Judul Asli : Il Fu Mattia Pascal
Penulis : Luigi Pirandello
Publisher : New York Review Books
Tahun Terbit : 2004 (First Published 1904)
Bahasa : Inggris
Rating : 4 stars out of 5
"Because we can’t understand life, if we don’t explain death in some way. The motive, the direction of our actions, the thread to lead us out of the maze, dear Signor Meis, the light must come from beyond, from death." (Page 122)
Seandainya kamu diberi kesempatan kedua untuk menjalani hidup dari awal, akankah kamu bersedia?
Tidak?
Well...gimana kalo gini : Seandainya kamu terikat dalam pernikahan tanpa cinta, punya mertua yang rese, dan berada dalam kondisi nyaris bangkrut. Lalu saat pulang dari bermain judi di Monte Carlo, kamu liat pengumuman di koran telah ditemukan sebuah jenazah yang dikira adalah dirimu. Di kantongmu penuh uang hasil kemenangan judi.
Tidakkah kamu berpikir untuk kabur aja dengan uang di tangan? Pergi ke tempat yang jauh dan membangun hidup yang baru?
Saya sih mungkin kepikiran gitu. Nggak tahu juga sih, secara saya belum pernah mengalami kondisi di atas, tapi running away memang tampak pilihan yang lebih mudah sih.
Yang pasti, itulah yang dilakukan Mattia Pascal. Sewaktu mengetahui kalo dia sudah dianggap meninggal, Mattia malah kegirangan dan merasa (akhirnya) dia mendapat kebebasan. Setelah membuat identitas palsu, dengan serunya dia berkeliling Eropa, lalu memutuskan menetap di Roma. Di sana dia berkenalan dengan banyak orang baru dan bahkan jatuh cinta lagi. Mattia begitu cinta pada gadis barunya sampai dia berpikir untuk membeli rumah di Roma dan mulai menetap.
Masalahnya, dia adalah pria dengan identitas palsu. Dia gak punya surat resmi yang dibutuhkan untuk membeli rumah. Dia bahkan gak bisa membuka tabungan di bank, apalagi membuka bisnis yang bisa dibanggakan kepada keluarga kekasihnya. Dan segera Mattia menyadari kalo kebebasan yang selama ini didapatnya hanyalah kebebasan semu.
Lalu apa yang sebaiknya Mattia lakukan? Bertahankah? Atau memalsukan kematian (lagi) dan mulai hidup baru (lagi)? Atau malah kembali ke kehidupan lama?
Kalo dia memalsukan kematian lagi, kapan masalahnya selesai?
Kalo dia mau kembali ke kehidupan lama, emangnya segampang itu buat balik? Keluarganya sudah move on dengan kepergian dia. He can't just pick where he left off. So...what to do now?
Saya sudah membaca beberapa karya Pirandello dan sepertinya topik tentang eksistensi diri adalah topik favorit beliau.
Di novelnya ini, Pirandello gak menegaskan pilihan mana yang sebaiknya diambil. Dia hanya menunjukkan konsekuensi setiap pilihan tersebut dan membiarkan pembaca yang menilai apakah pilihan tersebut tepat.
Mengenai novel ini, walopun tokoh Mattia Pascal itu sebenarnya ngeselin dan terkesan tidak bertanggung jawab, tapi saya bisa bersimpati sama dia. As I said, can't blame him for the decision. Sometimes in the past (reeeeeeeaaaallllllyyyyy really sometimes), I wish to move to another galaxy and start everything from the scratch.
Jelas saya gak bisa melakukan itu. Yang bisa saya lakukan hanyalah menyelesaikan ato berkompromi dengan apapun kondisi saat ini. Tapi toh saya gak bisa menghilangkan pertanyaan macam "apa-jadinya-kalo-gw-bisa-pindah-planet-lain-ya".
Melalui Mattia, Pirandello menjawab pertanyaan saya. Pirandello melihat konsekuensi dari berganti identitas yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Dan sejak membaca buku ini, saya menghapus keinginan konyol itu. I prefer to stay in this kind of life. Untuk satu alasan ini aja, saya sudah merasa suka sama Mattia Pascal. Belum lagi ditambah dengan dark humour dan sinisme Mattia Pascal yang diselipkan Pirandello di berbagai bagian buku ini.
The country air would certainly do my wife good. Perhaps some of the trees would lose their leaves at the sight of her, and the birds will fall silent; I only hope that the spring doesn’t go dry. (page 70)Pirandello juga mengungkit soal absolute freedom di buku ini.
Seperti yang kita tahu, sudah lama ada perdebatan apakah absolute freedom itu benaran ada ato nggak. Bahkan definisi absolute freedom pun masih diperdebatkan.
Beberapa beranggapan bahwa absolute freedom itu sama dengan fundamental freedom yang ada di pidato Presiden Roosevelt, yaitu "freedom from fear, freedom from want, freedom of speech, dan freedom to worship".
Beberapa berpegang pada pendapat yang sangat populer tentang absolute freedom yang ini: "the ability or freedom to make a choice and act on it completely detached from the input, control or otherwise influence of external forces such as society, people etc".
Tentu saja kalo anda beranggapan absolute freedom adalah seperti definisi di atas, then it is unattainable.
Mereka yang romantis dan optimis mengamini pendapat Stephen Covey yang ini mengenai absolute freedom : “Our ultimate freedom is the right and power to decide how anybody or anything outside ourselves will affect us.”
Saya tidak akan memulai diskusi mengenai absolute freedom di sini, pun memaparkan pendapat saya tentang itu. But for sure, The Late of Mattia Pascal is Luigi Pirandello's opinion to absolute freedom.
