Judul : Caldas
Judul Inggris: The Story of A Shipwrecked Sailor
Penulis: Gabriel Garcia Marquez
Penerjemah: Rizadini
Penerbit: Pustaka Sastra LKis Yogyakarta xvi + 124 hlm
Rating : 5 out of 5 stars
Jujur, saya merasa terintimidasi menulis review ini >.<
Gimana nggak, rekan saya Bang Helvry sudah membuat review yang sangat komprehensif untuk buku ini (sila baca review dia di sini). Saking komplitnya review beliau, saya gak tahu mo nulis apa lagi. Rasanya cuma kepengen nulis gini : "Untuk review yang mumpuni, sila baca review ini" sambil memberi tautan ke blog bang Helvry. Boleh gitu aja gak sih? X) #DikeplakBebi
Okeh..yuk kita mulai review ini...
Di bulan Maret 1958, seorang pelaut ditemukan terdampar di sekitar pesisir Mulatos, Kolombia.
Belakangan diketahui pelaut yang bernama Luis Alejandro Velasco itu adalah awak dari kapal Caldas, sebuah kapal perusak milik Kolombia.
Sekitar sepuluh hari yang lalu, Caldas dihantam ombak besar yang menyebabkan beberapa awaknya terlempar ke laut. Sudah dilakukan pencarian untuk menemukan kru Caldas yang hilang, namun tak membawa hasil.
Karenanya, Luis Alejandro Velasco pun disambut bak pahlawan. Semua mengelu-elukan kemampuannya bertahan hidup selama 10 hari di lautan hanya dengan air laut, beberapa kartu nama, sebuah jam tangan, dan sebuah kunci. Dan biar saya tekankan : tanpa makanan! (Well...itu kalo burung camar mentah gak dianggap makanan).
Dengan segera, Velasco menangguk popularitas. Dia muncul di tv nasional untuk bercerita tentang petualangannya, dikontrak sebagai bintang iklan mulai dari iklan jam tangan hingga sepatu.
Adalah kejutan bagi pihak surat kabar El Espectador ketika suatu hari Velasco muncul di kantor mereka dan menawarkan untuk menceritakan kisah sebenarnya. Pada awalnya pihak redaksi tak tertarik. Sudah satu bulan berlalu sejak perisitiwa menghebohkan itu, sudah banyak pula kisahnya beredar. Untuk apa mereka menyiarkan berita usang?
Tapi direktur El Espectador punya pendapat lain. Dia yakin ada hal-hal yang belum terungkap dari kisah-kisah yang sudah beredar tentang Velasco. Maka ditugaskanlah Gabriel Garcia Marquez (yang waktu itu masih jurnalis muda) untuk menuliskan petualangan Velasco.
Saya sudah penasaran dengan buku ini sejak membaca review Bang Helvry itu (saya emang suka kisah non fiksi macam gini sih). Rasa penasaran itu semakin bertambah waktu baca bab "Pengantar Penulis Kisah di Balik Cerita" dan Garcia Marquez menulis begini :
"Kami tidak menyadari bahwa ketika kami mencoba menggali petualangan itu menit demi menit, penyelidikan kami yang mendalam dan terus menerus itu justru membawa kami pada petualangan baru yang menimbulkan kegemparan sehingga si pelaut harus melepaskan gelar kehormatan yang dianugerahkan kepadanya, dan aku nyaris dikuliti hidup-hidup."Wow...apa yang terjadi? Kenapa Velasco dan Marquez sampai harus mengalami kejadian seperti itu? Seamis apakah misteri yang tersembunyi di balik tenggelamnya awak Caldas?
Dan rasa penasaran ini mencapai puncak ketika di halaman berikutnya Marquez menuliskan ini :
"Kekagetanku yang kedua, dan yang lebih mengekutkan, ketika aku meminta Luis Alejandro Velasco menggambarkan badai yang menyebabkan malapetaka itu. Menyadari bahwa pernyataannya sangat berharga, ia menjawab sambil tersenyum, "Tidak ada badai,kok." "Happpaaahhhhh? O__o
Gak ada badai? Kalo nggak ada badai, gimana bisa kapal besar dan stabil seperti Caldas sampai mengalami guncangan sebesar itu?
Maka dengan penuh semangat saya meneruskan baca buku ini.
Dan...
