.
Sejujurnya, saya terharu pada Adam.
Waktu baca If I Stay, karena membaca hanya dari sisi Mia, saya gak memahami seberapa dalamnya perasaan Adam ke Mia. Saya pikir jenis cinta mereka hanyalah cinta monyet masa remaja.
Ternyata saya salah.
Lewat cerita Adam, saya tahu bahwa sejak awal dia sudah serius dengan Mia. Bagi Adam, ini adalah cinta yang nyata, dan karenanya, saya bisa paham mengapa dia hancur ketika Mia pergi. Saya ikut merasakan kegeraman dan rasa penasaran Adam terhadap Mia.
Saya ikut bersedih untuk Adam ketika mengetahui alasan di balik kepergian Mia. Tapi akhirnya, sama seperti Adam, saya bisa menerima alasan Mia dan setuju ketika Adam mengikhlaskan apa pun keputusan Mia, termasuk melepaskannya bila perlu.
Oh and I love the ending too.
Nope, I won't spoil it here. I'd just say that Forman tied the ending with a red ribbon but not too tight :)
Musik sangat berperan bagi hubungan Mia dan Adam. Musik-lah alasan perkenalan sekaligus penghias kebersamaan mereka. Musik-lah yang membantu Mia dalam pemulihan pasca kecelakaan. Musik juga yang menjadi pelarian Adam setelah ditinggal Mia. Dan pada akhirnya, musik yang mempertemukan mereka lagi.
Dengan peran sebesar itu, mestinya musik menjadi nafas di buku ini. Tapi somehow, entah kenapa, musik tidak mempunyai kesan yang kuat bagi pembaca. Minimal tidak sekuat buku pertamanya.
Tapi biar begitu, sepanjang membaca buku ini, ada 2 lagu yang bermain di benak saya. Yang pertama adalah Waiting For The End-nya Linkin Park. Yang kedua, sejak Adam bertransformasi setelah bertemu Mia, lagu yang terngiang adalah The Only Exception-nya Paramore.
Cover versi GPU menggambarkan sisi belakang sebuah gitar yang disandarkan pada pintu usang bercat hijau. Dari cover-nya, saya mendapat 'feel' suasana musim panas, seseorang yang jenuh atau lelah dengan kehidupannya dan ingin berbalik dari dunia. Cover yang cantik dan sangat menggambarkan isi buku ini. Cover designer-nya memang favorit saya : Marcel A.W.
Dan jelas menang jauh dibanding cover aslinya.
Untuk terjemahan, hmm...entah lah ya. Saya terharu sih waktu baca. Tapi gak sampai nangis juga. Beda banget dengan review-review di goodreads yang bilang ini "tearjerker book".
Ada apa? Salah penerjemahan kah?
Tapi penerjemahnya sama kok dengan di If I Stay. Dan beliau itu salah 1 penerjemah favorit saya.
Karena penasaran, saya membaca versi US-nya. Dan ternyata...mata saya berkaca - kaca. Saya memang lebih merasa terharu tapi tetap aja gak sampai menangis.
Berarti gak ada yang salah dengan terjemahan GPU. Memang begitu lah cara Forman menulis WSW, berjiwa namun kurang emosional. Seenggaknya gak seemosional If I Stay klo menurut saya. Fyuh...thanks, GPU. U still do not fail me :).
And then...
Menurut saya Where She Went sangat layak dibaca. Untuk menjawab rasa penasaran akan If I Stay, untuk melihat kelanjutan kisah Adam dan Mia. Dan terutama untuk belajar dari mereka tentang mengatasi kehilangan.
Empat bintang untuk Where She Went baik versi terjemahan mau pun versi US.
PS : Saya sih berharap GPU akan tetap menerbitkan karya-karya Forman yang lainnya. ^_^
Quote of the book :
"But I'd do it again. I know that know. I'd make that promise a thousand times over and lose her a thousand times over to have heard her play last night or to see her in the morning sunlight. Or even without that. Just to know that she's somewhere out there. Alive."
-Adam Wilde-
Pengarang : Gayle Forman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa : Poppy D. Chusfani
Editor : Dini Pandia
Publish : 27 Oktober 2011
ISBN / EAN : 9789792276503 / 9789792276503
240 hlm; 20 cm
Buku ini merupakan lanjutan If I Stay yang juga karangan Gayle Forman. Jadi...kalau anda memang belum membaca If I Stay, please jangan baca review ini. Karena, tanpa bisa dihindari, review ini akan memberi spoiler pada ending If I Stay dan akan mengurangi keasyikan membaca If I Stay nantinya.
