Thursday, November 08, 2012

Menaklukkan Maut

Data Buku:

Judul asli : Beat The Reaper
Penulis : Josh Bazell
Penerbit : Esensi
Bahasa : Indonesia
Halaman : 348

ISBN 13 : 9789790991460
Rating : 4 out of 5 stars
“It's a weird curse, when you think about it. We're built for thought, and civilization, more than any other creature we've found. And all we really want to be is killers. ” 
-Peter Brown-
Kisah dibuka dengan narasi dr. Peter Brown, seorang residen maha sibuk di Manhattan Hospital, New York. Meski kesehariannya penuh dengan jam kerja yang padat, namun Peter tak keberatan. Baginya pekerjaan ini adalah pelarian sekaligus penebusan dosa masa lalunya. Sebuah masa yang tak mau dia tengok lagi.

Namun masa lalu memang bisa seperti hantu yang selalu membayang dan mengejar.
Di suatu hari, Peter bertemu kembali dengan Squilante yang adalah pasien penderita kanker lambung yang ganas. Squilante yang akan dioperasi meminta kepada Peter untuk menyelamatkan nyawanya sambil mengancam bila dia meninggal, dia akan membocorkan keberadaan Peter pada organisasi lamanya.

Dengan alur maju mundur, Peter lalu bercerita tentang masa lalunya sedari kecil. Demi membayar satu dendam di masa lalu, Peter bergabung dengan kelompok mafia untuk menjadi hitman. Di sana dia menemukan keluarga kedua sekaligus penuntasan dendam.

Semua berubah saat Peter bertemu Magdalena. Gadis itu membuat Peter ingin berubah menjadi orang yang lebih baik dan meninggalkan kelompok mafia. Tentu ini bukan hal yang mudah. Ada harga sangat mahal yang harus dibayar Peter agar bisa keluar. Dan kini, Squilante malah mengancam ketenangan dan kestabilan hidupnya.

Maka dimulailah satu hari sangat sibuk dalam hidup Peter. Satu hari yang berisi usahanya menyelamatkan Squilante sambil tetap bertugas seperti biasa merawat pasien-pasien lain dan harus mengindari kelompok Mafia yang sudah mengendus keberadaannya.
“Ah, youth. It's like heroin you've smoked instead of snorted. Gone so fast you can't believe you still have to pay for it.”
-Peter Brown-
 Satu hari?
Yup...setting waktu kisah ini (tentu saja tidak termasuk bagian flashback) memang hanya berlangsung satu hari. Satu point ini sudah membuat saya memberikan 1 bintang untuk novel ini.

Bintang kedua untuk karakter Peter Brown yang sinis, arogan, nyeleneh tapi baik hati dan perhatian pada pasien-pasiennya. Meskipun jadi hitman mafia, dia selalu melihat latar belakang korban. Hanya mereka yang pantas dibunuhlah yang akan dihabisinya. Tentu, Anda bisa berargumen bahwa itu hanyalah usaha meringankan beban nurani Peter. Emang benar. Peter sendiri mengakuinya kok.

Yang saya suka juga, penulis tidak setengah-setengah dalam menggambarkan karakter Peter.
 Untuk menciptakan kesan seolah cerita ini benar-benar ditulis oleh Peter, penulis menambahkan banyak footnote yang berisi komentar sinis Peter tentang berbagai hal, mulai dari sistem pelayanan kesehatan US yang payah samapai ke sejarah kamp konsentrasi Nazi.
Saya tahu beberapa pembaca menganggap footnote ini menyebalkan. Tapi saya malah suka membacanya. Bagi saya, footnote ini menghidupkan karakter sinis Peter sekaligus kecerdasannya. Menarik membaca komentar Peter yang sering out-of-the-box itu.

