Data Buku
Judul : Harry Potter & The Philosopher's Stone
Penulis : JK Rowling
Penerbit : Bloomsburry Publishing
Bahasa : Inggris
ISBN : 9780747532743
Rating : 5 out of 5 stars
Wow...nggak kerasa sudah 15 tahun sejak saya kenalan sama Harry Potter dan terpesona pada dunia buatan Madame Rowling ini. Saya tahu kalo saya mestinya bikin review, tapi sebelum itu, rasanya pengen nostalgia saat pertama kenalan sama bocah dengan luka berbentuk petir ini.
Saya pertama ketemu Harry Potter di Bras Basah, sekitar akhir 1997. Saat itu saya sedang asyik memilih-milih buku bekas ketika shopkeeper-nya menawari saya buku ini. Dia berpromosi kalo ini buku bagus banget dan sayang banget kalo ampe gak saya beli. Dia juga bilang kalo Harry Potter ini lagi happening banget di Inggris sana.
Waktu itu saya kenal internet cuma sebatas email dan chatting doang, gak pernah browsing. Saya pun bukan tipe yang langganan majalah ato koran, jadi saya benar-benar gak tahu kalo ada buku berjudul Harry Potter yang lagi booming. Saya malah curiga kalo buku ini adalah buku jelek yang gak laku. Ya logikanya aja, kalo emang tuh buku buagus banget kok udah ada yang jual second-nya di Bras Basah? Dan kalo emang laris buanget, kenapa juga si shopkeeper maksa-maksa saya buat beli? Tebakan saya sih ini buku gak laku dan si shopkeeper mo nepu saya (Oh...how stupid I was).
Akhirnya buku Harry Potter 1 itu saya beli juga karena sang shopkeeper menjamin saya boleh tukar dengan buku lain kalo nggak puas. Dan begitulah awalnya saya kenal sama Harry Potter.
Rasanya saya gak perlu menulis sinopsis buku ini ato bahkan memberi tahu buku ini termasuk dalam genre apa. I mean, seriously? Sudah 15 tahun lebih sejak demam Harry Potter melanda dunia, it's been all over the news. Kalo bahkan ampe detik ini Anda nggak tahu garis besar cerita Harry Potter, berarti Anda emang gak berminat sama buku ini. Then why bothers now? ;)
Jadi lebih baik saya membahas apa yang saya rasakan sewaktu membaca kembali buku ini setelah 15 tahun berlalu.
Yang pertama saya rasa sih "aura"nya yang beda. Sewaktu pertama baca Harry Potter dulu, teman-teman saya gak ada yang ngeh sama buku ini (yah sebenernya ampe sekarang temen saya yang baca buku ini juga sedikit sih :| ). Jadi saya heboh sendiri, bahas buku ini sendirian (dan dapat tatapan loe-ngomong-apa-sih dari teman-teman) bahkan fangirling pun sendirian #kasian. Sekarang ini, berkat GR dan BBI, saya jadi kenal banyak orang yang juga ngefans sama Harry Potter bahkan ampe baca bareng. Jelas vibe-nya beda banget. Dan itu menyenangkan. Horeeeee....saya masuk golongan mainstream #hehe.
Yang kedua, saya mengubah pandangan saya tentang Harry di buku pertama. Awal baca dulu, saya beranggapan Harry ini kepo banget. "Kenapa sih pusing banget sama kemungkinan Sorcerer Stone dicuri sama Voldemort? Kenapa gak kirim Hedwig aja ke Dumbledore sih buat warning?"-- itu adalah pertanyaan saya dulu.
Sekarang saya ngerti kenapa.
Seperti yang dibilang Harry, Dumbledore tahu bahwa Harry butuh untuk mencoba melawan karena pertarungan dengan Voldemort itu personal untuk Harry. Gimana pun, Voldemort lah yang membunuh orangtua Harry. Dan Harry sadar kalo Voldemort bisa kembali menyerang dia.
Tapi terutama, karena Harry sadar bahwa kembalinya Voldemort dapat membuat dia kehilangan dunia sihir.
He was nothing in the muggle world. Gak puna siapa pun dan apa pun. Lalu dia menemukan semuanya di dunia sihir : sahabat, kebahagiaan dan terutama : penerimaan. Penerimaan yang tak pernah dia dapatkan sebelumnya. Gak heran kalo Harry berkeras mempertahankannya. I'd do the same if I were him. I'd fight the nastiest wizard if I have to in order not to let something most precious being taken from me. So I could understand Harry's determination to fight Voldemort even when he's still a kid.