"She kissed me good-bye. She told me that she loved me more than life itself. Then she stepped through security. She never came back."Cerita dimulai tiga tahun sejak kecelakaan tragis yang merenggut keluarga Mia. Dan tiga tahun juga sejak Mia keluar dari kehidupan Adam.
-Adam Wilde-
Dalam tiga tahun ini, Mia berjuang menyembuhkan luka fisik dan jiwa yang dialaminya karena kecelakaan. Sekarang, dia adalah cellist muda berbakat dari Juilliard yang akan memulai karier profesionalnya.
Dalam tiga tahun ini juga, Adam berusaha keras melupakan Mia. Sekarang ini, Adam sudah menjadi bintang rock terkenal, diganjar berbagai platinum dan award, pengidap anxiety disorder dan berubah jadi sosok yang pahit. Adam sadar dia berjalan menuju kehancuran walau tak tahu bagaimana menghentikan dirinya.
Suatu hari yang panas di New York, takdir mempertemukan mereka lagi. Tersedia waktu 24 jam untuk bersama sebelum masing - masing pergi ke benua yang berbeda. Maka Mia mengajak Adam untuk menjelajahi kota yang sekarang menjadi rumahnya sambil mengunjungi masa lalu, untuk membuat sebuah 'closure' atau penutup pada hubungan mereka yang mengambang. Dan juga untuk menjawab pertanyaan terbesar Adam selama 3 tahun ini : "KENAPA??!!" Kenapa Mia pergi dan kenapa dia melakukan ini pada Adam?
"Someone wake me when it's over. When the evening silence softens golden. Just lay me on a bed of clover. Oh I need help with this burden."Where She Went (WSW) adalah cerita-nya Adam. Sebagai narator tunggal, Adam bercerita tentang hidupnya, kariernya yang meroket, kehampaan dan kepedihannya juga kenangan hidupnya dengan dan tanpa Mia. Sama dengan If I Stay, novel ini juga bercerita dengan gaya flashback, dari masa kini-ke masa lalu-dan kembali ke masa kini.
Collateral Damage - Hush
Saya pernah bilang yang saya suka dari If I Stay adalah karakter Mia dan Adam yang realistis. Di buku ini, sisi realistis itu masih terjaga, walau tentu saja mereka sudah berubah.
Mia jelas berubah. Gak ada yang bisa tetap sama setelah melewati peristiwa tragis itu. Perubahan Mia lebih menarik dibaca langsung di bukunya, karena itu gak saya spoil disini ^-^
Adam...yah dia jelas berubah juga. Sayang perubahannya ke arah yang lebih buruk. Tapi disinilah hebatnya Forman, walau tak setuju dengan perubahan Adam, namun saya bisa mengerti. Forman bisa meyakinkan saya bahwa perubahan Adam wajar saja. Dia membuat Adam jadi karakter yang emo tapi gak menye dan mellow. Sehingga bukannya kesal sama Adam (saya suka kesal sama tokoh cowok yang terlalu emo), saya malah bersimpati.
Sejujurnya, saya terharu pada Adam.
Waktu baca If I Stay, karena membaca hanya dari sisi Mia, saya gak memahami seberapa dalamnya perasaan Adam ke Mia. Saya pikir jenis cinta mereka hanyalah cinta monyet masa remaja.
Ternyata saya salah.
Lewat cerita Adam, saya tahu bahwa sejak awal dia sudah serius dengan Mia. Bagi Adam, ini adalah cinta yang nyata, dan karenanya, saya bisa paham mengapa dia hancur ketika Mia pergi. Saya ikut merasakan kegeraman dan rasa penasaran Adam terhadap Mia.
Saya ikut bersedih untuk Adam ketika mengetahui alasan di balik kepergian Mia. Tapi akhirnya, sama seperti Adam, saya bisa menerima alasan Mia dan setuju ketika Adam mengikhlaskan apa pun keputusan Mia, termasuk melepaskannya bila perlu.