Well....sebelum lanjut, sebaiknya saya kasi tahu kalo Marquez sebenarnya sudah menjawab kedua pertanyaan itu di bab Pengantar Penulis. Tapi dengan ngototnya saya masih berharap akan ada cerita lebih lanjut mengenai skandal di balik tenggelamnya kapal ini.
Ternyata, harapan saya gak terpenuhi X).
Fokus cerita di buku ini hanyalah kisah Velasco bertahan hidup selama 10 hari dan benar-benar hanya itu. Jangan mengharap ada yang bisa dijadikan renungan spiritual ala Life Of Pi ato kisah dramatis dengan bola voli seperti di Cast Away.
Yang ada di buku ini adalah perasaan Velasco menghadapi hari-hari panjang membosankan, strateginya agar tidak sampai mati kehausan (minum air laut terlalu banyak bisa berbahaya) dan mati kelaparan, triknya bertahan agar tak diserang hiu serta harapan dan putus asa yang menderanya silih berganti.
Mungkin terdengar membosankan, tapi begitulah realita. Saya bisa membayangkan, kalo suatu saat saya terlunta di laut (amit-amit!) seperti Velasco, saya juga gak bakal ribet berkontemplasi memikirkan hikmah musibah ini apalagi ampe kepikiran bersahabat sama bola voli. Yang akan ada di pikiran saya hanyalah gimana caranya bisa survive. Dan bila semua usaha survive saya gagal, yaaa...pasrah pada nasib, persis seperti yang dilakukan Velasco. Karenanya, walopun buku ini terasa kurang dramatis dibanding buku sejenis, bagi saya buku inilah yang akan lebih berguna bila anda harus terombang-ambing seperti Velasco. Seenggaknya, trik Velasco di buku ini bisa anda coba terapkan.
Saya juga mesti berkomentar tentang gaya penulisan Marquez. Woah....gaya penulisannya indah sekali. Bayangin aja, petualangan yang (kalo disadari) sebenarnya membosankan itu bisa ditulis dengan asyik dan seru sehingga saya gak merasa bosan sama sekali. Malah saya terus penasaran membaca hingga lembar terakhir. Penulisan Marquez begitu jelas dan deskriptiv hingga saya ikut merasakan terlunta di laut bersama Velasco, bisa merasakan hawa panas dan bau garam laut serta berbagi keputusasaan dengannya.
Seandainya bukan Marquez yang menuliskan kisah ini, saya gak yakin saya bisa cepat menyelesaikan buku ini. Kalo seperti inilah cara Marquez menulis, maka saya jadi penasaran baca buku-buku beliau yang lain. Kudos juga harus disertakan kepada penerjemah buku ini. You did a great job in translating this book.
Oya ada satu kalimat yang "kena" banget buat saya di buku ini. Hasil dari perenungan dan puncak keputus asaan Valdez, dan itu adalah kalimat di halaman 87 ini :
"...sembari merasa putus asa dan marah pada kenyataan bahwa mati ternyata lebih sukar dibandingkan terus bertahan hidup."Yep...indeed.
Sepanjang masa tugas saya, entah berapa kali saya ketemu pasien yang sakit begitu lama dan parah hingga mereka berpikir ingin mati saja. (Bahkan saya pernah bertemu pasien kanker yang menolak minum pain killer. Soalnya dia berpikir dengan membuat dirinya kesakitan, dewa maut akan lebih cepat datang). Tapi pada akhirnya mereka masih bertahan untuk waktu yang cukup lama.
Apa karena umur mereka panjang? Iya sih #lah X)
Tapi juga karena manusia itu punya naluri dasar untuk mempertahankan hidup. Dan naluri itu akan bertambah kuat, saat ajal terasa mendekat.
Itu sebabnya, terkadang pasien yang kondisinya kritis, sempat menunjukkan perbaikan walau sekejap. Di ICU, sudah sering saya lihat pasien yang koma tiba-tiba tensinya naik atau heart rate-nya meningkat, sebelum kemudian menurun secara perlahan dan akhirnya meninggal. I think that's their last attempt on struggling for their life though they did it unconciously.
Lalu bagaimana dengan mereka yang secara sadar mengakhiri hidup mereka? Saya sih meragukan mereka memilip opsi bunuh diri itu secara "sadar".