Ketiga, ternyata saya sudah suka Ron dari buku ke 1 X).
Jangan salah, dari trio itu Ron memang favorit saya kok. Saya suka Ron karena kalimatnya yang witty dan rada sarkastis, belum lagi sindirannya yang tajam. Tapi kualitas itu baru keliatan di buku kedua (ato malah ketiga?). Yang pasti bukan di buku pertama.
Dulu saya gak ngerti apa yang bikin saya bersimpati sama Ron sejak awal. Sekarang saya tahu. Karena Ron orang pertama yang "menerima" Harry. Dia gak meremehkan Harry seperti yang dilakukan Malfoy, tapi dia juga gak memujanya secara berlebihan. Dia menganggap Harry sama normalnya dengan dia, and that's enough.
Keempat, saya makin kagum dengan persahabatan Ron dan Hermione. They're true bestfriends.
Tanpa ragu Ron dan Hermione menemani Harry untuk melawan Voldemort walopun mereka tahu resikonya. I mean, saya ngerti kesetiaan Ron dan Hermione pada Harry di buku ke-7. They've come a long way. Tapi di buku 1? Saat mereka baru kenal 1 tahun kurang serta belum ngeh seberapa parah kondisinya kalo Voldemort kembali berkuasa? That's great.
“It takes a great deal of bravery to stand up to our enemies, but just as much to stand up to our friends.”Kelima, perubahan karakter Neville kerasa banget ya. Neville yang penakut dan gak berani membela dirinya sungguh berbeda dengan Neville di buku ke-7. I forgot how awkward, clumsy and shy Neville was. But let's talk about him on the later book.
-Albus Dumbledore-
Keenam, wow...penerjemah Harry Potter ini keren sekali ya.
Saya sudah pernah sih baca versi Inggris dan terjemahan buku ini (untuk reread yang ini, saya baca versi Inggrisnya lagi), dan dari dulu memang saya tahu penerjemahnya emang canggih. Tapi baru sekarang saya benar-benar ngeh..
Mirror of Erised diterjemahkan Cermin Tarsah. Erised yang merupakan anagram dari desire, diterjemahkan jadi tarsah yang anagram dari hasrat. Wow! Dan setelah saya googling, saya dapat info kalo sebenarnya ide Tarsah ini baru kepikir belakangan, menjelang bukunya turun cetak. Karena sang penerjemah berkeras mesti ada padanan yang tepat untuk "erised". Dan iya, beliau emang bener karena erised dan tarsah adalah padanan yang cocok.
Ketujuh, hmm....saya tetap gak ngerti kenapa Professor Quirrell gak bisa menyentuh Harry hanya di bagian akhir buku ini? Waktu awal cerita, Harry bertemu Prof. Quirrell di Diagon Alley dan saat itu mereka sudah berjabat tangan. Kok saat itu tangan si Quirrell gak melepuh ya? Padahal sudah jelas kalo Voldemort telah "nebeng" di tubuh Quirrell saat itu.
Kedelapan, saya makin kagum deh sama JK Rowling.
Oke...saya tahu kalo JKR emang banyak menggunakan bantuan mitos, legenda ato apalah itu dalam ceritanya. So it's not really original. Tapi toh emang gak ada formula yang benar-benar baru. Yang penting sih gimana Rowling bisa meramu bahan yang ada. And she's really good at it.
Tapi yang sebenarnya keren dari Rowling adalah : dia benar-benar paham karakter pembacanya.
I guess in some points of our life, even if it's just for one time, we ever felt like Harry, who's a misfit and wishing to go to some place new where we could start everything from the scratch or becoming a different people. But not everyone could do that. Apparently Harry is one of those lucky people.
Reading Harry's journey gave me happiness. Happiness that comes from knowing that at least there's one person in this world who could fulfill his dreams. It also gave me some hopes that in the end everything will be fine for me too. If this boy whose life was much more miserable than me finally found what he always wanted, how could I not? :)
Dan Rowling juga dengan cerdasnya memilih setting di Inggris, suatu tempat yang masih bisa terjangkau dan karenanya masih terasa "dekat". Bukannya tempat jauh antah berantah seperti di Middle Earth sana, atau dunia magic namun tak terjangkau seperti Abarat. Terlibatnya kaum manusia non sihir (aka muggle) juga tempat-tempat di Inggris seperti stasiun King's Cross membuat cerita ini makin terasa dekat di hati, membuat kita (oke...sebenernya sih saya) berani berharap bahwa suatu saat nanti saya juga bisa dapat..ehem...surat saya sendiri.