"Hate me. Devastate me. Annihilate me. Re-create me. Re-create me. Won't you, won't you won't you re-create me."Yang juga saya suka di WSW ini adalah chemistry Mia dan Adam yang makin bagus. Seperti yang saya bilang, Adam sudah berubah. Tapi saya bisa melihat kembalinya Adam yang dulu setelah dia bertemu Mia lagi. Hanya Mia yang bisa mengeluarkan sisi terbaik Adam. And for me, that's sweet :)
-Collateral Damage-
Oh and I love the ending too.
Nope, I won't spoil it here. I'd just say that Forman tied the ending with a red ribbon but not too tight :)
"Are you happy in your misery? Resting peaceful in desolation? It's the final tie that binds us. The sole source of my consolation"Buat saya, kekurangan di seri ke-2 ini adalah musik.
Collateral Damage - Blue
Musik sangat berperan bagi hubungan Mia dan Adam. Musik-lah alasan perkenalan sekaligus penghias kebersamaan mereka. Musik-lah yang membantu Mia dalam pemulihan pasca kecelakaan. Musik juga yang menjadi pelarian Adam setelah ditinggal Mia. Dan pada akhirnya, musik yang mempertemukan mereka lagi.
Dengan peran sebesar itu, mestinya musik menjadi nafas di buku ini. Tapi somehow, entah kenapa, musik tidak mempunyai kesan yang kuat bagi pembaca. Minimal tidak sekuat buku pertamanya.
Tapi biar begitu, sepanjang membaca buku ini, ada 2 lagu yang bermain di benak saya. Yang pertama adalah Waiting For The End-nya Linkin Park. Yang kedua, sejak Adam bertransformasi setelah bertemu Mia, lagu yang terngiang adalah The Only Exception-nya Paramore.
"First you inspect me. Then you dissect me. Then you reject me. I wait for the day that you'll resurrect me"
Collateral Damage - Animate
Dan jelas menang jauh dibanding cover aslinya.
Untuk terjemahan, hmm...entah lah ya. Saya terharu sih waktu baca. Tapi gak sampai nangis juga. Beda banget dengan review-review di goodreads yang bilang ini "tearjerker book".
Ada apa? Salah penerjemahan kah?
Tapi penerjemahnya sama kok dengan di If I Stay. Dan beliau itu salah 1 penerjemah favorit saya.
Karena penasaran, saya membaca versi US-nya. Dan ternyata...mata saya berkaca - kaca. Saya memang lebih merasa terharu tapi tetap aja gak sampai menangis.
Berarti gak ada yang salah dengan terjemahan GPU. Memang begitu lah cara Forman menulis WSW, berjiwa namun kurang emosional. Seenggaknya gak seemosional If I Stay klo menurut saya. Fyuh...thanks, GPU. U still do not fail me :).
And then...
Menurut saya Where She Went sangat layak dibaca. Untuk menjawab rasa penasaran akan If I Stay, untuk melihat kelanjutan kisah Adam dan Mia. Dan terutama untuk belajar dari mereka tentang mengatasi kehilangan.
Empat bintang untuk Where She Went baik versi terjemahan mau pun versi US.
PS : Saya sih berharap GPU akan tetap menerbitkan karya-karya Forman yang lainnya. ^_^
Quote of the book :
"But I'd do it again. I know that know. I'd make that promise a thousand times over and lose her a thousand times over to have heard her play last night or to see her in the morning sunlight. Or even without that. Just to know that she's somewhere out there. Alive."
-Adam Wilde-
Thursday, October 27, 2011
Jika Aku Tetap Disini
Judul Asli : If I Stay
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa : Poppy D. Chusfani
Editor : Dini Pandia
Publish : 8 Februari 2011
Buku ini bercerita tentang Mia, seorang pemain Cello berbakat berumur 17 tahun. Kehidupan Mia normal saja dengan keluarga yang harmonis dan pacar yang menyayanginya.
Masalah terbesar Mia dalam hidup adalah memutuskan apakah dia akan ke New York demi mengejar mimpi masuk Juilliard atau tetap tinggal di kota kecilnya bersama keluarga dan pacar tercinta. Should she stay or should she leave?
Di suatu hari bersalju, kehidupan Mia berubah. Kecelakaan naas menimpa mobil yang ditumpangi keluarga Mia. Mia tak tahu pasti apa yang terjadi. Yang dia tahu, sewaktu sadar, dia melihat kedua orang tuanya dalam kondisi mengenaskan dan adiknya entah dimana. Berikutnya, Mia (ato lebih tepat: rohnya Mia) melihat tubuhnya dibawa ke RS hingga masuk ICU. Dia koma dan tak ada yang tahu, apakah dia akan sadar lagi atau tidak.