Tahukah berapa jumlah kasus percobaan bunuh diri? Menurut American Foundation for Suicide Prevention, di US pada tahun 2010 hampir satu juta orang yang mencoba bunuh diri, sementara yang "sukses" dan dinyatakan mati karena bunuh diri "hanya" sekitar 38 ribu kasus atau 3,8%.
Bisa menebak alasannya?
Karena (menurut para survivor), di momen hidup (yang semestinya) terakhir itu, mereka merasa gentar dan insting alami untuk mempertahankan diri pun muncul. Maka secara refleks, mereka akan berusaha menghentikan tindakan apapun yang mereka lakukan untuk memutus nyawa.
And that's why, drinking poison for a full bottle or cutting wrist and let the body runs out of blood could only happen in the movie or to those with severe mental problem.
The world is a mixed of paradox, isn't it?
There I was reading a true story about a man stranded for 10 days in the sea and fighting so hard for his own life, then I read about this suicide statistic report.
And I wonder, for these 3,8% who succesfully committed suicide, while they were in the process of killing themselves, did that instinct of surviving ever kick in even for just one second? While they were falling down after they jumped off the high building, did they ever try to grasp for something? And for those who shot themselves with firearm, were their hand shaking when they're about to pull the trigger?
Well I hope the answer is no.
Because it's so teriffying to fight for something that you know would be gone from you in the end since it was already too late.
For those 3,8%, I hope they could spend the final seconds of their life in peace from knowing that finally they've got what they were desperately seeking for : death.
Don't you think so?
===================================================
Seperti yang udah diceritakan di sini, buku ini adalah pemberian dari Santa BBI melalui program Secret Santa. Saya dapat 2 buku sebenarnya : Caldas yang ini dan The New Life-nya Orhan Pamuk.
Dan seperti yang udah saya ceritakan juga, saya sempat bingung nentuin siapa santa saya. Soalnya sang santa yang baik kasi riddlenya kayak gini :
"Aku berfoto dengan salah satu buku dlm paket ini.Dan setau saya ada 2 orang member BBI yang pernah berfoto dengan buku hadiah dari Santa.
Happy reading and blogging
Your Santa,"
Bang Helvry dengan Caldas |
Teh Indri dgn New Life |
Tapi gak percuma dong saya jadi Sherlockian dan Conan-ers (istilah apa ini?). Kalo ada satu hal yang saya pelajari dari mereka berdua, itu adalah untuk memperhatikan detail sekecil apa pun.
Jadi saya pun memerhatikan baik-baik kertas yang dipake untuk menulis riddle. Ternyata kertas ini dari buku notes, semacam notes yang sering dihadiahkan sebagai bonus suatu produk. Dan di bagian atas kertas itu, ada tulisan terembos kayak gini :
Johan Yan - Poor Is Sin
dan di bagian bawah kertas tertulis gini :
Total Quality - Johan Yan
Hoh? Apa itu Poor Is Sin? Siapa itu Johan Yan?
Setelah googling, ternyata itu judul buku rohani yang ditulis oleh Johan Yan toh. Melihat profil kedua "tersangka" sih, sepertinya lebih cocok ditebak kalo Bang Helvry Sinaga-lah Santa saya. Bener gak nih, Bang Helvry?
Kalo bener, nanya dong : "Sebelumnya ngeh nggak kalo Teh Indri pernah berfoto dengan buku Pamuk? Dan pemilihan kertas buat nulis riddle itu sengaja ato nggak?"
Makasi ya buat bukunya, Bang Helvry (pede kalo Santa-nya Bang Helvry). Terutama buat Caldas ini. Soalnya aku pernah nyari sendiri buku ini dan gak nemu. I know it's hard to find. Ato jangan-jangan malah ini diambil dari koleksimu? Woaa....makasi banget kalo iya *GR tak terkira* :)).
Lalu semoga review ini "cukup" untukmu. Saya masih ingat soalnya reply-anmu atas komenku di review Caldas-mu, dan honestly itu bikin saya tertantang sekaligus terbeban buat mereview. Huahahaha.... X)
Yah kalo ada kesalahan mohon dimaafkan karena kesempurnaan hanyalah milik Tuhan semata dan kesalahan adalah sepenuhnya milik saya. #eaaaa #MendadakSyariah
Makasi juga buat Oky dan Ndari yang udah bikin event seru kayak gini.
Untuk melihat tebakan riddle peserta Secret Santa lainnya, go to here : Kumpulan Sinopsis Untukmu