Seorang teman saya bahkan sampe mencoba menekan pilar di tempat yang semestinya jadi peron 9 3/4 waktu dia lagi ada di King's Cross dan waktu salah seorang petugas di sana melihat kelakuan teman saya, si petugas bilang : "You're not the first person who tried looking for that platform."
Bhahak....ternyata banyak yang bermimpi ke Hogwarts eh? ;)
Dan alasan kenapa saya kasih 5 bintang walopun saya mengakui kalo cerita di buku ini masih kalah spekta dibanding buku-buku berikutnya?
Karena ini adalah buku pertama. The one that started it all. Buku ini juga yang bikin saya kenal dan jadi langganan (sampe sekarang) sama sebuah toko di Bras Basah itu. It's always nice to find a new friend because of one certain book.
Lastly, just wanna say this : for you all who feel like you don't fit in, who wished for a magical school, or secret garden or magical cupboard that could open secret passage to magical land and still secretly keeping those wish alive : keep on wishing. Keep on hoping. Who knows, maybe your "letter" is on its way now :)
PS : Review ini diikutkan untuk event Hotter Potter, Books In English Reading Challenge dan FYE Children Lit Fun Months 1 untuk kategori Award Winner. Beberapa award yang dimenangkan buku ini bisa dilihat di link berikut.
Umur yang cocok untuk membaca buku ini adalah 12 tahun ke atas.
I like this: "I guess in some points of our life, even if it's just for one time, we ever felt like Harry, who's a misfit and wishing to go to some place new where we could start everything from the scratch or becoming a different people."
ReplyDeleteAnd I agree about why Harry was so anxious to fight Voldi, the wizarding world had been Harry's only real world, and everyone he ever loved and loved him lived in it.
Iya. Tapi saya baru kepikir alasan Harry sekepo itu pas re-reading, mbak :D
Deletehi mba, salam kenal :) setujuuuu ma semua yg ditulis diatas :) sbg org yg ngaku Potterhead aku malu nih bru tau soal Cermin Tarsah,, i knew bout Erised is anagram og Desire, tp aku bru tau Tarsah itu anagram Hasrat *sobs malu* bersukur ada event ini, jd nambah perkhasanahan sbg Potterhead Indonesia heheheheeeee
ReplyDeleteSalam kenal juga.
DeleteHahaha....aku baru ngeh erised itu anagram pas tahu soal Tarsah itu malah X)
oke, resmi pengen ke king's cross dan neken pilar antara platform 9 dan 10 =D like the review wi!
ReplyDeleteSetuju to the max sama Mbak Astrid! (Both review Mbak Dewi and King's Cross Station) :D
DeleteHahaha.....mbak Astrid dan Linda, temenku itu nyoba nekan2 platform udah lamaa, jaman masih buku HP 2 kayaknya. Klo sekarng di King's Cross udah ada trolley yang menunjukkan lokasi platform 9 3/4. Jadi bisa langsung nyoba. Good luck yaa. Kalo sukses, kasi tahu ke aku caranya gimana :))
DeleteAku juga dari pertama suka bgt sama Ron karena liat Rupert di filmnya! Kalo di buku menurutku masih kurang greget yg di buku pertama..
ReplyDeleteAku malah sebenernya gak terlalu sreg sama Rupert (pada awalnya).
DeleteIya sih, di buku pertama Ron kalah greget dibanding si kembar. But somehow, I like him
Wow reviewnya panjang! Benernya udah pernah baca review ini di GR sih tapi ninggalin jejak disini juga aaah...
ReplyDeleteAku juga suka sama Ron sejak awal *toss* cuman kalo di film Ron kadang-kadang digambarin terlalu wimpy, courage-nya nggak terlalu disorot...
Awal buku ini booming di Indonesia, dan dihebohkan ama sepupu saya, saya cuek aja... Gila buku bantal gitu, sihir lagi. Sampai saya dipaksa baca sama sepupu saya itu. Dan pas habis baca, beneran deh "tersihir". Untungnya kakak saya juga sama "tersihir"-nya trus koleksi buku ini.
ReplyDelete