Dan pertanyaan yang dihadapi Mia tetap sama : Should she stay or should she leave?
Tenang...walau pun cerita di novel ini tragis, tapi gak mellow kok. Anda akan merasa terharu pada Mia, tapi gak akan sampai meratapi nasibnya ;).
Menurut saya, tema terbesar di buku ini bukanlah tentang hidup dan mati. Tapi tentang pilihan-pilihan yang kita hadapi sepanjang hidup. Dan bukan hanya Mia.
Di buku ini, ada beberapa karakter yang hidupnya berjalan tidak sesuai dengan yang diniatkan pada awalnya. But that's okay. Cause that's life. Not everything could goes the way you've planned it. Ucapan Ayah Mia cukup mewakili tema buku ini : "Sometimes you make choices in life and sometimes choices make you."
Gak ada cewek menye-menye yang egois, gak ada lady yang cantik namun miskin, atau gadis cerdas tapi sok tahu. Yang ada cuma Mia, siswa dengan prestasi akademis biasa saja dan 'rada' serius yang pas untuk anak pendiam sepertinya.
Dan semua karakter yang realistis ini membuat kita merasa kenal pada Mia dan bersimpati karena merasa bahwa apa yang menimpanya dapat juga menimpa kita.
Kurang tebal, kurang banyak :D.
Awalnya saya juga protes tentang ending-nya. Soalnya kok ya gitu aja. Setelah kita tahu apa keputusan Mia, langsung tamat ceritanya. Jadi kurang puas. Protes saya berakhir ketika tahu bahwa buku ini masih ada lanjutannya. Syukurlah :)
Untuk terjemahan, waktu saya membaca buku ini dalam bahasa aslinya, menurut saya suasana yang cocok untuk mendapatkan 'feel' buku ini adalah : cuaca dingin, berlindung di balik selimut, ditemani Pathetique Sonata-nya Beethoven atau Ballad no 1-nya Chopin.
Lalu kalau gak punya itu semua gimana?
Gak masalah kok :).
Saya membaca buku versi terjemahan GPU saat liburan ke Belitung, di pinggir pantai yang panasnya 'naujubile' dan berisik banget. Yang terjadi adalah saya lupa dengan panas di sekitar dan sonata-nya Beethoven serta Chopin terus bermain di kepala saya.
Kok bisa?
Jelas bisa-lah. Saya juga gak terlalu paham. Tapi ada sesuatu dalam bahasa terjemahan GPU yang mampu membuat suasana dingin dan hening di buku menjadi terasa nyata. Versi terjemahan GPU juga bisa menyampaikan kesedihan dan keharuan yang dituliskan Gayle Forman.
Salut buat penerjemah, editor, ilustrator cover, proofreader (ada gak sih?) dan semua pihak di GPU yang bisa menghidupkan buku ini sebagus yang dituliskan Forman. You guys really did a very good job :).
Akhir kata, saya merekomendasikan buku ini sebagai bacaan wajib. Saya gak bisa janji bahwa anda akan merasa tersentuh atau terharu seperti saya. Tapi saya bisa jamin, anda gak akan menyesal meluangkan waktu dan dana untuk membacanya karena buku ini benar - benar layak dibaca :).
Empat bintang untuk If I Stay versi US dan 4,5 bintang untuk versi terjemahan GPU (setengah bintang khusus untuk cover-nya yang cantik).
PS : Menurut berita sih, buku ini akan difilmkan dengan Dakota Fanning sebagai Mia. Yeaayy...gak sabar nunggunya. Fanning salah satu aktris favorit saya (^_^)
Quote of the book:
“If you stay, I'll do whatever you want. I'll quit the band, go with you to New York. But if you need me to go away, I'll do that, too. I was talking to Liz and she said maybe coming back to your old life would be too painful, that maybe it'd be easier for you to erase us. And that would suck, but I'd do it. I can lose you like that if I don't lose you today. I'll let you go. If you stay.”
-Adam Wilde-
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Alih bahasa : Poppy D. Chusfani
Editor : Dini Pandia
Publish : 8 Februari 2011
“I realize now that dying is easy. Living is hard.”
-Mia Hall-
Buku ini bercerita tentang Mia, seorang pemain Cello berbakat berumur 17 tahun. Kehidupan Mia normal saja dengan keluarga yang harmonis dan pacar yang menyayanginya.
