Saturday, April 12, 2014

Teka Teki Terakhir

Judul : Teka Teki Terakhir
Penulis : Annisa Ihsani
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 9786020302980
Halaman : 256 halaman; 20 cm
Desain sampul : Eorg
Editor : Ayu Yudha
Rating: 4,5 out of 5 stars
Sini saya ceritakan tentang gadis kecil bernama asdewi. Dia sangat mencintai matematika (walo gak bisa disebut jago) tapi mengenaskan dalam urusan IPA.
Kalo diledekin tentang nilai IPA-nya yang tiarap, dia selalu berkelit dengan : "Biarin aja. Aku kan mau jadi koki jadi gak perlu jago IPA. Yang penting bisa matematika biar bisa menakar bahan."  
Then life happens...
Semakin dewasa,  dia menemukan keasyikan dalam biologi (catat : biologi, bukan IPA), menganggap masak itu cuma hobi di kala iseng bukan lagi profesi impian, dan kecintaan akan Matematika? Ah...cuma jadi kenangan usang di ruang ingatan.
Sampai dia membaca novel tentang Laura kecil yang tertarik pada Matematika. Dan kenangan yang lama membeku itu pun berpendar kembali. 

Novel ini dibuka dengan narasi Laura yang sudah lama penasaran dengan rumah putih milik pasangan Maxwell, pasangan paling misterius di Littlewood.
Kenapa misterius? Karena banyak gosip yang beredar mengenai pasangan tersebut. Dari gosip mereka adalah ilmuwan gila sampai isu keluarga ningrat yang bersembunyi. Laura sendiri mengira mereka adalah penyihir. Pada akhirnya, tak ada yang tahu persis kebenarannya. Dan ketertarikan Laura pada  rumah Maxwell pun surut.

Hingga suatu hari di bulan Maret 1992.
Hari itu, Laura sedang kesal karena nilai tes matematikanya mendapat 0. Saking jengkel, dia membuang lembaran nilai tes itu di tong sampah depan rumah Maxwell.
Eh ndilalahnya...ketika Laura melewati depan rumah itu keesokannya, Tuan Maxwell memanggilnya. Beliau menyerahkan kertas tes Laura yang kemarin dengan sebuah buku berjudul "Nol : Asal-usul dan Perjalanannya" beserta pesan "Mendapat nol tidak terlalu buruk, terutama setelah begitu lama pencariannya".

Sesampainya di rumah, Laura melihat bahwa Tuan Maxwell mengoreksi jawaban tesnya. Rasa penasaran yang lama terpendam terhadap pasangan Maxwell pun menyeruak kembali. Terutama setelah dia membaca buku sejarah angka nol yang diberikan Tuan Maxwell.
Dengan niat berterima kasih dan mengembalikan buku, Laura memberanikan diri mengetuk pintu rumah keluarga Maxwell. Dan itulah awal persahabatannya dengan Nyonya Maxwell yang ramah dan suaminya yang penggerutu.

Namun bukan hanya teman yang didapat Laura. Karena di balik pintu rumah keluarga Maxwell, ada sekumpulan teka teki logika, paradoks tentang tukang cukur dan pengetahuan tentang teorema matematika yang belum terpecahkan selama tiga abad. Laura juga jadi tahu bahwa Tuan Maxwell adalah matematikawan yang selama 40 tahun terakhir sedang mencari pembuktian teorema tersebut.

Teorema apa sih yang sebegitu hebatnya sampai membuat Tuan Maxwell terobsesi? Akankah dia berhasil menemukan pemecahannya? Untuk menemukan jawabannya, kamu mesti baca sendiri buku ini.
"Pikirkan seorang tukang cukur di kota bernama Seville. Di kota itu, semua penduduk kalau tidak mencukur rambut mereka sendiri, tentu dicukur oleh si tukang cukur. Tetapi si tukang cukur hanya mencukur rambut orang-orang yang tidak mencukur rambutnya sendiri. Pertanyaannya adalah, apakah si tukang cukur mencukur rambut sendiri?"
-Nyonya Maxwell-
Segar. Itu kesan pertama yang lewat di benak saya saat membaca novel ini. Beda dengan novel sejenis yang problem tokohnya berkutat seputar cinta monyet dan nge-geng ala sinetron yang lebay, Teka Teki Terakhir (TTT) membahas keseharian gadis biasa. Bagaimana Laura pusing dengan nilai ulangannya kemudian belajar untuk memperbaiki nilai atau bagaimana Laura sulit menyesuaikan diri dengan sekolahnya. Di tangan yang salah, materi seperti itu bisa jadi sangat ngebosenin. Tapi penulis lincah merangkai kata sehingga baca keseharian Laura ya ngalir aja rasanya. 

Unsur matematika yang diselipkan dalam TTT juga menambah keasyikan membaca.
Sekali lagi, salut buat penulisnya yang pinter masukkin knick-knack seputar Matematika secara halus sehingga novel ini jauh dari menggurui apalagi menimbulkan kesan 'pamer-pengetahuan-penulis'. Yang ada malah seru dan kesan 'matematika-itu-keren-banget-yaa'.
 