Di akhir buku juga ada glossary yang berisi berbagai penjelasan medis ato kondisi-kondisi umum di US. Lagi, beberapa pembaca menganggapnya mengganggu. Untuk saya yang paham sebagian besar istilah medis di buku ini, saya tak merasa terganggu dengan glossary itu. Justru menambah pengetahuan saya, terutama pada obat-obat yang tak umum dipakai di sini.

Bintang ketiga disematkan pada plot, twist dan pace cepat cerita ini.
Awalnya memang lambat, terutama ketika Peter berlama-lama di kisaha masa kecilnya. Namun pace cerita akan meningkat jauh setelah peter bertemu Magdalena. And since that, I can't put this book down.

Twist yang muncul merupakan kejutan yang menyenangkan. Mulai dari twist tentang musuh sebenarnya Peter (yang dia kira sudah meninggal) hingga twist tentang kenyataan masa lalu keluarga Peter. Masa lalu yang membuatnya menyemai dendam dan memulai seluruh kisah ini. Membaca bagian ini, saya jadi teringat quote terkenal Mahatma Gandhi : "An eye for an eye will make the whole world blind".
Indeed, Mr Gandhi. Indeed. Just look at Peter's life for example.

Tapi dari semua itu, gak ada yang mengalahkan KLIMAKSnya yang seru. Saat itu Peter terpojok menghadapi musuhnya tanpa sebuah senjata pun. Dan untuk pertahanan diri, dia pun menggunakan t...WHOOPSY...saya gak bisa cerita dong.
Apa serunya kalo saya ceritain? Musti dibaca sendiri ini mah.
Saya cuma mau bilang kalo senjata yang dipake sama Peter itu nekat, sinting, sadis tapi sekaligus brilian dan mengejutkan.

Bintang keempat dianugerahkan pada terjemahannya yang enak dibaca dan covernya yang cantik. Cover minimalis bernuansa hitam putih itu pastilah menarik minat saya jika melihatnya di toko buku. Soalnya pria berjas putih di cover itu (tampak) ganteng sih. Hehehe... :p

Sayang saya gak bisa naikkin bintang lagi. Abis saya berasa endingnya kurang panjang sih.
Iya, saya ngerti kalo penulis memang akan menulis lanjutan buku ini. Jadi...saya akan tunggu kelanjutan buku ini dan lihat apakah buku keduanya akan lebih bagus daripada yang pertama. Meanwhile, thanks buat Esensi yang sudah menerjemahkan dengan sangat baik.

PS:
Seorang teman membicarakn tentang sistem health care US yang disorot habis-habisan di buku ini. Terkesan parah banget memang. Disitu digambarkan betapa acuhnya tenaga kesehatan di rumah sakit tempat Peter bekerja. Juga bagaimana para dokter spesialis senior ogah melayani pasien kelas 3 dan lebih fokus mengejar materi.

Saya gak tahu apakah memang seperti itu kondisi pelayanan kesehatan di US. Tapi saya bersyukur bahwa di Indonesia tidaklah separah itu. Masih banyak dokter spesialis senior dan profesor yang tahu sangat perhatian pada pasien-pasien mereka dari kelas mana pun. Sayang figur seperti mereka justru jarang disorot.

Kembali ke sistem health care-nya US, saya punya teman yang berkarir di Boston. Dan menurut dia, kondisi di tempat kerjanya tidak sama dengan yang digambarkan di buku ini. Apa itu artinya kondisi pelayanan kesehatan di Boston dan New York berbeda? Entahlah.

Tapi penulisnya sendiri sudah menegaskan bahwa karya ini hanyalah fiksi, dan semua informasi di buku ini terutama yang menyangkut dunia medis, tidak semestinya dipercaya.
Karenanya, saya memilih untuk menganggap bahwa US health care system yang ditunjukkan di buku ini hanyalah fiksi semata.

*hey...khusnudzon boleh dong*

“When God is truly angry, He will not send vengeful angels.
He will send Magdalena.
Then take her away.”

4 comments :