Masalah terbesar Mia dalam hidup adalah memutuskan apakah dia akan ke New York demi mengejar mimpi masuk Juilliard atau tetap tinggal di kota kecilnya bersama keluarga dan pacar tercinta. Should she stay or should she leave?
Di suatu hari bersalju, kehidupan Mia berubah. Kecelakaan naas menimpa mobil yang ditumpangi keluarga Mia. Mia tak tahu pasti apa yang terjadi. Yang dia tahu, sewaktu sadar, dia melihat kedua orang tuanya dalam kondisi mengenaskan dan adiknya entah dimana. Berikutnya, Mia (ato lebih tepat: rohnya Mia) melihat tubuhnya dibawa ke RS hingga masuk ICU. Dia koma dan tak ada yang tahu, apakah dia akan sadar lagi atau tidak.
Dan pertanyaan yang dihadapi Mia tetap sama : Should she stay or should she leave?
"Well, what was that? What's that sound that I hear? It's just my lifetime. It's just whistling past my ear. And when I look back everything seems smaller than life. The way it's been for so long since last night..."Novel ini diambil dari sudut pandang Mia hingga rasanya benar-benar seperti Mia sendiri yang bercerita kepada kita. Sambil turut mengawasi fisik Mia yang sedang dirawat dan melihat para penjenguknya, dalam sehari itu Mia juga akan bercerita pada kita tentang keluarganya, Adam (kekasihnya) dan kecintaannya pada musik klasik. Juga pada dilema yang dihadapi Mia untuk tetap tinggal atau pergi. Sebagai pembaca, tentu saja sejak awal saya berharap dia tinggal, namun melalui penuturan Mia, saya paham jika dia ingin pergi.
-Waiting for Vengeance-
Tenang...walau pun cerita di novel ini tragis, tapi gak mellow kok. Anda akan merasa terharu pada Mia, tapi gak akan sampai meratapi nasibnya ;).
Menurut saya, tema terbesar di buku ini bukanlah tentang hidup dan mati. Tapi tentang pilihan-pilihan yang kita hadapi sepanjang hidup. Dan bukan hanya Mia.
Di buku ini, ada beberapa karakter yang hidupnya berjalan tidak sesuai dengan yang diniatkan pada awalnya. But that's okay. Cause that's life. Not everything could goes the way you've planned it. Ucapan Ayah Mia cukup mewakili tema buku ini : "Sometimes you make choices in life and sometimes choices make you."
“And that's just it, isn't it? That's how we manage to survive the loss. Because love, it never dies, it never goes away, it never fades, so long as you hang on to it."Salah satu hal yang paling saya suka dari buku ini, adalah karakternya yang realistis. Disini gak ada cowok 'vampir-romantis-rela-berkorban', gak ada juga cowok 'miliuner-namun-enggan-berkomitmen' ato pria bangsawan nan angkuh. Yang ada hanya Adam, anak band biasa saja yang mencintai Mia dengan tulus.
-Mia Hall-
Gak ada cewek menye-menye yang egois, gak ada lady yang cantik namun miskin, atau gadis cerdas tapi sok tahu. Yang ada cuma Mia, siswa dengan prestasi akademis biasa saja dan 'rada' serius yang pas untuk anak pendiam sepertinya.
Dan semua karakter yang realistis ini membuat kita merasa kenal pada Mia dan bersimpati karena merasa bahwa apa yang menimpanya dapat juga menimpa kita.
“I'm not sure this is a world I belong in anymore. I'm not sure that I want to wake up.”Minus di buku ini?
-Mia Hall-
Kurang tebal, kurang banyak :D.
Awalnya saya juga protes tentang ending-nya. Soalnya kok ya gitu aja. Setelah kita tahu apa keputusan Mia, langsung tamat ceritanya. Jadi kurang puas. Protes saya berakhir ketika tahu bahwa buku ini masih ada lanjutannya. Syukurlah :)
“It's okay if you want to go. Everyone wants you to stay. I want you to stay more than I've ever wanted anything in my life. But that's what I want and I could see why it might not be what you want. So I just wanted to tell you that I understand if you go. It's okay if you have to leave us. It's okay if you want to stop fighting."Dari segi cover, saya suka banget dengan cover buku ini. Sebuah bangku merah dengan latar belakang musim dingin yang kelabu. Suasana hening dan muram dalam buku ini sangat terwakilkan oleh covernya. Saya sudah melihat macam-macam versi cover If I Stay dari berbagai negara, dan tetap saja paling suka dengan versi cover Gramedia.