What's his opinion?
Ah...that's something you have to find out by yourself :)
"But at a certain point we realize that all life is stupidity; so tell me yourself what it means never to have done anything foolish. At the very least it means you have never lived."Biografi Singkat Penulis:
(page 105)
Luigi Pirandello (1867-1936) lahir di Girgenti, Sicilia. Dari tahun 1897 sampai 1922, dia bekerja sebagai professor aesthetics & stylistics di Real Istituto di Magistere Femminile, Roma. Dibandingkan novel-novelnya, Pirandello lebih terkenal karena skrip theater (plays) yang ditulisnya.
The Late Mattia Pascal bukanlah novel pertamanya. Tapi novel itulah yang membuka gerbang kesuksesannya. Novel ini ditulis dalam masa tersulit hidup Pirandello, ketika ayahnya bangkrut dan menghabiskan seluruh dana simpanan Pirandello (termasuk mas kawin milik istrinya). Kondisi ini menyebabkan sang istri terkena depresi berat dan mengharuskan Pirandello kerja double job demi menutupi hutang.
Sambil menjaga sang istri di malam hari, Pirandello mulai menulis novel The Late Mattia Pascal yang mengandung beberapa unsur kisah hidupnya. Banyak yang berpendapat bahwa novel ini mengandung elemen autobiografi yang telah dimodifikasi secara fantastis. Di novel ini jugalah pertama kalinya Pirandello membahas tentang identitas dan eksistensi seseorang.
Tema seperti ini juga muncul dalam Vestire gli ignudi (1923) [To Clothe the Naked] yang bercerita tentang seorang wanita yang berusaha mendapat tempat di masyarakat dengan menciptakan berbagai identitas palsu dengan status sosial yang tinggi serta apa yang terjadi ketika kebohongannya terbongkar.
Lalu di Enrico IV (1922) [Henry IV] tentang seorang pria yang kehilangan ingatan dan berpikir dia adalah si Raja Henry IV yang terkenal itu, dan pada akhirnya membuat sang tokoh bingung apakah dia karakter fiksi atau nyata.
Dan jangan lupakan salah satu karya fenomenal Pirandello : Sei personaggi in cerca d'autore (1921) [Six Characters in Search of An Author] yang dipuji sekaligus dikritik tajam ketika pertama kali dipentaskan. Berkisah tentang 6 karakter dari sebuah cerita yang hidup dan datang mengganggu sebuah pementasan. Keenam karakter ini ngotot mencari penulis kisah mereka karena mereka berpikir bahwa kisah mereka seharusnya belum tamat. Penonton berpikir kisah ini terlalu absurd dan membingungkan ketika pertama dipentaskan hingga terjadi kerusuhan dari penonton yang tak puas kala itu (putri Pirandello sampai harus melarikan diri lewat pintu darurat supaya gak diserang). Tapi toh, kisah ini juga menuai sukses di tahun-tahun berikutnya dan diakui sebagai bukti kejeniusan Pirandello.
Tahun 1934, Pirandello mendapatkan Nobel Prize di bidang Literature dengan alasan : "bold and brilliant renovation of the drama and the stage".
menarik, mbak..
ReplyDeletejadi intinya tidak ada kebebasan yang absolute (menurut saya) bagi manusia. Karena ketika kita menganggap diri kita ini bebas, ternyata masih ada aja kesulitan yg kita hadapi. itu namanya kan belum bebas dari kesulitan, ya ga sih? hehe
Sepertinya saya akan suka membaca Mattia Pascal. Bicara masalah freedom, seringkali hanya persepsi. Padahal dalam ketidak-freedom-an pun, seseorang dapat memutuskan free to happy :)
ReplyDeletenice posting mbak dewi :)
Saya memilih menggunakan kebebasan saya untuk membeli buku ketimbang membeli gadget, ini sudah klik belum ya sama arti kebebasan yang sesungguhnya?
ReplyDelete#ordobuntelanmilitan
baca buku bahasa Inggrisnya? uwooowww liat contoh2 kalimatnya yg panjang udah puyeng :p Salut buwat mbak Dewi
@KILAS BUKU : Tergantung definisi kebebasan menurut anda sih. Tapi klo buat saya, emang gak ada yg namanya absolute freedom itu. karena kita akan selalu dapat influence dari luar
ReplyDelete@HELVRY : "dalam ketidak-freedom-an pun, seseorang dapat memutuskan free to happy"--->pemikiran yg menarik, kang. Saya gak pernah kepikir ampe situ
@DION : Hahaha itu definisi kebebasan versi kutu buku sih
Jujur begitu baca tentang kisah ini, seseorang yang mendapat 'kesempatan' melarikan diri dari kehidupannya dan memulai kehidupan baru demi kesenangan dan kebahagiaan yang akhirnya "semu" (entah benar atau tidak) --- kok mirip dengan kisah film ya, masih belum 'nongol' di benakku judulnya apa, cmn sama persis, atau tema ini cukup unik atau justru universal untuk diangkat sebagai sebuah cerita ...
ReplyDeleteDi luar itu semua, a very good review mbak, aq selalu suka baca review mbak karena 'deep-down-and-behind attribute' you really thinking deep about books, even its a 'kacrut-books' :D
@HobbyBuku's Library
ReplyDeleteIya sih. Emang ada film yang mirip gitu ceritanya, mbak
Aww...makasi buat pujiannya, mbak *blushing*
Aku juga senang ke blogmu
Ah.. ini ya bukunya, wi..
ReplyDeleteSuka dengan quote yang terakhir di atas.
Absolute freedom? kalau menurut saya absolute freedom ga ada selama manusia masih menjadi makhluk sosial. "_"