Saya juga suka dengan settingnya, baik dari setting waktu maupun tempat.
Littlewood, desa kecil yang entah di mana itu cocok untuk cerita semacam ini. Karena kecil maka wajar kalo masyarakatnya jadi akrab dan kepo. Lama tinggal di Jakarta bikin saya kangen suasana desa kecil seperti itu.
"Lagi pula kalau kau ingin mencari tahu tentang sesuatu, perpustakaan tempat yang tepat untuk memulai." -Laura-
Tapi buat saya, yang paling 'megang' adalah setting waktu di tahun 1992. Jaman internet sudah ada tapi belum umum digunakan, dan google masih dalam angan-angan Larry Page & Sergey Brin. Maka perpustakaan satu-satunya sumber Laura dalam mencari informasi.
Coba kalo waktu itu sudah ada Google ya, Laura kan tinggal memasukkan nama Tuan Maxwell dan voila...keluar info lengkap beliau. Gak ada lagi deh rasa penasaran yang mendorongnya untuk berkenalan dengan keluarga Maxwell. Ah teknologi; memperluas cakrawala tapi kadang membatasi interaksi dunia nyata.

Karakter yang ada di TTT sejujurnya gak ada yang menonjol banget. Semuanya punya kekhasan sendiri dan sama kuatnya. Sebagai karakter utama dan narator tunggal, Laura cukup oke. Dia gak humoris, sarkastis atau sinis. Dia cuma gadis biasa aja. Karakter kesukaan saya malah Tuan Maxwell yang eksentrik dan Katie, sahabat Laura, yang suka menjadi 'voice of wisdom' untuk Laura.

Protes saya pada novel ini hanya satu: yaitu penyebutan Tuan dan Nyonya kepada pasangan Maxwell. Kalo disebut sebagai kata ganti orang ketiga sih masih wajar. Tapi kalo dalam percakapan langsung jadi aneh. Seperti kalimat : "Ya Tuan, dari mana anda tahu namaku?" "Terima kasih Nyonya". Kok Laura lebih terasa seperti bawahan daripada tetangga ya...
Saya bisa ngerti kalo novel ini berbahasa Inggris. Tuan dan Nyonya memang jadi Mr dan Mrs. Tapi bahkan novel terjemahan pun mengubahnya jadi "Bapak dan Ibu". Ini memang kesalahan kecil sih. Tapi lumayan menganggu di awal baca. Walau pun lama-lama saya jadi terbiasa dan bisa cuekkin.

Novel ini ditutup dengan ending yang realistis dan cocok. Gak semanis martabak toblerone,tapi juga gak sepahit brotowali. Memang seperti itulah hidup.
"Semua orang aneh dengan caranya sendiri. Terkadang keanehanmu tidak cocok dengan keanehan orang lain, jadi mereka menyebutmu aneh. Tetapi terkadang keanehanmu cocok dengan keanehan seseorang, dan kalian bisa berteman." -Julius-
In short, Teka Teki Terakhir mengajarkan kita untuk menghargai setiap aksi dan setiap momen yang kita lakukan. Kita jarang sadar bahwa satu aksi kecil dan tampak gak penting yang kita lakukan hari ini, bisa berpengaruh besar di esok hari. Seperti aksi kecil Laura yang membuang kertas ujiannya di tong sampah keluarga Maxwell.

Teka Teki Terakhir juga mengajarkan untuk terus mengejar mimpi. Berikan usahamu yang terbaik dan nikmati prosesnya. Seperti Tuan Maxwell yang berusaha maksimal untuk membuktikan penelitiannya dan gak pusing dengan kemungkinan usahanya berakhir sia-sia. Karena bagi beliau yang terpenting adalah proses, bukan hanya hasil.

Empat bintang untuk Teka Teki Terakhir termasuk untuk covernya yang cakep banget.
Good job, Gramedia Pustaka Utama. Banyakin dong menerbitkan teenlit bagus kayak gini.
Dan kamu keren deh mbak Annisa Ihsani. I'm your new fan. :)

7 comments :

  1. Kenapa aku langsung ingat serial George-nya Stephen & Lucy Hawking ya >.<
    Pengarangnya orang Indonesia ya? Keren!!!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yg George itu tentang fisika. Yg ini tentang matematika. Beda beda tipis lah :)
      Iya yg ngarang orang Indo. Tapi lulusan s2 komputer di jerman. Sepertinya dia paham banget soal matematika

      Delete
  2. Wow covernya keren. GPU kalau niat pasti bisa.
    Jadi mau baca juga, krn teenlit tapi tema lebih ke middle grade :D
    baru tau ada buku ini.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dulu2 cover GPU keren kok. Kayak yg rancangan Marcel AW itu.
      Yg ini cover designernya eorg. Kayaknya sama dgn yg design Tiga Bianglala ya

      Delete
  3. Judulnya kurang nendang buat teenlit ya. Tapi ternyata isinya keren. Kok Dewi tau buku ini sih? Bisa jadi WW nih hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya. Mestinya jangan dimasukkin pasar teenlit ya. Mungkin lebih laku jadinya kalo gak dilabeli teenlit. Pembaca dewasa jadi bisa ngelirik.

      Hahaha...aku tertarik sama covernya, mbak. Eye catching banget

      Delete
  4. wahh.. baca review ini bikin jadi pengen baca bukunya :))

    ReplyDelete