-Gramps-
Untuk terjemahan, waktu saya membaca buku ini dalam bahasa aslinya, menurut saya suasana yang cocok untuk mendapatkan 'feel' buku ini adalah : cuaca dingin, berlindung di balik selimut, ditemani Pathetique Sonata-nya Beethoven atau Ballad no 1-nya Chopin.
Lalu kalau gak punya itu semua gimana?
Gak masalah kok :).
Saya membaca buku versi terjemahan GPU saat liburan ke Belitung, di pinggir pantai yang panasnya 'naujubile' dan berisik banget. Yang terjadi adalah saya lupa dengan panas di sekitar dan sonata-nya Beethoven serta Chopin terus bermain di kepala saya.
Kok bisa?
Jelas bisa-lah. Saya juga gak terlalu paham. Tapi ada sesuatu dalam bahasa terjemahan GPU yang mampu membuat suasana dingin dan hening di buku menjadi terasa nyata. Versi terjemahan GPU juga bisa menyampaikan kesedihan dan keharuan yang dituliskan Gayle Forman.
Salut buat penerjemah, editor, ilustrator cover, proofreader (ada gak sih?) dan semua pihak di GPU yang bisa menghidupkan buku ini sebagus yang dituliskan Forman. You guys really did a very good job :).
Akhir kata, saya merekomendasikan buku ini sebagai bacaan wajib. Saya gak bisa janji bahwa anda akan merasa tersentuh atau terharu seperti saya. Tapi saya bisa jamin, anda gak akan menyesal meluangkan waktu dan dana untuk membacanya karena buku ini benar - benar layak dibaca :).
Empat bintang untuk If I Stay versi US dan 4,5 bintang untuk versi terjemahan GPU (setengah bintang khusus untuk cover-nya yang cantik).
PS : Menurut berita sih, buku ini akan difilmkan dengan Dakota Fanning sebagai Mia. Yeaayy...gak sabar nunggunya. Fanning salah satu aktris favorit saya (^_^)
Quote of the book:
“If you stay, I'll do whatever you want. I'll quit the band, go with you to New York. But if you need me to go away, I'll do that, too. I was talking to Liz and she said maybe coming back to your old life would be too painful, that maybe it'd be easier for you to erase us. And that would suck, but I'd do it. I can lose you like that if I don't lose you today. I'll let you go. If you stay.”
-Adam Wilde-
Wednesday, October 26, 2011
Breaking Dawn
Uhm....udah lama ya saya gak bikin review yang penuh celaan?
Let's start now ;) *merentangkan lengan kiri - rentangkan lengan kanan - lemaskan kedua jari - kretek - kretek - ah..feel good ^_^*
For Twilight Saga fans, back off please.
If you still insist to read, well..you've been warned
Oh and alsooo...FULL SPOILER!!! (tapi hari gini masak iya masih belum baca nih buku?)
SINOPSIS :
Bila kau mencintai orang yang membunuhmu, kau tak punya pilihan. Bila nyawamu satu-satunya yang harus kauberikan untuk orang yang kaucintai, bagaimana mungkin kau tidak memberikannya? Bagi Bella Swan, mencintai dan dicintai vampir bernama Edward adalah bagaikan khayalan dan mimpi buruk yang dirajut jadi satu ke dalam kenyataan. Bukan itu saja, hubungannya yang sangat istimewa dengan Jacob Black sang werewolf, ternyata menyeret Bella ke pilihan-pilihan pelik yang membuat hati keduanya tercabik-cabik. Tapi konon cinta harus memilih, dan karenanya Bella harus memutuskan. Dan sebagai orang yang sangat mengenal Bella, Jacob tahu persis apa keputusan gadis itu. Lalu sanggupkah Jacob meninggalkan Bella selamanya untuk menyembuhkan luka-luka hatinya sendiri? Dan ketika Bella mencarinya, sanggupkah Jacob mengatakan tidak?
COMMENT :
Selama baca buku ini saya curiga, jangan - jangan saya masochist? Soalnya saya tetap menuntaskan baca buku ini walaupun sebenarnya saya udah eneg, bete dan pengen buanget ngerobeknya.
Tapi saya lebih curiga lagi klo Stephanie Meyer itu sadistis!
Soalnya, saya gak ngerti kenapa Meyer tega ngehancurin masterpiece nya (Twilight) menjadi Breaking Dawn.
Ayo kita mulai dari :
1. karakter paling menyebalkan di buku ini : BELLA!
Halaman - halaman awal buku ini udah bikin saya bete sama Bella. Dia mengeluh tentang mobil sport canggihnya yang diberikan Edward. Dia mengeluh tentang persiapan nikahnya, tentang gaun pengantin dan cincinnya. Dan semuanya cuma karena dia khawatir dengan anggapan negatif orang - orang asing yang (bahkan) dia gak kenal karena dia nikah muda.
Saya jadi kasihan sama Bella karena dia musti menikah dengan orang-yang-dia-cintai-lebih-besar-daripada-hidupnya.
Belum lagi egoisnya Bella yang udah dimulai di buku sebelumnya dan ditonjolkan banget di sini. Dimulai dari perlakuannya ke Jacob.
Di Eclipse, Bella nyadar kalo dia mencintai Jacob tapi gak bisa hidup tanpa Edward. Jadi, dia memilih Edward.
Fine! Gak ada yang salah dengan itu.
Tapi ternyata, Bella gak bisa ngelepasin Jacob, sodara - sodara! Di pernikahannya aja, Bella udah flirting dengan Jacob. Selama kehamilannya, dia merasa gak bisa pisah dengan Jacob, pengen selalu bareng sama dia. Dan keegoisan Bella mencapai puncak waktu dia menamakan bayinya yang belum lahir dengan Edward Jacob.
Edward Jacob??? Seriously... Edward JACOB???
Dan langsung memberi nama seperti itu bahkan tanpa konsultasi dengan Edward? Tidak terpikirkah kalo Edward (mungkin) gak suka dengan nama itu? Is that your child with Edward or your child alone?
I fail to see why Edward and Jacob love this girl so much.
2. Edward..
Siapa pun kamu, anggota team Jacob ato pun team Edward, saya yakin alasan pertama kamu mengikuti Twilight (pada awalnya) adalah Edward.
Edward adalah gambaran paling ideal dari seorang hero di novel romance. Tapi pada akhir saga ini, saya berpendapat Edward bukanlah sosok ideal. Dia seorang masokis yang terobsesi pada Bella. Begitu terobsesinya sampai buta. Dan yang tadinya rada iri sama Bella, saya malah jadi kasihan sama Edward. Bayangin aja, kalimat favorit Edward adalah : "Kalau itu membuatnya bahagia, maka aku akan melakukannya."
*rolleyes* *rolleyeslagi* *ehcopot* ;p
Melalui karakter Edward, saya mendapat pesan : kalo kamu mencintai seseorang, lakukan apa pun yang membuatnya bahagia. Apa? Perasaanmu tersakiti dan harga dirimu terinjak? Gak papa!!! Karena yang terpenting adalah, dia bahagia. Ayo ulangi lagiiii....Yap betuuulll.... Dia bahagiaaaaaaaaa (ini semacam metode brain wash baru versi Meyer) :p
Oh Tante Meyer, kalo kayak gini pendapat Anda tentang cinta, maka saya prihatin dengan Anda.
3. Jacob..
Ini satu lagi karakter masokis dalam saga ini. Kalo saya ketemu Jacob, saya bakal bilang :"Dude, get a life. There're still many girls out there." Trus udah gitu saya mo keplak Jacob bolak balik. Maksudnya biar otaknya kembali ke tengah gitu dan nyadar klo sebenernya si Meyer ini benci banget banget sama Jacob
Yup...pasti Meyer benci banget banget sama tokoh rekaannya ini. Soalnya selain benci banget banget, saya gak menemukan alasan kenapa kok ya ada pengarang yang tega kasi nasib setragis itu ke ciptaannya sendiri.
Oke lah kalo Jacob cinta banget sama Bella, tapi setelah jelas Bella memilih Edward, mestinya Jacob dibiarkan saja menyingkir untuk mengobati sakit hatinya kan? Bukannya disuruh datang lagi dalam hidup Bella dan (kembali) sakit hati melihat kenyataan Bella gak bisa ngelepasin dia tapi juga milih Edward.
Belum lagi soal imprint nya Jacob.
Waktu pertama kali Meyer memperkenalkan konsep imprint, saya sudah excited aja, menduga-duga siapa yang jadi imprint-nya Jacob nanti. Leah mungkin. Ato salah satu temannya Bella. Ato Jane yg di kelompok Aro itu. Ato cewek pemadat. Ato ibu beranak 7. Ato... oke...you get the point.
Tapi kesenangan itu hilang begitu saya tahu dia imprint dengan putri Edward dan Bella.
Oh My God!!! *tepokjidat* *jidatnyaMeyer*
Tepat pada saat saya mikir cerita ini gak bisa lebih kacau lagi, it did.
Maksud saya, kenapa siiihh harus seseorang yang berhubungan dengan Bella? Gak bisakah Jacob mendapat kebahagiaannya tanpa dekat - dekat dengan Bella? Kenapa gak kasi Jacob cewek lain yang hidupnya sungguh sangat menderita? Jadi Jacob bisa berperan sebagai prince charming yang menyelamatkan seorang damsel in distress.
4. The storyline
Di antara semua hal tentang Breaking Dawn, point ke 4 ini yang paling bikin saya kecewa.
Dari sejak awal, kita sudah diberi tahu betapa menderitanya jadi vampire. Bahwa keluarga Cullen, seandainya mereka bisa kembali ke masa lalu, tak akan memilih untuk jadi vampire.
Ini cara hidup yang dikutuk Tuhan. Banyak kekurangan dan derita pada kehidupan vampire apalagi vegetarian vampire kayak keluarga Cullen. Seperti merasa haus dan mesti menahan godaan untuk gak menyerang manusia bahkan saat sedang lapar, Bella musti rela putus hubungan dari keluarganya, dan Bella gak bakal bisa punya anak.
Dan di Breaking Dawn, semua alasan itu dihancurkan dengan sempurna!
Begitu Bella membuka matanya di hari pertama dia jadi vampir, semua lebih indah, lebih berkilau, bahkan Bella pun lebih cantik.
Lalu...secara ajaib, Bella gak merasakan "haus" yang dialami para vampire. Kemampuan untuk mengontrol naluri menyerang manusia yang umumnya dipelajari bertahun - tahun, didapat Bella dengan mudah.
Bella juga gak kehilangan keluarganya. Orang tuanya bisa mengerti perubahannya walau pun gak tahu alasannya. Gak ngerti deh orang tua Bella ini terlalu sayang anak ato malah cuek. Normalnya kan orang tua pasti penasaran kalo ada yang aneh dengan anaknya. Apalagi anak yang segitu disayang kayak Bella.
Dan di atas semua itu, Bella punya anak! Salah satu faktor yang membuat Edward berusaha mencegah Bella jadi vampire dihancurkan di novel ini.
Oh ada 1 lagi.
Ada yang masih ingat kenapa Bella bisa punya anak?
Karena dia ngotot mau berhubungan dengan Edward sebelum dia jadi vampire. Dia takut "human emotion"nya bakal hilang. Ternyata, setelah dia berubah jadi vampire, semua "emotion" itu masih ada, dan bahkan bertambah berkali - kali lipat. Dan semua kenikmatan itu....abadi. Wow... -___-
Di akhir saga ini, saya jadi berpikir : kenapa kita gak jadi vampire aja sih? Hidup tampak lebih indah dan lebih mudah setelah Bella jadi vampire, so kenapa kita (para pembaca) gak bisa mengalami hal yang sama?
Judul Breaking Dawn menggambarkan awal hari yang baru untuk Bella. Dan dalam penjelasannya mengenai cover Breaking Dawn, Meyer menjelaskan klo cover itu menggambarkan transformasi Bella yang awalnya cewek lemah (pion catur) jadi yang paling kuat (ratu).
Saya pribadi berpendapat, cover itu menggambarkan Bella sebagai ratu yang mendapatkan semua yang diinginkannya, dan para pembaca (well...saya sih tepatnya) sebagai pion, yang mukanya merah karena emosi sehabis membaca novel ini.
Rating?
Oh...haruskah ada rating?
Sebenarnya gak pengen. Tapi saya menghargai usaha Meyer untuk menulisnya, lalu usaha penerbitnya. Jadi setengah bintang saja boleh lah ;p
Setengah bintang karena sampai akhir, saya masih gak ngerti apa sih pesan moral yang ingin diberikan Meyer dengan saganya ini?
Ada yang bisa kasih tahu saya?
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)